Nampaknya matahari bekerja keras hari ini, sinarnya menyengat dan membuat silau pelupuk mata.
“Aku agak kecewa waktu tahu abang tidak ikut lintas alam kemarin,” Kata Guna, aku juga sama kecewanya, “Mengapa juga harus kau yang mengantar Maharani. Harusnya Sabang saja, mereka kan pacaran.”
Sampai di sini segera kusergap mulut Guna, “Kau tahu juga?” sementara Guna mengangguk santai. “Aih, apa hanya aku yang tidak tahu?” batinku, “Oke lanjut ke cerita awal.”
“Aku kira kau yang menggagas acara ini, jadi kau sudah pasti ikut. Tapi nyatanya tidak. Tapi itu seru sih, Bang. Aku jadi lebih kenal sama warga desa sekaligus tempat-tempatnya.” Guna membenarkan duduknya sambil mencari tempat yang lebih teduh, aku pun ikut, “Mungkin ada lima jam lebih kami berjalan melewati kebun, hutan, lembah, bukit dan sungai-sungai. Sebagai orang Jakarta, mulutku cukup berisik, tidak percaya di negara ini masih ada tempat seteduh itu.”
Sampai di sini aku masih sanggup mendengar basa-basinya.
“Tidak ada yang aneh saat kami baru berjalan satu jam dan belum masuk hutan terlalu dalam, namun selepas sungai di lembah pertama, aku menemukan keanehan, Bang. Di setiap tikungan sungai yang menuju hulu, ada satu kain putih dengan noda coklat entah tanah entah darah yang diikatkan pada rating pohon. Entah apa maksudnya, tapi aku melihat, Sabang dan El juga sama.” Mata kami sama-sama melotot mendengar reaksi satu sama lain.
“Sungguh? Aku juga pernah melihatnya, dan itu ada di sekitar sini.” Tambahku.
“Aku tak paham apa artinya, tapi itu cukup membuat telingaku merinding, keramaian rombongan tidak bisa menutupi suasananya, Bang. Kalau aku tidak salah hitung, aku melihat tujuh kain, namun El bilang ia lihat delapan, sementara Sabang hanya melihat lima. Beda-beda, terlepas dari apapun itu, kain-kain berdarah ini pasti memilihi arti atau pertanda sesuatu, tidak mungkin benda semacam itu diletakkan di ranting pohon, di bagian dalam hutan, dengan alasan iseng-isengan, tidak mungkin. Aku rasa ini ada hubungannya dengan situs dan kejadian penjarahan di awal waktu penelitian ini, Bang.”
“Ah, kalau aku berfikir begitu juga, bisa jadi ada hubungannya dengan situs, kabarnya candi ini cukup dicari karena ia sempat hilang, entah hilang tiba-tiba atau hilang karena tertimbun, yang jelas hilang. Namun aku tidak mengira sejauh itu sampai ada hubungannya dengan penjarahan harta candi, Gun. Dari berita yang aku dapat, memang beberapa orang tua di desa ini melakukan semacam ritual-ritual meminta izin pada yang tidak terlihat, aku tidak terlalu paham dan mencari tahu tentang ini, namun aku percaya mereka melakukannya. Mungkin kain-kain itu salah satu caranya.”
Guna terlihat manggut-manggut mendengar perkataanku.
“Lagi, Bang. Ada hal yang mungkin membuat diriku menebak-nebak sesuatu..” Belum selesai dengan perkataannya, tiba-tiba Guna menghentikan kalimatnya karena ia melihat seseorang mendekat ke arah kami.
Orang itu adalah Eoni, ia terlihat sangat enak dipandang dengan kemeja, topi dan sepatu lapangan yang tinggi, tambutnya di kuncir kuda lalu di biarkan keluar dari sisi topi bagian belakang yang ia kenakan.
Ia bagaikan mutiara cemerlang di antara tukang gali dan kami yang kusam.
Aku dan Guna membuang wajah serius kami, pura-pura memasang ekspresi kepanasan, mencoba seolah tak ada hal serius yang tengah kami bicarakan.
“Es teh?” Gadis ini mencoba menawariku. Hanya aku.
Aku tentu mengangguk, tawaran apapun dari Eoni sangat jarang aku tolak. Setelah menuang teh dingin itu dari dalam tempat minumnya, Eoni juga mengeluarkan selembar sapu tangannya dari dalam saku untuk kemudian ia pakai untuk mengelap keringat di jidatku dan menangkupkannya di kepala.
“Hati-hati, panas hari ini menyengat.”
Ini yang membuatku tidak bisa menolak perhatiannya, meskipun kadang ia dingin dan dewasa, ia terkadang terlihat seperti ibuku yang penuh perhatian.
Sisi hatiku berkata ingin menikahinya, sisi yang lain bertahan untuk waspada karena gadis ini belum jelas milik siapa.
Guna jadi berdeham berkali-kali, terbatuk, pura-pura ingin muntah, tentu saja ditujukan padaku dan Eoni. “Tolong, di dunia ini aku tidak ngontrak, jadi jangan dianggap hanya milik berdua.”
Gadis cantik bertopi ini tersenyum dan pipinya bersemu merah, aih kecantikannya bertambah 3000%.
“Kamu mau juga, ndut?” Eoni mengulurkan tangannya yang membawa sebotol teh yang tadi sempat ia tuangkan untukku.
Guna menolak, ia mengambil minumnya sendiri, sengaja sok jual mahal. Kelalukannya itu membuat kami tertawa.
“Makan siang dulu, sudah disiapkan. Hari ini aku dan Gembi yang masak.” Ucapnya sambil mendorong kami ke tempat yang ia maksud.
Aku dan Guna saling bertukar kode untuk melanjutkan pembicaraan serius tadi lain waktu. Keadaan sedang tidak mendukung.