Siang mengganti dirinya dari terang menjadi gelap. Namun tidak begitu bagi keluarga besar Bu Farida, mereka nampak sangat bahagia malam itu. Bu Farida, Om dan dan tantenya sudah terlihat rapi. Rio juga ada di antara mereka meski tetap dengan gaya nyelenehnya. Berkumpul di teras rumah menanti kedatangan keluarga Ratri.
Di langit Purnama bersinar terang. Angin sejuk berembus pelan. Daun-daun bergoyang. Yudis menghela napas dalam. Berusaha membuang bayangan wajah Dewanti yang terus bermain-main dalam benaknya.
“Ah Tuhan, apa semua ini takdir-Mu, atau aku yang lemah hingga tak bisa mempertahankan cintaku?” desah Yudis dalam hati.
Malam itu, sengaja mereka menyediakan kursi lebih di teras rumah supaya lebih santai. Beraneka macam kue dan buah-buahan sudah tersedia di meja untuk menyambut tamu istimewa mereka. Yudis mengenakan kemaja garis-garis biru dipadukan dengan celana Jeans warna hitam. Membuatnya makin terlihat dewasa dan berkarisma. Bu Farida menatap putranya dengan pandangan bangga dan senyuman bahagia. Cita-cita untuk segera melihat putranya menikah akan segera terlaksana.
Jam menunjukkan tepat pukul delapan lewat lima belas, bersamaan dengan purnama yang tiba-tiba tertutup awan hitam, tamu yang mereka tunggu-tunggu tiba. Bu Farida sekeluarga segera menyambut dengan hangat dan keramahan yang tidak dibuat-buat. Begitu juga dengan keluarga besar Ratri yang memperlihatkan akhlak keluarga mereka yang sangat memikat.
Malam itu Ratri mengenakan Gamis warna hitam dipadukan dengan kerudung model pasmina berwarna hitam juga. Sehingga purnama di langit yang tertutup awan hitam seolah turun dan berpindah menjelma wajahnya. Begitu bersinar memancarkan kecantikan muslimah kaffah.
Yudis yang memang sudah lama tak pernah bertemu dengan Ratri tak menyangka bahwa sahabat masa remajanya itu kini sangat berbeda dengan yang dulu. Kini Ratri terlihat lebih manis dan dewasa. Yudis menatap Ratri tanpa kedip. Ratri yang mengetahui Yudis sedang menatapnya segera tertunduk. Menyembunyikan wajah yang tiba-tiba merona. Umi Siti dan Bu Farida saling berpandangan dan tersenyum memperhatikan putra-putri mereka.
“Ratri cantik ya,” ucap Bu Farida setelah mereka duduk.
“Eh … i … i … iya, Bu.” Yudis agak sedikit gugup karena saat itu ia sedang terkagum-kagum kepada Ratri. Wajah dan gaya busananya benar-benar membuat Yudis terpesona. Seketika itu juga ia lupa kepada Dewanti yang kini sedang terbaring lemah di Rumah Sakit memanggil-manggil namanya. Entah karena sifatnya play boy-nya tiba-tiba muncul, atau memang Ratri yang mempunyai aura sangat kuat.
“Kecantikan itu akan menjadi milikmu jika kau telah resmi menjadi suaminya, Nak Yudis,” ucap Ustad Suhada sambil tersenyum.
Yudis segera tertunduk mendengar kata-kata Ustad Suhada. Ia baru sadar siapa yang kini berada di hadapannya. Keluarga Ratri adalah keluarga yang sangat kuat memegang syariat Islam. Itulah sebabnya hingga kini Ratri tak mengenal istilah pacaran. Beda sekali dengan keluarganya. Meski sama-sama beragama islam, namun keluarga Yudis tak terlalu memakai syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Entah kenapa juga hati Yudis bergetar ketika sekilas ia melihat Ratri tersenyum. Wajah dan senyum Ratri mampu mengalihkan pikiran dan menentramkan hatinya.
“Sudah tidak usah gugup begitu, Nak Yudis. Toh tak lama lagi juga kalian menikah. Bukan begitu Bu Farida?” timpal Umi Siti.
“Betul. Sebaiknya jangan menunda-nunda lagi rencana baik ini. Saya takut ....”
“Takut apa, Bu ...,” sahut Ummi Siti.
“Pertama saya takut usia saya tidak akan lama lagi mengingat penyakit saya yang kian hari kian memburuk,” Bu Farida berkata lemah.
“Ibu kok ngomong gitu sih!” Yudis memotong kata-kata ibunya.
“Iya Teh. Nggak baik tuh mendahului Tuhan,” Tante Diana yang sedari tadi hanya diam angkat bicara.
“Makanya jangan ditunda-tunda lagi ya …,” Bu Farida memegang lengan putranya.
“Baiklah, bagaimana kalau akad kita laksanakan minggu depan saja. Itu jika Nak Yudis benar-benar mau menerima Ratri sebagai istri. Kami tak ingin memaksakan kehendaknya.” Ustad Suhada yang memang mempunyai sifat tegas dalam segala hal langsung bicara pada pokok masalah.
“Bagaimana, Yudis? Kamu siap?” tanya Bu Farida.
Yudis mengangguk. “Insyaallah saya siap. Tapi saya juga tak ingin Ratri menikah karena terpaksa,” jawab Yudis. Keputusan sudah sangat bulat.
“Nah kalau itu, kita tanya langsung pada orangnya. Bagaimana, apa Neng menikah dengan Yudis karena terpaksa?” tanya Umi Siti kepada Ratri yang sedang menunduk.
***