Shinta dan Shanty bilang padaku bahwa mulai minggu depan, mereka tidak akan datang ke rumahku lagi untuk berlatih piano.
Tadi, setelah sesi latihan piano kami berakhir, aku bertanya perihal alasannya pada mereka.
“Apa sebabnya kalian berhenti, Sayang?” tanyaku. “Kalian merasa tidak nyaman dengan cara mengajar Kak Viola? Atau, maaf, tarif belajar yang Kakak tetapkan terlalu tinggi menurut Mommy kalian?”
Sepasang gadis kembar berusia 13 tahun itu saling memandang pada satu sama lain untuk beberapa saat, dengan sinar mata yang kulihat mengandung muatan kesedihan.
Dan Shinta-lah yang akhirnya angkat bicara dengan suaranya yang lembut, “Iya, Kak. Mommy sedang berhemat. Setelah Daddy meninggal dua bulan lalu, Mommy hanya mengandalkan uang pensiun dari tempat kerja Daddy yang nominalnya tidak terlalu besar untuk menghidupi kami. Semakin lama, Mommy bilang semakin banyak biaya yang harus kami kurangi supaya kami bertiga tetap bisa bertahan hidup. Jadi Mommy menyuruh kami berhenti les piano di sini, dan meminta kami untuk fokus belajar di sekolah saja.”
Aku sedih lantaran mendengar alasan yang sangat realistis itu diucapkan oleh seorang gadis remaja yang masih lugu ini. Kehidupan memang berat, ya? Banyak hal yang harus kaukorbankan demi tetap bisa makan nasi dengan lauk-pauk dan minum air bersih setiap harinya.
Jadi, aku hanya mengumbar senyum tulus pada mereka, lantas memeluk dua gadis manis kebanggaanku ini dengan penuh rasa sayang.
“Kakak bisa mengerti itu, Sayang,” kataku sambil mengusap-usap punggung Shinta dan Shanty. “Tapi, kalian harus tahu satu hal ini. Kapan pun kalian ingin berlatih piano dengan Kakak lagi, tidak usah kalian memikirkan soal bayaran, datanglah kemari. Kakak akan menyambut kalian dengan tangan yang terbuka, karena kalian berdua adalah murid piano Kakak yang sangat pintar. Oke, Sayang?”
“Oke, Kak Viola,” sahut mereka, berbarengan.
Akhirnya, aku melepas kepergian mereka dengan lambaian tangan yang agak lemas dan senyum manis yang kupaksakan terbit di wajahku.
Mulai hari ini, sudah resmi aku tidak memiliki satu pun murid les piano di rumahku. Aku harus mencari lagi, tapi entah ke mana.
*
Uang honor yang diberikan Michael padaku minggu lalu memang lumayan besar nominalnya. Dan menurut estimasiku, uang itu masih cukup untuk menopang hidupku sampai, kira-kira, tiga minggu ke depan—dengan catatan: jika aku menggunakannya dengan bijak dan sesuai kebutuhan saja.
Sejujurnya, biaya hidup bulananku tidak terlalu memberatkan, mengingat aku hanya hidup seorang diri di Jakarta ini. Aku hanya perlu menyiapkan uang untuk membayar tagihan listrik dan pengeluaran bulanan untuk makan, minum, dan beberapa hal rumahan lainnya.
Aku beruntung sekali dapat tinggal di rumah ini tanpa membayar biaya sewa barang serupiah pun. Rumah dengan satu kamar yang kutinggali sekarang adalah milik kerabat dekat Anthony yang—menurut penuturannya—sudah lama tidak didiami oleh siapa pun. Jadi, waktu itu Anthony bilang pada kerabatnya itu bahwa akan ada seorang teman baiknya yang bersedia merawat rumah terbengkelai mereka, dengan satu syarat: mereka membolehkan teman baik Anthony itu (baca: aku) untuk tinggal di sana selama rumah itu masih kosong. Syukurnya, mereka sama sekali tidak keberatan atas permintaan Anthony.
Itulah mengapa aku merasa amat berutang budi pada Anthony, temanku yang sangat baik itu. Dan aku akan selalu berada di belakangnya ketika Anthony butuh bantuan apa pun dari diriku.
Ingatanku tentang Anthony dan kebaikannya diinterupsi oleh telepon genggamku yang berdering dengan nyaring dari atas nakas di sebelah tempat tidurku.
“Michael meneleponku? Apakah ini sungguhan?” gumamku, sedikit keheranan. “Apakah ada urusan yang belum selesai perihal job minggu lalu? Seingatku tidak…”
Ketimbang menebak-nebak persoalan yang sama sekali tidak kuketahui apa, aku memilih menggulirkan ikon telepon ke arah kanan untuk menjawab panggilan dari Michael.
“Selamat siang, Viola,” sapanya dari seberang saluran telepon. “Kau masih ingat aku? Aku Michael, salah seorang staf keuangan di Chandelier Hotel yang minggu kemarin mengurusi honormu saat kau jadi pianis di acara weekend dinner hotel kami.”
“Tentu saja aku masih mengingatmu,” jawabku dengan nada seramah dan sehangat mungkin. “Ada apa, Michael?”
“Bisakah kau datang ke Chandelier Hotel sekarang? Ada urusan penting yang harus dibicarakan denganmu, Viola.”
*
Aku melakukan seperti yang diperintahkan Michael: duduk seraya menunggu dengan sabar di sofa yang disediakan oleh Chandelier Hotel tak jauh dari meja resepsionis.
Berada di hotel dengan interior semewah ini, dan melihat orang-orang dari kalangan atas (baca: kaya raya bak sultan Ibu Kota) berlalu lalang dengan tas Hermes, sepatu Luis Vuitton, jam tangan Rolex, serta iPhone keluaran terbaru dalam genggaman tangan mereka, membuat mentalku menciut menjadi seukuran plankton di dalam bak mandi. Aku, si gadis miskin yang tinggal menumpang secara gratis di rumah orang lain, tak ubahnya bagaikan lap dapur kotor di antara kain sutra berlapis berlian mahal, bila dibandingkan dengan pengunjung-pengunjung di Chandelier Hotel yang maha-megah plus mewah ini.
Rupanya, tidak ada banyak waktu yang tersedia untukku mengasihani diri sendiri, karena kemudian Michael datang dengan langkah-langkahnya yang mantap dan langsung menghampiri aku.
“Ayo, Viola. Pak Jo sudah menunggumu.”
Aku bertanya-tanya siapakah Pak Jo yang dia maksudkan ini. Tapi aku tidak mau dibilang rewel karena banyak bertanya, jadi aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis kepadanya.
Kemudian Michael membawaku ke lantai 9, dan menuntunku hingga kami tiba di depan sebuah ruangan dengan pintu berwarna cokelat muda dengan kenop pintu yang berwarna emas berkilau.
Michael menekan bel di pintu, lalu seorang lelaki dengan suara berat berujar dari dalam ruangan—suara lelaki itu terdengar dari speaker kecil yang ditempel di permukaan pintu yang kokoh tadi—, “Masuklah.”
Mendengar perintah tersebut, Michael lantas membuka pintu, menyilakan aku masuk, tanpa dia ikut melangkah ke dalam ruangan yang AC-nya sangat sejuk itu.
Aku langsung diserang kegugupan. Tapi aku menguatkan diriku dan berkata dalam hati bahwa bisa saja ini adalah sebuah kesempatan besar yang tidak pantas untuk kusia-siakan hanya gara-gara rasa gugupku yang remeh.
Jadi… aku melangkah masuk ke dalam ruangan itu dengan napas yang tertahan.
Dan kau tahu… siapa orang yang kutemui sedang duduk di belakang meja kerjanya di sana itu?
Dia adalah lelaki itu. Ayah dari anak lelaki kecil yang minggu lalu bertepuk tangan semangat ketika aku menandaskan lagu pamungkas dalam acara weekend dinner di restoran milik Chandelier Hotel.
“Apa yang kaulakukan dengan hanya berdiri di sana dan melamun?” Kalimat lelaki itu menyentakku dengan hebat dari kebekuanku. “Aku memanggilmu ke sini bukan untuk berdiri seperti patung, kau tahu?”
“Iya… iya, Pak. Maafkan aku,” ucapku dengan agak terbata-bata.
“Duduklah.”
Aku menuruti perintahnya untuk duduk di kursi kosong yang tersedia di seberang mejanya.
Aku ingin menunduk saja, tapi rasanya itu sangat tidak sopan. Jadi aku memaksakan sepasang mataku untuk terarah kepadanya, meskipun rasanya amat tidak nyaman lantaran tatapannya padaku masih setajam dan sedingin satu minggu yang lalu.
“Kau pasti masih ingat Jason, keponakanku yang kautemui di acara weekend dinner seminggu yang lalu,” katanya. Saat mengucapkan itu, dia bersandar ke kursi kerjanya dan kedua tangannya terlipat di depan dada. “Dia sangat ingin belajar piano denganmu. Jadi, kau pasti sudah bisa menebak. Maksud utamaku mengundangmu kemari adalah untuk mewujudkan keinginan keponakanku itu.”
Aku masih membisu. Aku merasa terintimidasi oleh aura lelaki itu. Kata-katanya terdengar dingin, to the point, tapi seandainya diharuskan, aku bersedia mendengarkan suaranya sepanjang hari tanpa merasa jenuh barang secuil pun. Wajahnya yang tirus dengan rahangnya yang tegas itu sangat serasi dengan hidungnya yang mancung dan matanya yang setajam elang saat sedang mengincar mangsa.
Dia adalah lelaki yang mengintimidasi, tapi pada saat yang sama, juga amat sangat mampu untuk menarik perhatian siapa saja, terutama kaum Hawa. Dia begitu karismatik dan mengagumkan, semua orang pasti setuju dengan pendapatku jika mereka sudah melihat paras dan pembawaan lelaki di hadapanku ini secara langsung.
“Aku sedang bicara pada manusia di sini, dan bukan patung. Jadi berbicaralah,” imbuhnya, datar namun tajam.
“Aku… aku bersedia, Pak,” cicitku, lebih seperti berbisik kepada diriku sendiri. Sial, kenapa aku jadi begini sih?
“Apa yang kaukatakan? Berbicaralah dengan jelas,” perintahnya.
“Aku bersedia, Pak,” tukasku, berusaha untuk lebih terdengar yakin. “Aku bersedia menjadi guru piano bagi Jason, anakmu.”
“Keponakanku,” koreksinya. “Kau mengklaim bahwa dirimu adalah guru—tapi tidak bisa menyimak perkataan lawan bicaramu?” Dia kembali menghadiahkan tatapan tajam dan dinginnya untukku.
Sial, bisa-bisa aku mati detik ini juga hanya karena dirinya.
“Maafkan aku, Pak,” kataku. “Maksudku, aku bersedia menjadi guru piano bagi Jason, keponakanmu itu.”
“Bagus.” Dia mengangguk sedikit lalu menegakkan duduknya untuk menatapku dengan lebih intens. Oh Tuhan, selamatkanlah nyawaku! “Aku ingin kau mengutamakan Jason di antara murid-muridmu yang lain—in case kau memiliki murid piano lainnya saat ini. Aku bisa membayarmu dengan harga berapa pun itu. Berapa rupiah yang kauminta? Lima puluh juta untuk sebulan, cukup?”
Mataku terbelalak maksimal. Dia menyebut nominal lima puluh juta rupiah seolah-olah angka itu ekuivalen dengan lima ribu rupiah.
“Terserah kau saja, Pak. Aku… aku akan menurut saja.”
Lelaki itu berdecih, ekspresinya mencibir. “Kalau aku jadi Jason dan mengetahui bahwa calon guruku adalah orang yang tidak memiliki pendirian, aku pasti akan memilih guru lain yang lebih berkarakter.”
Kalimatnya begitu tajam, frontal, apatis, tetapi rasanya bagaikan tamparan keras bagi diriku sendiri. Dia benar, aku harus lebih berpendirian. Harus punya pilihanku sendiri.
“Sepuluh juta sebulan, Pak. Itu sudah lebih dari cukup bagiku,” akhirnya, nominal itulah yang keluar dari mulutku.
Lelaki itu tersenyum miring. Tipis sekali, singkat sekali. Ya Tuhan, izinkanlah aku melihat senyumnya itu sekali lagi. Dia tampan sekali. Tolonglah…
“Baiklah, aku tidak keberatan,” responsnya. “Tapi, kau ingat syarat yang sudah kuutarakan tadi? Atau kau tidak menyimak ucapan lawan bicaramu lagi?”
Aku agak tersinggung atas perkataannya itu. Tapi sial, dia memang benar, aku kadang tidak menyimak dengan baik omongan orang lain.
“Aku ingat, Pak. Aku harus mengutamakan Jason daripada murid-muridku yang lain. Benar begitu, Pak?” Cih, dasar aku pembohong! Padahal terhitung sejak tadi pagi, aku sudah tidak memiliki satu pun murid les piano.
“Bagus. Segala kebutuhan Jason untuk latihan akan kupenuhi. Kau tinggal bilang saja pada Michael, dia salah seorang staf finance di sini sekaligus asisten pribadiku.”
“Mengerti, Pak.”
“Michael juga yang akan memberikan alamat rumahku kepadamu.”
“Mengerti, Pak.”
“Bagus,” tandasnya. “Namamu Viola?”
“Betul, Pak.”
“Baiklah, Viola—calon guru piano untuk keponakanku. Kau juga pasti belum mengenalku,” ujarnya, kemudian menyodorkan tangan kanannya ke depan, mengajakku untuk bersalaman. Oh Tuhan, beginikah cara Kau menghabisi nyawaku? “Perkenalkan, aku Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group.”
Aku menyambut uluran tangan perkenalan dari Joshua dengan sebelah tanganku yang sedikit gemetar.
“Baik… baik, Pak. Senang berkenalan dengan Anda.”
Oh Tuhan, aku akan ‘berbisnis’ dengan lelaki kaya raya—plus sangat tampan, plus karismatik, plus pintar, plus sosok lelaki idamanku, plus dingin, plus bermulut pedas, plus bermata indah tapi tajam—seperti Joshua? Apakah Kau bercanda???[]