Yudis langsung membuka pintu sebuah ruangan setelah yakin itulah kamar tempat ibunya dirawat. Benar saja, dalam ruangan itu, Tante Diana dan Om Syam sedang duduk di sofa tak jauh dari tempat tidur. Sementara Bu Farida terlihat berbaring di tempat tidur berseprai putih bersih. Ruangan itu layaknya sebuah kamar tidur di sebuah hotel dengan perabotan yang lengkap. Sebuah TV LCD 24 inci terletak di sisi sebelah kiri searah dengan kaki ibunya yang selonjor lemas. Sementara, di sudut kanan terdapat sebuah lemari es ukuran sedang. Di sampingnya terdapat sebuah meja kecil tempat biasa para penunggu Pasien menyimpan makanan. Tante Diana memberi isyarat kepada Yudis untuk diam dengan meletakan telunjuknya di bibir. Namun, Yudis tak menggubrisnya, dia langsung menghampiri ibunya yang saat itu sedang tertidur tenang.
Yudis menatap wajah sang ibu yang terpejam tenang. Dadanya beriak bak telaga yang di dalamnya tersimpan rahasia keindahan cinta. Pelan, Yudis menggenggam tangan ibunya. Kemudian menciumnya dan menyentuhkan ke dadanya.
“Ibumu baru saja minum obat, dokter menyarankan jangan terlalu banyak diajak bicara,” bisik tante Diana.
Yudis menoleh tantenya.
“Sebaiknya biarkan dulu ibumu beristirahat. Nanti setelah bangun baru kau bicara padanya,” Om Syam mengingatkan.
Yudis tak menjawab. Dengan sangat pelan dilepaskan genggaman tangan ibunya. Apa yang dikatakan Om Syam benar. Yudis mundur beberapa langkah, lalu duduk di Sofa di samping Om dan tantenya.
Hening sejenak. Di luar langit benar-benar sudah gelap. Lelamat kumandang azan maghrib terdengar dari masjid-masjid dan mushola. Gerimis belum berhenti. Yudis semakin terhanyut dalam kecemasan. Dia tidak akan bisa tenang sebelum melihat ibunya membuka mata dan tersenyum menyapanya.
“Bu ...,” lirih Yudis dalam pejam.
Tante Diana memegang tangan Yudis. “Sebaiknya kamu salat maghrib dulu, Yudis!”
“Iya Yudis, berdoalah untuk kesehatan ibumu,” timpal Om Syam.
Yudis tak menjawab. Sejak mendengar ibunya masuk rumah sakit, seketika itu juga Yudis merasa malas melakukan apa-apa. Bahkan untuk bicara sekali pun. Dalam pikirannya hanya ada ibu, ibu dan Ibu. Namun, tak urung juga Yudis berdiri. Sebelum keluar dari ruangan, Yudis kembali menatap ibunya yang masih juga tertidur lelap. Lalu keluar menuju masjid yang ada di belakang berdampingan dengan kantin.
Usai salat Maghrib, Yudis segera kembali ke ruangan ibunya. Dia duduk pada kursi di samping tempat tidur di mana ibunya terbaring. Om Syam keluar untuk salat maghrib. Suasana ruangan itu masih sunyi meski di luar terdengar deru kendaraan kian ramai. Yudis kembali memegang tangan ibunya. Yudis memejamkan matanya sambil memanggil ibunya dengan hati.
Ajaib! Bu Farida perlahan menggerakan tangannya. Yudis sangat senang. Bersamaan dengan dia menatap wajah ibunya, Bu Farida pun rupanya telah membuka mata. Kedua mata yang selalu meneduhkan hati menatap lekat penuh rindu kepadanya.
“Alhamdulillah ... Bu!” lirih Yudis. Hatinya sedikit lega melihat ibunya telah sadar.
Bu Farida tersenyum. Sepasang mata laksana purnama sehabis hujan itu menatap Yudis penuh cinta. “Anak laki-laki pantang nangis lo!” ujar Bu Farida sambil membelai kepala putranya penuh cinta.
“Ah, Ibu. Bagaimana Yudis dapat menahan air mata jika hanya inilah yang dapat Yudis lakukan untuk mengungkapkan kasih sayang Yudis terhadap ibu,” jawab Yudis dalam.
Bu Farida membelai wajah putranya dan tersenyum “Ibu sangat bangga padamu. Bahkan ibu yakin, almarhum Ayahmu pasti bahagia di alam sana.” Ada setitik air kerinduan di sudut mata Bu Farida kepada Pak Haidar, almarhum suaminya. Dan satu-satunya pengobat rindu hanyalah dengan memandang wajah putranya.
Yudis menarik napas dalam. “Yudis berjanji akan selalu berusaha membuat ibu bahagia. Namun, jika sampai detik ini Yudis belum bisa membahagiakan ibu, Yudis mohon maaf.” Yudis mencium tangan ibunya.
Bu Farida tersenyum. Pandangannya beralih pada langit-langit kamar rumah sakit. Beberapa saat Bu Farida seolah menjangkau langit, baru kemudian kembali menatap Yudis. Betapa kelembutan kasih sayang Yudis, sama terasa dengan Pak Haidar, almarhum suaminya. Dulu, hampir seminggu sekali suaminya selalu bertanya, “Hal apakah yang pernah aku lakukan yang paling membuatmu bahagia? Dan hal apakah yang pernah aku lakukan yang paling menyakitimu, istriku?” ternyata kelembutan suaminya itu menurun kepada putranya.
“Kok ibu nangis?” Yudis menyeka air mata yang berlinang dari sudut mata ibunya.
Bu Farida tersenyum. Senyum yang selalu membuat hati Yudis luluh, “Ibu teringat Ayahmu, Yudis. Semua kelembutannya ada padamu kini.”
“Semoga saja Yudis dapat mencontoh semua kebaikan ayah, Bu,” timpal Yudis sambil mengecup kening ibunya.
Bersamaan dengan itu, masuk seorang dokter ditemani oleh seorang perawat. Yudis bangkit dari duduk lalu memberi tempat kepada dokter untuk memeriksa ibunya. Harap-harap cemas, Yudis menanti dokter itu memeriksa ibunya. Baru setelah beberapa menit, dokter itu memandang Yudis sambil tersenyum. “Besok Bu Farida sudah boleh pulang. Tapi saya sarankan agar Bu Farida terhindar dari sesuatu yang bisa membuatnya kaget, apalagi sedih,” kata sang dokter kepada Yudis.
“Terima kasih, Dok.” Singkat Yudis.
Dokter itu pun segera meminta Bu Farida untuk meminum obat. Setelah itu barulah dokter dan perawat itu keluar dari dalam ruangan. Lima menit kemudian Bu Farida tertidur lelap. Tante Diana dan Om Syam pun mohon diri untuk beristirahat di rumah. Namun, mereka berjanji akan menyuruh anak mereka untuk menamani Yudis.
“Nggak usah cemas, Om.” singkat Yudis.
Malam kian gelap. Gerimis telah berhenti. Dari balik kaca jendela, Yudis memandang lalu-lalang kendaraan di jalan. Meskipun malam bergerimis, namun kendaraan tetap ramai. Lampu-lampunya bagai parade kunang-kunang menyambut fajar. Setiap akhir pekan, jalanan Kota Kembang memang selalu dipadati oleh kendaraan-kendaraan dari luar kota terutama Jakarta. Bandung adalah salah satu tujuan wisata yang memikat. Namun, semua keindahan dan ketentraman itu tak dirasa oleh Yudis karena tiba-tiba saja wajah Dewanti tergambar jelas dalam benaknya. “Ah, bagaimana kondisi Dewanti saat ini?” tanya Yudis kepada dirinya sendiri.
***