Ini adalah harinya. Hari pertama di mana aku akan mengajari Jason main piano di rumahnya.
Semalam, Michael sudah memberiku alamat lengkap rumah Joshua Yamaguchi Sanjaya via WhatsApp. Dan sekarang, aku telah tiba di depan kediaman keluarga Joshua yang berada dalam kompleks perumahan elite di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Melihat pagar hitam besinya yang setinggi 2 meter saja sudah membuatku minder. Aku menekan tombol bel di tembok samping gerbang dan menunggu seseorang hadir untuk menyambut kedatanganku dengan jantung yang berdebar-debar.
Sejurus kemudian, gerbang tinggi di hadapanku bergeser dengan lambat secara otomatis ke arah kanan. Aku mundur setengah langkah. Lalu muncullah seorang wanita setengah baya yang menyambutku dengan senyum hangatnya.
“Ibu Viola?” tanya wanita itu dengan sopan.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Benar sekali. Aku Viola, yang akan mengajarkan Jason main piano mulai hari ini.”
“Silakan masuk. Ibu sudah ditunggu di ruang latihan Jason.”
Wanita ramah itu membawaku ke area outdoor rumah keluarga Joshua. Ruang latihan yang dimaksud wanita itu adalah ruangan besar yang mengapung di atas kolam renang milik keluarga Joshua. Aku melihat desain anterior bangunan yang super-keren itu sambil berdecak kagum berulang kali. Satu-satunya orang yang kutahu mempunyai ruangan terapung di atas kolam renang rumahnya adalah penyanyi pop Indonesia bernama Alika. Aku tak percaya ternyata ada orang lain yang memiliki ide serupa, dan dieksekusi dengan sangat sempurna seperti yang ada di depan mataku kini.
Jason keluar dari ruang latihan. Ketika melihat keberadaanku, dia kontan tersenyum begitu antusias.
“Kak Viola! Ayo kita latihan!”
Aku setengah berlari menghampirinya dan mengusap-usap puncak kepala anak kecil nan menggemaskan ini.
“Iya, Jason. Kita latihan sekarang. Kau sudah siap?”
“Sangat siap, Kak…!” sahutnya dengan semangat yang membara.
Akhirnya kami berdua masuk bersama ke dalam ruangan yang amat luar biasa itu. Ruangan itu memiliki dinding yang terbuat dari kaca bening di keempat sisinya, sehingga memungkinkan kami untuk melihat air kolam renang yang membentuk gelombang pendek dan terempas pecah ketika menabrak dinding kaca tersebut. Sungguh sebuah pemandangan yang teramat ajaib, indah, menenangkan, dan menakjubkan. Sumpah demi Tuhan, aku belum pernah merasakan langsung pengalaman seunik dan sekeren ini dalam hidupku.
Tidak hanya usai sampai di situ kekagumanku atas ruangan latihan piano milik Jason. Sewaktu aku memakukan pandanganku ke pusat ruangan, aku mendapati sebuah grand piano hitam legam yang disandingkan dengan Yamaha Electone keluaran paling baru dengan harga selangit, serta ada pula sebuah piano digital yang diletakkan merapat ke dinding ruangan di sisi kiri.
Jason benar-benar anak yang beruntung. Dia diberikan fasilitas yang sempurna dan lengkap oleh keluarganya yang kaya raya, untuk mendukung minat dan bakatnya sebagai seorang anak yang sudah sepatutnya memperoleh banyak ilmu pengetahuan.
Aku tersadar bahwa sejak tadi aku cuma membisu sembari mengagumi segala kemewahan dan keindahan yang ada di ruang latihan piano Jason. Ketika aku menatap ke arah Jason, anak itu ternyata tengah tersenyum kepadaku dengan matanya yang berbinar menunjukkan rasa senang yang begitu kentara.
“Kau sangat beruntung sekali, Jason, bisa memiliki semua fasilitas yang luar biasa lengkap ini. Ayah, ibu, dan keluargamu pasti sangat menyayangimu, ya?”
Sehabis aku berseloroh begitu, aku melihat sepasang mata Jason menjadi redup. Aku kaget mengetahui hal itu. Kenapa rupanya? Apakah ucapanku keliru? Aku hendak bertanya ‘kenapa’ pada Jason, tapi aku menahan diriku. Peranku di sini hanyalah sebagai guru piano, jadi alih-alih menanyakan hal-hal yang sifatnya di luar konteks pembelajaran, aku lebih memilih untuk mengajaknya menyimak materi piano pertama yang akan dia terima hari ini.
“Nah, Jason yang manis. Hari ini kau akan mempelajari alat musik piano,” mulaiku, dengan kata-kata yang bernada semangat. “Apa kau pernah belajar bermusik sebelumnya?”
“Belum pernah, Kak.” Wajah Jason yang sesaat lalu sempat redup, kini sudah bersinar kembali. Aku senang mengetahuinya.
“Baiklah. Aku akan mengajarkanmu mengenai tangga nada diatonis mayor C. Tangga nada apa, Jason?”
“Diatonis mayor C, Kak,” jawab Jason.
“Anak pintar,” pujiku. “Betul, diatonis mayor C. Tangga nada diatonis mayor C itu terdiri atas 7 nada; C, D, E, F, G, A, dan B, lalu ditambah dengan 1 nada lagi; yaitu nada C lagi, yang berperan sebagai oktaf. Kau bisa ulangi penjelasanku, Jason?”
“Bisa dong, Kak!” angguk Jason. “Tangga nada diatonis mayor C terdiri dari 7 nada… C, D, E, F, G, A, B, terus ditambah dengan 1 nada lagi, yaitu C. Yang disebut sebagai… euh, disebut apa tadi, Kak?”
“Oktaf, Jason,” jawabku.
“Iya, itu, oktaf!”
Aku bertepuk tangan meriah dengan ekspresi yang terkesima. “Kau benar-benar anak yang cerdas, Jason. Aku beruntung sekali memiliki murid seperti dirimu.”
“Terima kasih, Kak. Terima kasih banyak,” balas Jason dengan senang.
Kemudian aku melanjutkan materi pembelajaran kami. Aku mengajarkan Jason posisi duduk yang baik untuk bermain piano, mengajarkannya cara meletakkan jari-jemari secara benar di atas tuts-tuts hitam-putih, dan mencontohkan kepadanya cara memainkan tangga nada diatonis mayor C dengan menggunakan jemari tangan kanan dan tangan kiri yang disinkronisasikan secara berbarengan.
Aku amat sangat senang, kurasa Jason pun sama, hal itu tampak jelas sekali dari semangatnya yang berkobar-kobar dan binar dalam sepasang matanya yang serupa kembang api pada malam tahun baru.
Yang membuatku sedikit heran—walaupun sebenarnya aku juga senang—adalah ketika kudapati Jason memandangi wajahku terus-menerus pada saat latihan, bahkan dia masih saja seperti itu ketika kami sedang break dan menghabiskan waktu jeda itu untuk mengobrol santai perihal Jason dan kesehariannya. Dia selalu menatapi aku sembari terus menyunggingkan senyumnya yang murni dan binar matanya yang bercahaya. Benar-benar seorang anak yang manis dan membuat jatuh hati.
“Jadi sekarang umurmu 8 tahun, Jason?” tanyaku.
“Betul, Kak. Umurku 8 tahun sekarang.”
“Itu artinya, sekarang kau sudah belajar di Sekolah Dasar, ya?”
Jason menggeleng. “Aku tidak pernah belajar, Kak. Aku selalu berada di rumah. Aku tidak mau ke sekolah.”
Keningku mengerut tanpa bisa kutahan saat mendengar penuturan Jason barusan. Hanya selalu tinggal di rumah, dia bilang? Kenapa? Apa alasannya? Tidak mungkin karena masalah finansial, kan? Mengingat keluarga Jason memiliki harta kekayaan yang berlimpah ruah layaknya konglomerat-konglomerat negeri ini.
“Apa sebabnya kau tidak mau ke sekolah, Jason?” tanyaku dengan rasa penasaran yang membuncah sampai ke batas maksimal.
Jason cuma diam. Wajahnya yang tadinya berseri-seri, mulai terlihat mendung kembali.
Aku menyesal sudah bertanya begitu, jadi kualihkan perhatiannya pada pelajaran berikutnya. Untunglah upayaku itu berhasil membuat Jason kembali bersemangat dan tidak murung lagi.
Jujur saja, aku senang bisa menjadi guru piano bagi Jason. Tapi di samping itu, aku juga memiliki seribu satu pertanyaan soal kehidupannya. Atau mungkin lebih tepatnya… kehidupan keluarganya.[]