Suara jangkrik memenangkan paduan suara malam ini. Nyamuk nihil, serangga-serangga lain juga nampaknya tidak sanggup menandingi para tuan jangkrik dalam menyumbang bunyi-bunyian.
Aku merasa tidak sepenuhnya tidur. Aku tahu saat Guna terkantuk-kantuk dengan layar leptopnya, aku tahu saat Sabang menyelesaikan beberapa replika dari pelataran situs yang akan dilaporkan, aku juga tahu saat Eoni pamit pulang dan El yang tidur di ruang tengah. Bahkan saat malam-malam Mbah Kakung menggoyangkan bahu kiriku untuk membangunkanku, aku segera terjaga.
Mbah Kakung nampak memperhatikanku sebentar, “Kemarilah, aku ingin kau mengetahui sesuatu.” Bisiknya dengan suara sepuh yang berwibawa.
Nyawaku belum terkumpul, tapi aku segera tahu apa yang harus aku lakukan. Sontak aku segera ingat tentang perkataan Pak Wicak saat perjumpaan kami yang terakhir itu, ia ingin aku menanyakan tentang Orang Dalam pada Mbah Kakung.
Di tengah kungkungan suhu udara yang tidak jauh-jauh dari angka 13 derajat celsius, aku meninggalkan selimut tebalku. Aku terkejut tapi mencoba membuat biasa saja, entah untuk alasan apa Mbah Kakung membangunkanku di hari yang masih sangat dini ini.
“Kemarilah, Nak. Maafkan aku karena membangunkanmu saat sedang istirahat. Sebab, aku takut tidak ada waktu lain.” Kata Mbah Kakung.
“Tidak apa, Mbah. Selagi saya sanggup, saya mencoba selalu ada setiap kali dibutuhkan.” Tegasku.
Mbah Kakung mengajakku ke halaman belakang, tempat di mana aku biasa menghabiskan pagi bersama Eoni. Di sana Mbang Kakung mengeluarkan sebuah gulungan kertas kuno yang sudah kecoklatan.
Saat kami berdua sudah duduk nyaman dengan posisi kami masing-masing, saat itulah Mbah Kakung membuka gulungan tadi dan mulai bercerita.
“Nak, salah satu perkara hidup yang cukup penting adalah tentang datang dan pergi. Entah itu, manusia, barang-barang, keadaan dan apa saja, mereka mempunyai masa di mana ia akan datang, dan di masa lain ia pergi. Seperti itu terus silih berganti. Namun ada beberapa hal yang bisa dibilang istimewa, mereka adalah manusia, benda dan apa saja yang tidak pergi dan mau menetap untuk waktu yang lama, ketika perkara lain terus-menerus pergi dengan atau tanpa meninggalkan arti sama sekali. Perkara-perkara yang tidak mudah pergi itu pasti akan mendapat posisi istimewa baik di pikiran maupun hati kita. Itu pasti. Walaupun kadang kita baru sadar hal itu berarti malah pada saat hal itu telah pergi. Tapi tiap kepergian pasti disertai dengan alasan, begitu juga ketika ia datang, gulungan kertas tua ini adalah contohnya. Entah berapa kali ia hilang, semakin aku cari malah semakin tidak ditemukan. Tapi pagi tadi, saat aku masih menyambut subuh dengan hati yang sedang ditenang-tenangkan, gulungan ini menampakkan dirinya sendiri di samping rak bukuku…”
Sebuah gulungan tadi ia dapat dari kawan lama yang tinggalnya amat sangat jauh dari sini, bukan jauh tempatnya tapi jauh keberadaannya.
Pasalnya tidak semua orang bisa sampai ke tempat itu begitu saja, baik itu direncana ataupun tidak.
Saat masih bujang, Mbah Kakung adalah anak seorang petani kentang, namun kehidupannya tidak sejahtera, zaman itu tengkulak adalah yang paling berkuasa dalam memainkan harga, sementara petani hanya bisa tunduk dengan permainan itu.
Sebagai rakyat biasa, Mbah Kakung dan keluarga hanya mengandalkan hasil panen yang melimpah agar tidak rugi, namun sebanyak-banyaknya lubang yang coba ditutup, masih ada celah yang tersisa juga.
Mbah Kakung muda setiap hari pergi ke kebun untuk merawat segala macam sayur mayur yang ditanam saat itu.
Dan di antara hari-hari yang panjang, ada satu hari yang sangat ia ingat hingga sekarang. Itu adalah hari di mana gulungan kertas ini sampai padanya, mungkin ia tidak akan pernah bisa lupa hingga kapan pun.
Waktu itu hujan mengguyur seharian, ikan besar banyak yang mati namun induk ikan menetaskan telur yang banyak, buah-buah juga berwarna cerah meskipun rasanya hambar ketika bertemu lidah.
Entah apa yang terjadi tapi sudah seminggu alam terasa ganjil, kucing enggan mengeong dan ayam senang berkokok sewaktu-waktu.
Namun hari-hari itu berhenti ketika Mbah Kakung muda bertemu dengan seorang yang amat mirip dengan kakeknya.
Mbah Kakung bertemu mereka di dalam hutan sepulang dari kebun, saat sedang membetulkan aliran sumber mata air yang mengarah ke desa.
Iya, tidak hanya satu orang, melainkan satu kelompok dengan orang yang paling tua sangat mirip dengan kakeknya.
Yang amat sangat ia ingat adalah dua pasang saudara kembar yang bernama Ying dan Yui, dan sepasang yang lain bernama Yaya dan Yua.
Mbah Kakung tahu nama ini di pertemuan yang ke sekian.
Orang itu memakai pakaian yang aneh dan terus berbicara dalam bahasa yang tidak Mbah Kakung muda mengerti.
Ada sedikit rasa takut dalam diri Mbah Kakung saat itu, tapi rasa penasarannya lebih besar. Dengan langkah pelan dan hati-hati ia meminta diri, “Permisi, hanya numpang lewat, mau mengukur sumber air,” Mbah Kakung berjalan cengar-cengir, sementara yang dimintai permisi menatap bingung.
Namun orang yang mirip dengan sang kakek tadi menghampirinya, “Hati-hati ya nak, kami juga sekedar numpang lewat.”
Gerombolan orang itu sempat menawari Mbah Kakung sepotong kue ubi dan segelas minum berbau menyengat, namun Mbah Kakung menolaknya. Bukan karena tidak menghormati, namun karena ia berhati-hati, mau bagaimanapun ia tidak mengenal mereka.
Tidak banyak yang terjadi dalam pertemuan itu, Mbah Kakung juga segera melanjutkan perjalanannya ke sumber mata air yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kebun kentang.
Saat tugas tunai dilaksanakan, Mbah Kakung kembali dengan mengambil jalan yang berbeda, ia tak ingin bertemu dengan sekelompok manusia aneh tadi.
Namun hal yang mengejutkan terjadi kali ini, di jalan pulang ia melewati sebuah danau yang airnya hampir kering, di pinggirannya ia menemukan sebuah bambu coklat dengan kedua poros yang saling bersilangan menjadi penutup di kedua sisi.
Karena ganjil dan tak yakin, Mbah Kakung mengenggol bambu tadi dengan kaki, takut bom katanya. Jaman-jaman itu masih sering ditemukan ranjau darat sisa-sisa penjajahan.
Secara tak sengaja tutup dari bambu itu terbuka dan mata mbah kakung menangkap selembar kertas tergulung di dalamnya, seperti ia ingin dirinya ditemukan.
Tanpa pikir panjang, Mbah Kakung segera mengambil benda itu dan mengamatinya sepanjang jalan pulang. Ketika sampai di kebun kentang, Mbah Kakung membaca sajak-sajak yang tertulis di sana.
Selesai membaca, Mbah Kakung bertanya-tanya, milik siapakah benda ini? mengapa ia bisa ada di sana? Hingga akhirnya ia ingat dengan orang-orang yang ia temui di hutan tadi. Ini pasti milik mereka!