“Kita datangi saja mereka, dan sampaikan maksud kita baik-baik. Kau orang ‘bersih’ di sini?” Kata Eoni seraya menggandeng tanganku dan menariknya.
“Tunggu, Eoni.” Tak selang lama, aku melihat mobil jeep dengan plat luar kota melaju ke arah desa, di kejauhan aku mengamati Pak Jayadi dan Mas Aji juga melihat ke objek yang sama. Ke arah mobil.
Aku segera berhitung dengan keadaaan, dan aku putuskan untuk urung menitipkan supra sakit ini.
“Tidak Eoni, tidak usah, aku merasakan ketidakberesan di sini. Apa kau lihat mobil jeep yang barusan lewat?” Tanyaku memastikan, aku tak mungkin melihat benda sebesar itu sendirian.
Eoni pun mengangguk, jelas saja ia melihat.
“Aku kira, yang ada di sini tak hanya kita. Aku takut ketika bergabung ke sana dan ada orang yang melihat kita, mereka mengira kita ada di sisi yang sama dengan Pak Jayadi dan Mas Aji. Kau tentu tahu tentang perkara harta candi yang sampai sekarang masih misterius, kabar itu kembali menguap akibat kecurigaan beberapa anggota tim terhadap mereka berdua. Aku tak ingin cepat-cepat mengambil kesimpulan, tapi supaya kita aman, lebih baik jaga jarak terlebih dahulu dengan mereka agar kita tidak dikira ikut-ikutan juga dalam aksi terlarang kemarin.” Jelasku pada Eoni.
Tak sempat berdiskusi lebih lama lagi, entah dari arah mana Bonu dan beberapa pemuda desa datang dan menepuk bahu kami, “Eh Bang Nadif, dan Eoni juga, sedang apa di mari?”
Wajah kami langsung kaku, dugaan yang barusan aku ucapkan ternyata benar, tidak hanya aku dan Eoni yang ada di jalan ini. Bonu terlihat santai dan tidak membawa apa-apa.
Bagaimana jika Bonu ternyata mata-mata yang entah berada di pihak siapa yang kemudian ditugasi untuk melakukan atau mengamati sesuatu di waktu sekarang ini?
Pikiran Eoni juga sepertinya sama, wajahnya juga tidak kalah terkejut.
“Nona kenapa seperti shock sekali bertemu kami? Jangan-jangan kalian berdua sedang berkencan ya?” Nada bicaranya seperti menggoda kami, entah benar-benar menggoda atau sekedar akting saja.
“Eh tidak, tidak, Eoni hanya mengantarku ke tukang cukur.” Sergapku segera.
Gadis di sampingku mukanya bersemu merah dan terlihat agak menunduk, entah apa maksudnya tapi parasnya menjadi bertambah manis seribu persen secara instan kalau sedang malu-malu begini.
“Tidak, kami tidak berkencan.” Eoni terlihat cepat menguasai dirinya sendiri.
“Ah syukurlah, aku lega. Berarti peluang untukku masih ada, kalau hanya Bang Nadif saja saingannya, aku kira aku bisa lah yaa, menikung, menyalip dan memotong lintasannya. Aku rasa aku lebih tinggi, kuat dan keren dari Bang Nadif, bukan begitu Nona?” Bonu menggoda kami lagi.
Kali ini aku rasa Bonu orang yang ‘bersih’ juga, meskipun aku ada sedikit keyakinan kalau ia tidak sepolos dan sebaik yang aku kira tapi aku rasa ia orang yang baik, jika pun ia mata-mata, sepertinya ia berada di pihak yang aku inginkan.
Jika benar dugaanku, maka ia adalah aktor yang canggih.
Eoni tertawa, setidaknya itu terlihat jelas dari barisan gigi putihnya yang rapi, iya ia tertawa bukan tersipu seperti saat denganku tadi. Ini menjadi tanda yang lumayan baik bagiku.
“Mau cukur rambut di mana?” Tanya Bonu.
“Di pinggiran pasar, aku pernah melihatnya. Kata Bu Nada kalu cukur rambut di situ murah dan potongannya bagus.”
“Ah, Bang. Jam segini tentu saja sudah tutup. Mending nanti aku saja yang potongin, gratis. Kalo bayar bisalah pakai traktir makan.” Ucapnya sambil tertawa.
“Ide bagus.” Kata Eoni.
Aku meliriknya, kenapa juga dia bilang begitu.
“Tapi masalahnya sekarang bukan itu.”
“Lalu?”
“Motor milik Pak Kadus rewel sekali ini. Entah apa maunya, dari tadi mogok…” Aku menjelaska serinci mungkin apa yang terjadi dan apa yang telah aku otak-atil pada motor ini.
“Begini saja, karena aku masih ada urusan, lebih baik Bang Nadif dan Eoni pulang dulu, panggilkan ponakannya Pak Kadus, ia pandai masalah begini. Setahuku motor ini juga sering dia otak-atik. Masalah potong rambut bisa nanti atau besok.”
Setengah jam lebih kami berbincang alhasil kami pulang dengan jalan kaki.
~~~
Aku pulang dengan rambut masih utuh, itu membuat Guna bertanya-tanya. Lima jam aku pergi tapi tidak mendapat apa-apa, “…jadi kau habis dari mana dan melakukan apa saja dengan Eoni, Bang?” tanyanya heran.
Aku sebenarnya malas menjelaskan, tapi apa boleh buat, dia sama repotnya dengan ibu-ibu serba tahu seolah ia berhak tahu urusan tiap-tiap manusia di seluruh dunia. Aku menjelaskan pelan-pelan, secara detail dan sebenar-benarnya agak ia tak terus-menerus memotong ucapanku,
“Rambutku memang utuh, dan aku pulang juga tidak bawa jajan atau kue yang kau pesan, tapi aku dapat kabar kejadian yang mungkin bisa kau pertimbangkan.” Jelasku.
Aku sengaja memperpanjang kalimat supaya ia penasaran dan memperhatikan betul apa yang aku ucapkan. Pada beberapa bagian aku sengaja melakukan penekanan pada setiap kalimatku, terutama beberapa bagian tentang kekagetanku melihat Pak Jayadi dan Mas Aji, kemudian Bonu yang datang tiba-tiba dan lain sebagainya.
Aku menceritakannya secara lengkap, tuntas tanpa tertinggal satu kejadian pun.
“Kita harus membicarakan ini pada Pak Wicak, Bang. Kita tidak mau hal yang lebih buruk. Jangan-jangan mereka sedang merencanakan sesuatu yang lain. Jangan sampai kita kecolongan lagi.” Saran Guna, dan aku setuju.
“Baik, nanti, setelah aku potong rambut ya!”
Guna menepuk jidat, kesal dengan urusan potong rambutku yang tidak kelar-kelar.
“Jangan lupa ajak Sabang juga, dia perlu tahu tentang ini.” Teriakku sambil berlalu.