Read More >>"> Lenna in Chaos (Langit) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lenna in Chaos
MENU 0
About Us  

Tidak ada angin, tidak ada hujan.

Kamu tahu nggak? Sekarang aku sedang terduduk di tepi jendela toko roti yang terletak di seberang jalan dekat kantorku. Penjualnya ialah Nyonya Ling Ling, wanita lewat paruh baya yang sudah kukenal dengan baik sejak hari pertama aku mulai bekerja di kantor. Toko roti itu sudah berdiri sejak tahun 1929, jauh sebelum aku ada. Kini di hadapanku sudah ada satu bokkenpootjes, satu krentenbol, dan es krim kopyor. Meski permukaan es krim sudah semakin melembek dan siap untuk luruh, aku masih enggan menyentuhnya. Aku hanya ingin memandang jauh ke luar jendela dan melihat orang asing yang berlalu-lalang.

Lagi-lagi, suara knalpot racing yang melintasi sebentang jalan di depan toko roti membuatku merasa muak.

Lagu Pretty Little Girl-nya Connie Francis terputar samar-samar dari pengeras suara yang volumenya telah dikecilkan. Aku masih ingat dengan lagu itu. Lagu yang diputar oleh Miss Nana sewaktu TK.

Nirvana.

Tiba-tiba nama itu kembali terngiang-ngiang kembali di antara celotehan geng wanita sosialita yang duduk tidak jauh dari mejaku serta suara kipas angin yang tergantung di atas langit-langit toko roti yang tinggi.

Ah, jangankan menyebut namanya. Membayangkan namanya saja aku sudah enggan. Semenjak Mas Sultan menyebut nama itu tadi di kantor saat meeting mingguan, yang kupikirkan hanyalah masa kanak-kanakku yang kelam dan berdarah. Nirvana dan Langit. Nirvana tak seindah namanya, juga Langit yang sudah terlanjur kelabu dan pudar dimakan waktu.

Aku jadi mengingat kembali sesuatu yang sudah kucoba untuk kulupakan sejak dulu. Dan tak ada yang lebih sial daripada itu.

 

*

 

Namanya Langit. Tapi dia tidak biru. Dia berwarna putih, seperti awan.

Waktu itu kami masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dia dipanggil bule oleh kawan-kawan lain karena kulitnya putih pucat dan berhidung mancung. Secara teknis, hidungnya memang terlihat jauh lebih mancung dariku. Tapi, aku tidak berani mempersalahkan bentuk hidung kami secara terang-terangan. Aku takut dia merasa tersinggung, soalnya dia pernah mengeluhkan bentuk hidungnya yang terlampau lancip kepadaku. Anak laki-laki itu tetap berlagak cuek dan tenang saat kami saling berpapasan. Matanya berwarna biru dan bening, sedangkan milikku berwarna coklat harimau seperti Papa. Baju seragam putihnya selalu ia keluarkan dari celana. Ia tak suka memakai ikat pinggang. Celana warna biru langitnya kadang kedodoran. Guru-guru bahkan sudah bosan mengomelinya.

Mainan favoritnya di taman saat istirahat adalah ayunan. Semua anak-anak tahu kalau Langit pecinta ayunan. Langit akan memarahi siapa saja yang menyentuh ayunan ‘miliknya’. Sedangkan aku adalah pecinta perosotan. Kami bertemu saat ia tengah berayun dan aku tengah meluncur bebas ke tanah.

Lalu kami saling melempar tawa.

Aku duduk di kelas TK A, sementara Langit di TK B. Secara teknis, seharusnya dia berumur satu tahun lebih tua dariku. Pada suatu siang setelah pulang sekolah, ia mengajakku ke tempat yang tersembunyi di belakang bangunan sekolah kami. Tak ada yang berani datang ke sana karena tempat itu sangat gelap dan rimbun oleh dedaunan pohon pepaya yang menjulang tinggi. Awalnya aku tak yakin untuk menembus lorong berdebu dan dipenuhi sarang laba-laba itu. Tapi dia terus menarik tanganku. “Tenang, ada aku.”

Entah mengapa, ucapannya tersebut terdengar amat keren di telingaku. Hal itu membuatku merasa senang saat berada di sekitarnya. Jatuh cinta yang aneh; semacam perasaan jatuh cinta yang dipenuhi keluguan.

Tanpa rasa takut, aku mengikuti langkahnya dari belakang. Kami berjalan melewati jalan setapak berbatu yang penuh dengan tumpukan batu dan pecahan beling. Langit masih menuntunku dan memastikan agar kepalaku tak mengenai sarang laba-laba. Tempat yang kami lalui ini terlihat persis seperti lorong-lorong yang ada di film hantu Casper yang sering kutonton saat senggang. Bahkan kali ini terlihat jauh lebih menyeramkan.

Setelah kami berhasil melewati berbagai macam perangkap, Langit memperlihatkan sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Bibirnya tersenyum menatapku sementara mataku membulat menatap sekitar. Aku terpaku saat melihat betapa cantiknya tanaman bunga liar yang tumbuh di sini. Bunganya berwarna-warni. Hyacinth, morning glory, rumpai, dan lantana. Mereka tumbuh begitu alami dan indah dengan caranya masing-masing. Alang-alang yang tidak tersorot matahari itu tumbuh menjulang begitu rimbun. Dengan sabar, aku masih menunggu apa yang hendak Langit lakukan selanjutnya. Tanpa kuduga, laki-laki itu berbalik padaku lalu merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan sebuah kantung plastik berwarna hitam.

“Kita mau ngapain di sini, Langit?” tanyaku polos.

“Kita berburu siput!” jawabnya sambil nyengir lebar.

Kemudian dia menyerahkan kantung plastik itu padaku. Aku menerimanya dengan tatapan ragu. Dia menunjuk sana-sini dengan ocehan penuh semangat. Aku baru menyadari jika ternyata banyak sekali siput yang menempel di dinding, batang pohon yang sudah lapuk dimakan rayap, dan di di balik batu. Mereka berkerumun, menempel, merayap, dan terdiri dari berbagai macam jenis serta ukuran.

“Serius?”

Dia mengangguk kemudian mulai mengambil siput itu satu persatu dengan tangan kosong. Aku masih enggan karena badan mereka berlendir – mengingatkanku pada sesuatu yang menjijikan. Tapi dia tidak menyerah dan semakin senang saat melihatku merasa jijik. Dia kemudian menunjukkan satu siput kecil padaku yang menempel di sebuah potongan kayu yang telah lapuk, “Ini namanya siput kebun,” ujarnya. Dia mengambilnya lalu memasukkan siput itu pada kantung plastik yang kupegang. Dia kemudian menunjuk sebuah siput bercangkang besar dengan ujungnya yang lancip. “Nah, yang ini namanya bekicot. Be-ki-cot,” lanjutnya lagi. Tanpa pikir panjang dia langsung memasukkannya ke dalam kantung.

“Bekicot?” ulangku.

“Di Paris, aku dan keluargaku senang makan siput. Tapi bukan siput seperti ini,” katanya sambil terus memasukkan lebih banyak lagi siput.

“Kamu orang Prancis?” aku tidak merasa asing dengan negara itu. Nenek sering bercerita tentang keindahan Paris dan menara Eiffelnya lewat serangkaian dongeng yang dia ceritakan padaku saat aku datang berkunjung ke rumahnya. Aku juga lihat menara Eiffel itu di belakang buku atlas milik Papa.

Dia menggeleng. “Belanda.”

“Aku juga!” balasku dengan penuh semangat.

“Sungguh?” dia berbalik menatapku dengan mata berbinar.

Aku menggeleng sambil tersenyum menampakkan deretan gigiku, “Bercanda! Aku orang Indonesia asli!”

“Menurutmu, kenapa warna kulit kita berbeda?”

“Kenapa? Kamu ingin warna kulit kita sama?”

Dia menggeleng. “Tidak juga! Kalau sama, nggak akan seru!”

Dia kemudian berbalik dan semakin banyak memasukkan siput-siput itu ke dalam kantung plastik yang kupegang. Bahkan, dengan segera isi kantung itu berangsur-angsur hampir penuh. Aku merasa siput-siput itu menggeliat di dalam kantung dan berdesak-desakan hendak merayap keluar. Ia terlihat amat puas dengan sesi perburuan siput ini. Anak laki-laki itu kemudian mengambil alih kantung yang kupegang dan kembali menuntunku keluar dari tempat lembab dan gelap itu.

“Aku akan memelihara siput-siput itu. Masing-masing akan kuberi nama,” ujarnya.

“Memangnya orang tuamu akan mengizinkanmu memelihara mereka semua?” tanyaku heran.

Dia menggaruk-garuk kepalanya yang kuyakin tidak tak gatal. “Aku akan simpan mereka di bawah pohon dan membiarkan mereka merayap di sekitar halaman rumahku,” balasnya.

“Nanti mereka akan memakan tanaman ibumu.”

“Biar ibuku merasa repot,” dia kemudian tertawa nakal.

“Bagaimana dengan ayahmu? Apa dia akan mengizinkan?”

Dia tidak menjawab dan malah memberikanku sebonggol kembang bokor yang begitu biru.

Semenjak sesi perburuan yang romantis itu, aku merasa senang ketika menghabiskan banyak waktu dengannya di sekolah. Bagiku, Langit bertingkah sopan dan menyenangkan. Setiap bel pulang tiba, aku berjanji pada diriku, besok aku akan kembali memulai percakapan yang seru dengannya. Barangkali dia tahu banyak tentang roket dan pesawat. Atau mungkin dia tahu rahasia tentang alien. Nanti akan kutanyakan padanya soal itu. Barangkali dia juga hafal lagu Country Roads, Take Me Home-nya John Devner atau Fly Me to the Moon-nya Frank Sinatra. Kalau dia hafal, kita kan bisa bernyanyi bersama?

Beberapa minggu kemudian, saat bel istirahat taman kanak-kanak berbunyi, aku langsung menutup buku dan memasukkan barang-barangku ke dalam loker dengan penuh semangat. Setelah Ibu Nuansa membukakan pintu kelas, aku segera berlari kecil menuju taman bermain yang masih sepi. Kulihat Langit tengah melihatku juga dari ayunan yang tengah digelayutinya. Aku melirik pada perosotan, memberinya isyarat agar memerhatikanku saat meluncur bebas. Saat aku naik menuju persotan yang menghadap ke arah ayunan, dia pun mulai menaiki ayunan dan bergelayut di rantai besi yang menyangga ayunan itu.

Belum sempat aku meluncur bebas di atas papan perosotan, seorang anak gadis sebayaku yang bertubuh sedikit gembul, berambut dikepang dua, berponi seperti Dora, dan berpipi tembam tiba-tiba datang menyelinap dari belakang dan mendorong tubuh Langit ke depan dengan satu dorongan yang kuat. Seketika saja Langit yang sedang bergelayut di rantai ayunan pun jatuh dengan kepala membentur tanah sangat keras.

Aku memejamkan mata dengan ngeri. Saat aku membuka kembali kedua mata, kulihat darah sudah mengalir deras dari kepalanya dan membasahi tanah. Namun Langit hanya merintih dalam diam. Tanpa berpikir panjang, aku segera meluncur dari papan perosotan sembari teriak meminta tolong sekeras-kerasnya. Entah mengapa, anak gadis yang mendorong Langit itu turut menangis. Semuanya berakhir saat tiga ibu guru tergopoh-gopoh datang dengan wajah panik. Mereka segera membopong Langit dan membawanya menuju klinik terdekat.

Beberapa bulan kemudian, saat kami berjumpa kembali dengan keadaan kepalanya yang masih dililit perban, Langit bertindak seolah-olah ia tidak pernah mengenalku. Awalnya, kukira ia berpura-pura. Bahkan aku sempat berpikir ia marah denganku karena tidak menyelamatkannya. Tapi sampai pesta kelulusannya tiba, kami tidak pernah kembali bertegur sapa.

Lantas aku selalu menyalahkan gadis jelek itu atas cinta pertamaku yang melupakanku begitu saja. Ia menatapku dari sudut kelas dengan tatapan hening dan tanpa gelagat, seperti patung yang dikerubungi setan. Saat kelulusan taman kanak-kanak tiba, aku baru tahu jika nama gadis itu adalah Nirvana.

 

*

 

Dari luar pintu toko roti yang terbuka, rekan-rekan kerjaku melambaikan tangan. Aku menghela nafas panjang serta bangkit. Kami kembali menyebrang dan memasuki pintu kantor yang terhimpit oleh keramaian wisatawan Jalan Braga.

Seperti yang telah kuduga, kini Nirvana sudah mejadi “seseorang”. Dia bukanlah gadis kecil yang jelek dan tak berharga lagi. Sekarang dia telah menjadi aktivis keras kepala serta mejadi ketua tim pendamping warga Candramaya yang rumanya tergusur akibat status kepemilikan lahan yang belum jelas. Dengar-dengar, dia juga sudah pulang dari Italia setelah dapat gelar master. Mas Sultan hanya memberiku satu pilihan. Aku harus berhadapan dengannya, bertanya, dan membuat ulasan lengkap tentang perkara penggusuran ini. Segera. Tanpa basa-basi dan tanpa ditunda.

 

***

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Denganmu Berbeda
8569      2410     1     
Romance
Harapan Varen saat ini dan selamanya adalah mendapatkan Lana—gadis dingin berperingai unik nan amat spesial baginya. Hanya saja, mendapatkan Lana tak semudah mengatakan cinta; terlebih gadis itu memiliki ‘pendamping setia’ yang tak lain tak bukan merupakan Candra. Namun meski harus menciptakan tiga ratus ribu candi, ataupun membuat perahu dan sepuluh telaga dengan jaminan akan mendapat hati...
Rewrite
7652      2396     1     
Romance
Siapa yang menduga, Azkadina yang tomboy bisa bertekuk lutut pada pria sederhana macam Shafwan? Berawal dari pertemuan mereka yang penuh drama di rumah Sonya. Shafwan adalah guru dari keponakannya. Cinta yang bersemi, membuat Azkadina mengubah penampilan. Dia rela menutup kepalanya dengan selembar hijab, demi mendapatkan cinta dari Shafwan. Perempuan yang bukan tipe-nya itu membuat hidup Shafwa...
Bumi yang Dihujani Rindu
6174      2126     3     
Romance
Sinopsis . Kiara, gadis bermata biru pemilik darah Rusia Aceh tengah dilanda bahagia. Sofyan, teman sekampusnya di University of Saskatchewan, kini menjawab rasa rindu yang selama ini diimpikannya untuk menjalin sebuah ikatan cinta. Tak ada lagi yang menghalangi keduanya. Om Thimoty, ayah Kiara, yang semula tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa putri semata wayangnya menjelma menjadi seorang ...
Mencari Pangeran Yang Hilang
2870      1189     3     
Romance
Naru adalah seorang cowok yang sempurna. Derajat, kehidupan, dan juga kemewahan layaknya seorang pangeran telah dia terima sejak lahir ke dunia. Orang tuanya seorang pengusaha kaya sejagat raya yang selalu muncul di TV. Namun ternyata dia yang merasa hidupnya terkekang oleh orang tuanya membuatnya tak memiliki satu pun teman. Dia pun benci tinggal di rumah. Dia ingin bebas. Ketika memasuki SMA,...
HIRAETH
395      273     0     
Fantasy
Antares tahu bahwa Nathalie tidak akan bisa menjadi rumahnya. Sebagai seorang nephilim─separuh manusia dan malaikat─kutukan dan ketakutan terus menghantuinya setiap hari. Antares mempertaruhkan seluruh dirinya meskipun musibah akan datang. Ketika saat itu tiba, Antares harap ia telah cukup kuat untuk melindungi Nathalie. Gadis yang Antares cintai secara sepihak, satu-satunya dalam kehidupa...
Potongan kertas
781      383     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...
Gantung
646      425     0     
Romance
Tiga tahun yang lalu Rania dan Baskara hampir jadian. Well, paling tidak itulah yang Rania pikirkan akan terjadi sebelum Baskara tiba-tiba menjauhinya! Tanpa kata. Tanpa sebab. Baskara mendadak berubah menjadi sosok asing yang dingin dan tidak terjamah. Hanya kenangan-kenangan manis di bawah rintik hujan yang menjadi tali penggantung harapannya--yang digenggamnya erat sampai tangannya terasa saki...
Cinta Semi
1904      844     2     
Romance
Ketika sahabat baik Deon menyarankannya berpacaran, Deon menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta peny...
Dikejar Deretan Mantan
403      246     4     
Humor
Dikejar Deretan Mantan (Kalau begini kapan aku bertemu jodoh?) Hidup Ghita awalnya tenang-tenang saja. Kehidupannya mulai terusik kala munculnya satu persatu mantan bak belatung nangka. Prinsip Ghita, mantan itu pantangan. Ide menikah muncul bagai jelangkung sebagai solusi. Hingga kehadiran dua pria potensial yang membuatnya kelimpungan. Axelsen, atau Adnan. Ke mana hati berlabuh, saat ken...
SORRY
16942      2985     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...