Yudis coba menghubungi nomor Dewanti. Namun tak tersambung. Ia coba lagi dan lagi, namun tetap tak tersambung. Sialnya lagi, Yudis tak punya akses lain untuk menanyakan kabar Dewanti selain kepada Dewanti sendiri.
Ia menghela napas dalam dan berat. Ditatapnya wajah sang ibu penuh cinta. Kemudian menghampirinya pelan. Membetulkan selimut yang sedikit agak menurun tidak menutupi dada. Terdengar suara pintu diketuk pelan. Yudis menoleh, tenyata Rio, putra pertama Tante dan Omnya nongol dari balik pintu. Sambil nyengir Rio masuk.
“Kang Yudis sudah makan belum?” tanya Rio pelan takut membangunkan Bu Farida yang sedang tertidur lelap.
“Belum,” jawab Yudis singkat sambil menatap wajah keponakannya yang masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Yudis melihat ada memar di pelipis keponakannya itu.“ Berantem sama siapa lagi?” Yudis sangat hafal karakter Rio yang memang sedikit tengil.
Rio nyengir. “Bukan berantem, Kang. Tapi dipukul Bapak!” jawab Rio santai.
“Makanya jangan nakal!” sahut Yudis.
“Nakal dikit mah tidak apa-apa atuh, Kang. Yang penting bertanggung jawab atas apa yang telah kita lakukan,” jawabnya seraya terkekeh.
“Emang kamu ngelakuin apa?”tanya Yudis.
“Rara hamil, Kang,” lagi-lagi jawaban Rio sangat tenang.
Yudis geleng geleng kepala. “Apa! Lu hamilin anak orang dan Lu masih bisa hidup tenang! Dasar berandalan!” Yudis kesal.
“Yah si Akang! Zaman sekarang menghamili dan dihamili itu soal biasa. Nggak ada yang mesti ditakutkan. Tinggal nikah, bereskan! Asal jangan hamilin bini orang aja,” Rio masih tetap dengan gayanya yang cuek dan tenang.
Yudis kembali geleng-geleng, “Heh bocah! yang namanya zina itu meskipun dilakukan suka sama suka tetap saja dosa! Dan kau pasti tahu kalau dosanya tidak cuma lu, tapi juga orangtua lu juga ikut dosa!” Yudis sangat kesal dengan sikap ponakannya yang selalu menganggap enteng semua masalah dan dosa. “Terus kamu mau kawin, gitu!”
“Nikah Kang, kawinya mah kan sudah,” Rio menjawab sambil nyengir.
“Bagaimana dengan sekolahmu?”
“Ya terus, cuma mungkin pindah sekolah.”
“Heh bocah! denger ya, ini kali pertama gua ngomong sebagai Om lu. Cukup! ini terakhir kali gua denger lu bikin masalah di keluarga. Kalau sekali lagi bikin ulah! gua yang bakal bertindak biar lu jera!
Yudis benar-benar marah. Keponakannya yang satu ini benar-benar ngeyel. Dia melakukan apa yang ingin dia lakukan. Seolah dialah yang mengendalikan hidupnya. Beda sekali dengan Om dan tantenya yang dikenal oleh siapa pun sebagai orang yang taat beragama.
“Iya, Kang. Maaf. Saya juga sudah janji sama Papa dan Mama ini yang terakhir saya menyakiti hati mereka. Hanya saja, beginilah gaya saya. Seperti orang santai, tapi hati sebenarnya hancur, Kang,” jelas Rio.
“Udahlah Kang, nggak usah dipikirin. Sebaiknya Kang Yudis makan dulu. Terus istirahat. Biar Rio yang nungguin Uwak di sini,” ucap Rio kemudian.
“Ya sudah, aku cari makan dulu. Kamu mau apa?”
“Masih kenyang,” jawab Rio sembari duduk di Sofa. “Udah sana makan dulu. Tar sakit semua, malah repot!”
Tanpa menjawab, Yudis segera keluar dari ruang inap ibunya. Angin malam sisa hujan terasa sejuk membelai wajahnya ketika ia tiba di pelataran parkir. Menoleh ke kiri dan ke kanan mencari penjual makanan. Di seberang jalan, Yudis melihat sebuah angkringan nasi goreng. Ia pun segera melangkah menuju ke sana.
Usai makan, Yudis segera kembali ke ruangan di mana Bu Farida dirawat. Rio sedang duduk membaca sebuah buku. Ia memang sangat hobi membaca. Tak heran jika Rio mempunyai wawasan yang luas. Namun, karena terlalu banyak buku yang ia baca tanpa dibarengi oleh ilmu agama, tak heran pola pikirnya pun makin lama makin nyeleneh.
Yudis duduk di samping Rio tanpa berkata sepatah pun. Matanya dipejam. Yudis menyenderkan kepala pada senderan kursi. Perut yang kenyang, tubuh yang lelah, membuat Yudis tak kuasa menahan kantuk. Yudis pun tertidur.
***
Pagi sekali Tante Diana dan Om Syam sudah datang ke rumah sakit. Yudis sedang menyeka wajah Bu Farida dengan air hangat. Wajah Bu Farida sedikit segar. Senyumnya pun terus mengembang merasa bahagia dan bangga kepada Yudis yang begitu sangat menyayanginya. Sementara Rio sedang keluar mencari sarapan.
“Kamu nggak akan kembali ke Jakarta kan, Yudis?” tanya Bu Farida.
“Yudis nggak kan kembali ke Jakarta, Bu. Yudis mau di sini saja dekat-dekat ibu,” jawab Yudis sambil membantu membangunkan ibunya.
“Benarkah? Jadi kamu mau menikah dengan Ratri?” Bu Farida nampak senang.
Yudis mengangguk dan tersenyum. Meskipun hatinya sangat hancur karena dengan begitu, berarti dia memutuskan untuk berpisah dengan Dewanti selama-lamanya. “Maafkan aku Dewanti. Aku telah berusaha semampuku untuk tetap bersamamu. Namun, ternyata keadaan tidak berpihak kepada kita.” Desah Yudis dalam hati.
***