Ratri mengangkat wajah. Kemudian menatap Yudis sekilas. “Neng ikhlas dan bahagia bisa jika bisa menjadi istri Kak Yudis. Tidak ada keterpaksaan sedikit pun,” pelan, tapi jelas terdengar oleh semua yang malam itu ikut berkumpul.
“Alhamdulillah ... berarti, semua sudah sepakat bahwa akad dilaksanakan minggu depan tanggal 30 Maret bakda magrib di Pondok Pesantren Al Ilma,” Ustad Suhada nampak lega.
“Semoga Allah meridhoi rencana kita ini.” Umi Siti pun wajahnya tak kalah cerah.
“Aamiin.”
Obrolan berlanjut sambil menikmati hidangan yang sengaja disediakan oleh keluarga Yudis. Wajah-wajah mereka secerah purnama malam itu. Bahkan Yudis nampak tenang. Kehadiran Ratri mampu membuat Yudis lupa kepada Dewanti. Malam itu purnama seolah turun di kediaman keluarga Yudis.
***
Padahal di Jakarta Dewanti sedang meratap tangis nasibnya. Yudis, pria yang sangat dicintainya tak juga datang. Ingin sekali ia menghubungi Yudis, namun, karena handphone-nya hilang ketika dia mengalami kecelakaan. ia tak bisa berbuat apa-apa. Sementara tak ada yang mempunyai nomor Yudis selain dirinya.
Arya, sang sahabat senantiasa setia membantu Dewanti sudah berusaha mencari Yudis ke galerinya. Namun nihil. Ia tak menemui Yudis. “Mungkin Yudis pulang dulu ke Bandung, De,” ucap Arya yang malam itu menemani Dewanti di rumah sakit.
“Tapi mengapa? Tak bisakah dia menemuiku walau sebantar saja!” Dewanti terisak.
Arya terdiam. Hatinya sangat iba kepada Dewanti. Ada sedikit amarah dalam hatinya kepada Yudis yang telah menyia-nyiakan sahabatnya itu. Namun, semua itu tak berani dia ungkapkan. Namun, ia berjanji dalam hati, jika suatu hari ia bertemu dengan Yudis ia akan sedikit memberinya pelajaran.
“Kamu punya alamat Yudis di Bandung, De?” tanya Arya.
Dewanti menggeleng pelan. Kemudian meringis merasakan sakit pada kaki dan kepalanya. Terlebih dalam hatinya. Kedua bola mata berwarna coklat memesona itu terlihat sangat sembab. Lindap tak bercahaya. Tentu saja itu membuat kondisinya semakin lemah. Hingga menit berikutnya, Dewanti pingsan.
Tentu saja Arya sangat panik. Ia segera memanggil perawat. Pak Jovan yang ketika itu baru pulang dari mengantar istrinya ke mushola untuk salat isya sangat kaget. Perawat segera memberikan pertolongan kepada Dewanti. Pak Jovan dan Arya berdiri di samping kiri dan kanan Dewanti dengan harap-harap cemas.
Bersamaan dengan masuknya Bu Nining ke dalam ruangan, Dewanti kembali sadar. Namun, sang perawat segera memberinya obat penghilang rasa sakit dengan menyuntiknya. Hingga tak lama kemudian Dewanti kembali terlelap. Arya, Pak Jovan dan Bu Nining menghela napas dalam. Air mata mereka berlinang.
***
Esoknya Arya kembali mendatangi galeri milik Yudis di kawasan Kemang. Namun hingga siang hari galeri itu tetap tutup. Bahkan beberapa orang yang biasa berkunjung ke galeri itu nampak kecewa. Mereka tak tahu di mana kebaradaan seniman sang pemilik galeri itu. Hati Arya makin geram. Karena sebenarnya sudah sejak lama Arya mencintai Dewanti. Bahkan sejak mereka bertemu di kampus pertama kali. Sayangnya, Dewanti ketika itu memang sudah berhubungan dengan Yudis hingga Arya terpaksa memendam cinta dalam kekecewaannya.
Sebenarnya kondisi ini menguntungkan bagi Arya karena bisa lebih bebas berdekatan dengan Dewanti. Namun, Arya bukanlah seorang pria pengkhianat. Ia tak ingin mendapatkan Dewanti dengan cara memanfaatkan situsi yang sulit ini. Andai ia bisa memiliki Dewanti, ia ingin karena Dewanti mencintainya dari hati. Bukan cuma pelampiasan semata karena disakit oleh Yudis.
Setelah yakin ia tak bisa bertemu dengan Yudis, Arya segera kembali ke rumah sakit menemui Dewanti sekaligus menungguinya. Karena meski orangtua Dewanti tak pernah jauh dari sisi Dewanti, tetaplah mereka sesekali membutuhkan bantuan Arya. Arya dengan sangat ikhlas membantunya. Selain itu juga, Arya sebisa mungkin memberi semangat kepada Dewanti.
***