Pergi jauh ke balik lembah mencari ‘entah’ yang katanya purba. Itu adalah kalimat yang selalu aku bincangkan dengan kawan-kawan lain jika hal yang coba kami cari tidak menampakkan hasil nyata.
Semua terasa semu, samar-samar dan tidak jelas seluk-beluknya. Sejarah memang selalu kaya akan sudut pandang, dan sebagai manusia di dunia kita pasti paham tidak semua sudut pandang mengandung kebenaran.
Beberapa cerita bisa direkayasa sedemikian rupa untuk mewariskan padangan yang menurut penulisnya benar.
Beberapa hari setelah potong rambut nampaknya orang-orang sekitar masih saja belum terbiasa dengan gaya baruku, menurutnya aku terlihat seperti anak SMP. Guna yang paling senang mengolok-oloku tentang seleraku yang menurutnya aneh ini.
Aku sebenarnya tidak masalah dan mengambil pusing dengan gerombolan rambut di kepalaku, namun karena terus dibicarakan aku kadang jadi merasa, apa memang seaneh itu?
Setelah Aku dan Guna membicarakan beberapa kecurigaan kami pada Pak Jayadi dan Mas Aji, akhirnya malam ini Pak Wicak menyuruh kami untuk meluangkan waktu dan tidak melakukan lembur apapun, nampaknya ia serius ingin membicarakan sesuatu dengan kami.
Namun sebelum menemui beliau aku harus lebih dulu menunaikan tugas dan kewajiban mingguan untuk diriku sendiri yaitu; mencuci baju. Ah! Entah bagaimana cara memperlakukan baju-baju kotor ini selain dengan mencucinya. Aku rasa mencuci baju adalah pekerjaan yang tidak pernah selesai, sebab ketika ia bersih, esok ia akan kumal kembali, dan setelah kumal kita harus mencuci agar bersih kembali, seperti itu terus-menerus tiada putus.
Tapi mencuci kali ini sedikit lebih spesial karena Eoni menemaniku, ia sengaja betul membawa laptop ke lantai dua hanya untuk menemaniku menjemur. Ya ampun! Gadis ini memang tidak mungkin tidak menarik perhatianku, bukan hanya dari parasnya tapi juga dari tingkah lakunya.
Sesekali ia serius dengan pekerjaan di layarnya, sebagian ia memandangiku sambil tertawa, menurutnya lelaki yang mencuci bajunya sendiri adalah pemandangan langka.
“Tinggal lima baju lagi, total ada dua puluh delapan baju, celana dan pakaian dalam yang aku jemur. Sudah seminggu aku belum mencuci.” Ucapku sambil menjembreng celana lapangan yang berat dan susahnya minta ampun kalau dicuci setelah bergulat dengan lumpur.
Eoni tertawa lagi.
“Tidak berniat menggantikan pekerjaanku?” Ucapku melirik ember-ember basah karena air cucian.
Ia tersenyum, “Belum saatnya.”
Aku tertegun. Aih entah apa maksudnya dengan kalimat belum saatnya itu, apakah akan ada saatnya untuk mencucikan baju-bajuku? Ah! Pikiranku jadi traveling kemana-mana.
“Kenapa nyucinya malam-malam? Mau hujan juga.”
“Baru sempat, Eoni. Biar hujan yang penting kan ada atap seng ini, jadi enggak kehujanan. Kalau tidak begini aku tidak akan pernah bisa mencuci baju, kau kan tahu sendiri, dari siang sampai sore aku selalu di lapangan, kalau weekend juga aku kadang lembur atau mengirim report dan berita ke kota. Sebenarnya kalau internet di sini bagus, pekerjaan itu lebih mudah tapi kau sendiri juga tahu kan bagaimana lancarnya sinyal ponsel di sini.” Sedikit sarkas tapi kami saling bertukar tawa untuk menanggapinya.
Sayup-sayup angin cukup mengganggu percakapan kami, beberapa daun rapuh juga terlihat beterbangan.
Sepertinya langit benar-benar menginginkan hujan agar menemui bumi. Gemuruh guntur dikejauhan sesekali menyapa telinga kami dan semakin lama menjadi semakin sering.
Beberapa menit berlalu akhirnya urusanku dengan perkara cuci-mencuci ini selesai, kutaruh ember terakhir di kakiku, kemudian duduk di balai-balai bersama Eoni.
Sejenak aku menghembuskan nafas, menatap kabut yang secara pelan tapi pasti menghalangi pandangan.
“Kenapa?” Tanya Eoni tiba-tiba.
Aku masih diam, pikirku tidak semua resah pantas diutarakan.
“Keluarkan saja, barangkali bisa membuat kepala dan dadamu sedikit lebih ringan.”
Aku menghembuskan nafas lagi.
Kini angin mulai membawa serta air langit yang hendak menyapa bumi. Beberapa rintiknya membelai wajah kami, namun tidak membuat kami beranjak.
“Aku khawatir masalah di ekspedisi ini bukannya selesai malah jadi lebih besar.” Bisikku jujur, sangat jujur dari dalam hati.
“Jarang sekali kau terdengar pesimis seperti ini, di mana si Tuan rata-rata air yang selalu aku temui? Lagi libur?” Ledeknya, yang berhasil mengundang segaris senyum di bibirku.
Gadis ini selalu pandai membuatku tertawa. Sebenarnya tidak hanya aku, melainkan semua orang yang ada di sekitarnya.
“Dif, begini, apa kau kenal baik dengan orang yang memotong rambutmu kemarin lusa?” Entah apa maksudnya tapi ia menanyakan itu secara tiba-tiba, sementara aku masih menebak ke mana arah obrolan ini akan berjalan.
“Bonu, ia yang mencukurku kemarin. Aku rasa, aku mengenalnya, walaupun tidak akrab betul.”
“Kau tidak akrab dengan Bonu tapi kau memberikan kepercayaan padanya untuk memotong rambutmu. Tentu, dia membawa benda tajam dan bisa mencelakaimu kapan saja, tapi kemarin, secara tidak langsung kau telah mempercayakan nyawamu pada dia. Dan kau mudah saja melakukan itu. Seharunya kau juga begitu pada Maha yang memberi kehidupan, mudah saja kau beri kepercayaan pada-Nya agar segala masalahmu, entah itu berat atau ringan, pasti akan ia beri penyelesaian. Teman yang tidak akrab saja kau beri wewenang untuk menambil bagian penting dari hidupmu, masa’ iya Dia yang jelas-jelas memberi segala hal padamu sejak awal, tidak kau perbolehkan mengambil andil dalam kisah yang kau toreh di dunia ini? Dia yang kasih masalah, aku rasa Dia juga yang akan tarik lagi masalah itu.”
Aku diam, memperhatikan ucapannya betul-betul.
“Pasrah dan percaya, Dif. Itu maksudku, kau tidak mungkin berontak saat dicukur kemarin, bukan? Begitu juga selagi kau menghadapi masalah ini, kau diperlakukan sedemikian rupa oleh-Nya, karena kau sedang dipoles, ditata dan dipahat agar kau menjadi sesuatu yang baru. Selalu ada tangan-tangan yang tidak kita ketahui yang bersedia membantu menangani urusan kita, itu yang selalu aku percaya.” Katanya.
“Yah begini lah aku, Eoni. Saat kau mengucapkan kalimat-kalimat tadi, aku merasa ingat dan terisi kembali. Tapi jauh dari itu, aku sering lupa, dan aku butuh seseorang sepertimu untuk senantiasa memberi reminder untukku.”
“Selalu, Dif. Sejauh yang aku bisa.” Eoni tersenyum tulus.
“Meskipun sebenarnya aku agak merasa tidak sreg dengan hasil polesannya Bonu, karena Guna terus-menerus mengejekku dengan gaya rambut yang ia buat.” Aku meringis menertawakan sesuatu yang tidak lucu.
“Selama kau merasa nyaman, seharusnya itu bukan masalah. Kau telihat cemerlang di mata orang yang tepat, Dif. Dan itu bukan mata semua orang, cukup mata orang yang tepat.” Ia tersenyum lagi, membuat pertahananku runtuk sepenuhnya, aku ingin sekali memeluk gadis ini.