Naila terdiam, pikirannya berkecamuk memikirkan Regan yang hilang begitu saja. Bukan hanya dia, tapi pengisi rumah besar itu hilang begitu saja. Naila coba menghubunginya lagi, tapi sekarang lebih parah. Ponsel Regan tidak aktif begitu juga dengan adiknya, Risma.
“Ayo Nai,” ajak Ninda.
Naila tersentak dan segera mengikuti Ninda. Hari ini mereka berangkat pagi sekali, demi menemukan sosok misterius itu. Mereka berdua kebelet penasaran dengan sosok itu, mereka yakin pagi ini sosok itu akan hadir.
“Tumben pagi-pagi banget,” sambut Tira saat mendapati kedua anaknya telah siap dengan seragam sekolahnya.
“Ada something yang harus dipecahkan Bu,” jawab Ninda.
“Something apaan?” tanya Tira.
“Jangan kepo, Bu,” balas Ninda membuat ibunya tersenyum simpul.
“Sekarang Regan jarang main ke sini, apa kalian baik-baik saja kan?” Tira berhasil membuat kedua anaknya saling tatap, mengisyaratkan agar salah satunya menjawab ibunya.
“Hm, baik-baik aja, kok. Ya, kita kan bentar lagi mau ujian, jadi sibuk ngafalin,” jawab Ninda sembari meraih roti yang telah ditaburi oleh butiran keju.
Naila memakan sarapannya, pikirannya masih dipenuhi tentang Regan. Kemana cowok itu? Apa dia baik-baik saja? Naila berharap kekasihnya itu baik-baik saja, hilangkan pikiran buruk. Dan Naila berharap Regan menampakkan batang hidungnya di sekolah nanti.
Selesai sarapan, mereka pamit dan menunggu angkutan di sana. Suasana di luar masih sangat sejuk, bahkan kendaraan yang lalu lalang masih sedikit. Mentari pun, terlihat malu-malu untuk memendarkan cahayanya di ujung langit sana.
“Nai, kamu udah coba telepon Regan lagi?” tanya Ninda.
Naila menganggukkan kepalanya. “Tidak aktif,” jawabnya lesu, setelah melakukan panggilan lagi.
“Kemana dia. Awas saja kalo sekarang nongol di depan gue, gue tampol!” gerutunya.
Akhirnya angkutan yang mereka tunggu tiba, tanpa menunggu aba-aba, keduanya langsung masuk dan duduk di kursi yang berada di tengah. Selama di perjalanan, Ninda tiada hentinya terus mengelus bahu Naila, berharap apa yang dilakukannya bisa menguatkan batinnya.
Saat tiba, suasana GHS masih sepi. Hanya ada beberapa siswa, itu pun pengurus osis yang tengah bertugas. Memasuki lorong kelas dua belas, Ninda mempercepat langkahnya tanpa menimbulkan suara. Tepat berada di balik pintu kelas, Ninda mengintip dan benar saja sosok kemarin sedang melancarkan aksinya. Cekatan, Ninda memberi kode kepada Naila agar mendekat dan turut menyergap sosok itu.
Begitu Naila berada di sampingnya, mereka mulai mendekat tanpa menimbulkan suara. Ketika jarak mereka dengan sosok itu dekat, Ninda mulai menghitung dan sreg! Ninda memeluk tubuh sosok itu.
“Kena lo!” ujar Ninda.
Ninda memeluk dengan erat, seerat-eratnya. Yang dipeluk terdiam pasrah, sampai Naila membuka hodi dan juga maskernya. Saat Naila membuka masker sosok itu, Demi Tuhan! Ia benar-benar terkejut sampai mundur beberapa langkah. Sedangkan Ninda, tanpa di sadari pelukannya melonggar sembari memasang tatapan tidak percaya kepada orang dibalik semua ini.
“Ra-ma?” ujar Ninda dan Naila bersamaan.
“Gak usah terkejut kali!” sewot Rama.
“Jadi teror romantis ini datang dari lo, kenapa harus dengan cara begini?” kata Ninda yang masih takjub dengan aksi Rama.
“Biar romantis aja, lagian enggak mungkin kan setelah lo putus sama Regan gue langsung nembak lo,” ungkap Rama. “Hm, Nin, lo mau gak jadi pacar gue?”
“Idih nembak gak ada romantis-romantis—” Belum sempat Ninda menyempurnakan kalimatnya, Rama memeluknya dengan begitu erat, bahkan ia langsung memberi kecupan di dahinya.
Naila yang menyaksikan hal itu memberi tepuk tangan seraya jingkrak-jingkrak kegirangan.
“I love you.” Rama menatap Ninda penuh.
Yang ditatap tidak berkedip, Ninda masih terbawa suasana yang terasa singkat ini. Bahkan orang-orang telah berdatangan mengentakkan langkahnya memecah keheningan. Rama melepaskan pelukannya tapi tidak dengan tatapannya. Wajah bersih tanpa jerawat, dengan rambut agak ikal masih menatapnya penuh cinta.
“Nin?”
Ninda mengerjapkan matanya, kemudian mengatur napasnya. Ninda berjingjit untuk menyamakan tinggi dengan laki-laki yang berada di hadapannya, tapi, dia telah membungkukkan tubuhnya. Tanpa ragu, Ninda membisikkan jawaban. “I love you.”
Rama dan Ninda mengulas senyum. Hari ini merupakan hari bersejarah bagi hidup Ninda dan juga Rama. Apalagi laki-laki berjaket hitam ini merupakan kali pertama mengutarakan perasaannya kepada perempuan yang dicintainya. Perlu diketahui, Rama mulai tertarik kepada Ninda saat sikapnya berubah—tepatnya ketika Ninda berstatus pacar Regan.
Naila memeluk Ninda dan meninju bahu Rama dengan sangat bahagia, tapi berbeda dengan suasana hatinya yang masih berkecamuk menampilkan rasa khawatir kepada Regan.
“Eh, Nai.” Naila menoleh ke arah Rama. “Regan kemana, dari kemarin dihubungi susah banget.”
Naila terdiam cukup lama, membuat saudaranya itu bertindak. “Aku kira, Regan main sama kalian. Asal kamu tahu, dari kemarin juga telepon dan chat dari Naila enggak dibalas,” terang Ninda.
Tak terasa pengisi sekolah GHS sudah berkumpul, bahkan tinggal hitungan menit bel masuk berbunyi. Naila masih berada di kelas IPA, masih asyik dengan Ninda dan Rama yang baru saja memadu kasih sayang.
Mohon perhatian untuk seluruh siswa dan siswi Ganesha High School harap memasuki lapangan upacara! Sekali lagi untuk seluruh siswa dan siswi Ganesha High School harap memasuki lapangan upacara, terima kasih!
“Ada apa ya? Ini bukan hari senin, kan?” Ninda mengerutkan dahinya.
Rama dan Naila menggelengkan kepalanya bersamaan. Tanpa digubrak sama pengumuman dan pengurus osis, mereka mulai memasuki area lapangan. Baru saja mereka mengeluarkan kakinya dari kelas, tiba-tiba Gema datang menerobos dan meminta untuk menunggunya.
“Nai, tas kamu simpan aja di sini,” pinta Ninda yang diangguki oleh Naila.
Setelah itu mereka pergi ke lapang upacara, dan hampir seluruh murid sudah memenuhi lapangan upacara. Seperti mereka, yang lainnya pun sama bertanya-tanya mengenai tujuan dikumpulkannya di sini. Di antara lalu lalang para murid, pengurus osis terlihat bergerak gesit memasang sound system. Kemudian, seluruh siswa hening saat salah satu guru meminta agar tenang.
Begitu tenang, seorang perempuan asing di ribuan pasang mata warga GHS kecuali di mata Ninda, Rama, dan Gema, menaiki bangku yang sering digunakan Pembina saat upacara. Semua orang di sini mengerutkan dahinya, menatap heran kepadanya.
“Ge, bu-bukannya itu Elfina?” tanya Ninda.
“I-iya i-tu Elfina.” Gema menatap fokus ke arah Elfina yang terlihat sedang mengatur napasnya.
Elfina menatap orang-orang yang menyorot ke arahnya. Lagi-lagi ia menghela napas, berat. “Hai.” Elfina benar-benar tidak kuat untuk menceritakan semuanya, bahkan baru saja ia mengucapkan satu kata kedua matanya telah berkaca-kaca. “Aku Elfina Rosa dari SMK Nusantara.” Kini air matanya benar-benar jatuh menyapu kedua belah pipinya.
Gema yang melihat hal itu berjalan memecah kerumunan orang untuk berada di deretan paling depan, diikuti oleh Ninda dan Rama. Sedangkan, Naila masih membeku di tempat, memahami arti ekspresi yang ditonjolkan oleh Elfina.
Elfina mengembangkan senyum saat mendapati ketiga temannya berada di hadapannya. “A-aku mempunyai kabar untuk ka-kalian.” Napas Elfina tertahan, derai air mata kini membanjiri pipinya lebih deras membuat orang-orang yang berada di sini semakin penasaran bahkan beberapa dari mereka ada yang terpancing untuk menangis.
“Kabar yang mungkin, membuat kalian tidak percaya.” Elfina terengah-engah, setelah kemarin ia menangis kini ia harus kembali menjatuhkan air matanya.
Ninda, Rama, dan Gema masih menatap lekat ke arah Elfina, kendati deru napas ketiganya sudah tidak teratur. Embusan angin yang menerpa tubuhnya seakan-akan kehilangan kekuatannya.
Dalam derai air mata, Elfina menarik napas dalam-dalam. “Untuk saat ini, besok, lusa dan seterusnya, teman kita Regan tidak akan pernah hadir lagi. Dia … sudah tenang di alam sana.”
Suasana sekolah ini seketika hening mencekam, suara simpang siur angin membuat sekujur tubuh mereka merinding. Elfina benar-benar menangis saat ini, membuat orang-orang yang menatapnya turut menangis, bahkan saling peluk dengan teman sebelahnya, seperti Ninda yang langsung mengeratkan tubuhnya kepada Rama sebelum akhirnya roboh.
Napas Gema dan Rama tertahan sampai membuatnya sesak. Kemilau air yang menyelimuti bola matanya tumpah begitu saja mendapatkan berita mengejutkan dari sosok yang bisa dibilang bukan teman dekatnya Regan.
Sedangkan Naila, membeku, membiarkan air matanya yang tak mampu mencairkan kebekuannya membanjiri dua belah pipinya. Beriringan dengan deru napas yang terasa kasar, tubuhnya roboh begitu saja.
“Untuk itu, saya utusan dari keluarga Regan, memohon agar semua tingkah laku Regan yang membuat kalian tersinggung, atau yang membuat kalian jengkel dan sakit hati mohon maafkanlah, maafkan Regan.”
Elfina sudah tidak mampu berucap lagi, semua kekuatannya berlalu dengan air mata yang terus membanjiri pipinya. Pak Jaya selaku wali kelas XII IPS 1, akhirnya menggantikan posisi Elfina yang sudah turun dari bangku dan berlari menuju Gema lalu mendekapnya dengan erat.
Pak Jaya memberikan permohonan maaf untuk sikap Regan kepada semua warga GHS, setelah itu beliau memimpin doa untuk Regan. Selesai berdoa, semuanya kembali ke kelas kecuali kelas XII IPS 1 yang masih larut dalam kesedihan.
“Na-Naila mana?” tanya Ninda, parau.
O0O