Sepeninggal Arya, Yudis langsung menutup galerinya lalu menuju mobilnya untuk segera menuju rumah sakit tempat Dewanti terbaring kesakitan. Namun, baru saja dia membuka pintu mobil, handphone-nya berdering. Sekilas, Yudis melihat ke layar handphone.K alau saja yang menelepon bukan dari tantenya di Bandung, tentu Yudis tidak akan menggubrisnya. Dia pun segera menerima telepon itu.
“Assalamualaikum. Maaf Tante, nanti Yudis telepon balik ya! Yudis sedang sibuk!”
“Yud-Yudis .... Sebentar Yudis."
"Tapi, Tan ..."
"Semeniiit saja."
Yudis menghela napas. Sedikit kesal karena telepon dari tantenya. Sementara, dia sedang terburu-buru untuk ingin menemui Dewanti di rumah sakit. Dengan berat hati, Yudis membiarkan tantenya itu berbicara. Terdengar suara bergetar dengan nada kecemasan.
"Kau harus segera pulang, Yudis. Jantung ibumu kumat lagi dan sekarang sedang berada di ruang ICU. Cepatlah!” jawab Tantenya di ujung sana.
Mendadak rasa kesal yang Yudis rasakan kepada tantenya tadi pun berubah. Raut kecemasan muncul dari wajah Yudis. Entah kabar dari tantenya itu harus disikapi dengan cara bagaimana. Senang ataukah bahagia? Pastinya, Yudis merasa beruntung mendapat telepon dari sang tante. Meski kabar yang didengarnya adalah kabar tidak menyenangkan. Setidaknya, dia bisa mengetahui lebih awal tentang kondisi sang ibu dan tentu bisa menemuinya segera.
“Apa! Ibu masuk rumah sakit lagi!” seru Yudis. Bu Farida memang sudah beberapa kali masuk rumah sakit semenjak divonis dokter memiliki riwayat penyakit jantung. Tentu saja Yudis sangat cemas.
“Iya, cepatlah pulang, Yudis!” seru tantenya lagi.
“Baik Tante, Yudis segera pulang!” serunya.
Obrolan Yudis dan tantenya pun berakhir. Yudis segera masuk ke mobil. Kecemasan Yudis terhadap sang ibu mengalahkan kecemasan kepada Dewanti yang saat itu juga sedang terbaring kesakitan menantinya. Memang bukan pilihan yang mudah. Namun bagi Yudis, ibu adalah segalanya. Sebab, tak ada yang bisa mengalahkan cinta dan pengorbanan seorang ibu di dunia. Yudis segera meluncur menuju pintu Tol Cipularang untuk selanjutnya menuju menuju ke Bandung.
Beberapa kali Yudis terjebak kemacetan sebelum sampai di pintu tol. Bahkan jalan tikus yang biasa dia lalui untuk menghindari macet pun bernasib serupa. Entah apa yang sedang terjadi, macet di mana-mana. Mungkin ada pejabat yang melintas atau ada kecelakan yang mengakibatkan jalan terhambat. Yudis tak peduli itu semua. Dalam pikirannya hanya ingin segera tiba dengan segera menemui sang ibu. Pelan-pelan dia telusuri jalan. Kemacetan terparah justru menjebaknya di pintu masuk Tol. Yudis hanya mampu menggerutu tanpa berbuat apa-apa. Kemacetan di kota Jakarta memang sudah jadi salah satu kewajiban yang harus dialami para pengguna jalan setiap hari.
Sementara matahari mulai bergulir. Sudah dua jam lewat dari tengah hari dan Yudis masih terjebak macet. Yudis menyumpahi pemerintah kota Jakarta yang hingga saat ini belum bisa mengatasi kemacetan.
“Semua hanya omong doang!” gerutunya.
***
Langit senja mulai menampakkan kecantikannya. Matahari bercermin di kaca spion ketika mobil yang dikendarai Yudis memasuki kawasan Pasteur, Bandung. Ternyata bukan cuma Jakarta saja yang macet, Bandung pun sama. Apalagi di akhir pekan seperti saat ini, banyak para pelancong dari luar kota yang masuk ke Bandung dan lagi-lagi menyebabkan kemacetan.
Kawasan Pasteur senja itu pun macet-macet ayam. Yudis semakin kesal, tapi tetap tak bisa berbuat apa-apa. Kecemasan jelas tergambar di wajahnya. Dia terus teringat kepada sang ibu yang kini tengah terbaring menunggunya. Dia sangat merasa bersalah. Penyakit ibunya kambuh lagi mungkin karena ulah dirinya. Yudis masih belum memberi jawaban kepada sang ibu. Semua masih mengambang tanpa kepastian. Yudis masih belum memutuskan tentang keinginan sang ibu untuk menikahkan dirinya dengan Ratri, putri sahabatnya.
“Astagfirullah ....” Yudis terkejut spontan menginjak pedal rem ketika sebuah motor menyalipnya.
Tiiitttt ... Yudis menekan klakson dengan gemas. Namun, pengendara motor itu seolah tak mendengar. Dia terus ngebut, menyelinap di antara mobil-mobil yang melaju tersendat-sendat. “udah bosen hidup tuh orang!” Yudis menyumpahinya dalam hati. Lalu kembali menginjak pedal gas.
Baru setelah menaiki fly over Pasupati jalanan mulai sedikit lancar. Yudis pun menginjak pedal gas sedikit dalam. Dia ingin segera tiba di ruman sakit tempat ibunya dirawat. Rasa sayang dan cemas yang teramat dalam kepada sang ibunda membuat hatinya semakin gelisah.
Dari fly over Pasupati, Yudis turun dan berbelok kiri ke jalan Pasir Kaliki. Sementara senja kian redup. O bukan! Langit tiba-tiba mendung karena lima menit kemudian gerimis pun turun. Bersamaan dengan sampainya Yudis di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
“Alhamdulillah ….” desahnya.
Setelah memarkir mobilnya, Yudis pun segera masuk ke dalam rumah sakit melalui pintu utama. Ia berjalan sebentar menyusuri selasar menuju Ruang Rawat Inap Khusus (RIK) Paviliun Parahiyangan Utama kelas A tempat ibunya dirawat. Tantenya memasukan ibunya ke ruang khusus agar mendapat perawatan maksimal. Dan memang begitulah umumnya rumah sakit di Indonesia, yang paling berduit, maka dialah yang mendapat perawatan dan pelayanan paling baik. Tapi tetap saja Yudis cemas. Dia sadar sepenuhnya bahwa sebaik apa pun pelayanan yang diberikan pihak RS kepada ibunya, tetap saja yang namanya sakit itu tidak enak. Bahkan pernah ia dengar dari seseorang kalau sakit adalah bunganya kematian.
Deg! Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika ia teringat akan kematian. “Sembuhkan ibu, Duhai Allah ...,” jeritnya dalam hati.
***