Malamnya, alam kembali tertidur, sementara aku, Guna dan Sabang masih terjaga di beranda rumah, mengelilingi sebuah anglo dan menyantap jagung bakar.
Entah perasaanku saja atau bukan, tapi makanan yang di makan di pegunungan rasanya menjadi terasa lebih nikmat, meskipun sederhana. Aku menghela nafas satu-satu, menyadari betapa panjangnya hari ini.
Di kejauhan terlihat angin saling berebut arah sampai-sampai membuat ribut pucuk-pucuk pinus yang nampak bagai siluet di sebelah timur.
“Ah, berapa bulan lagi waktu kita di sini?” Guna nampaknya menyadari sesuatu.
“Esok saat hasil uji forensic dari sampel tengkorak manusia yang kita temukan di situs itu keluar, pas tiga bulan.” Sabang mengatakan hal demikian, kesadaranku sedikit terkejut karena itu adalah jobdesk-nya Eoni yang jelas-jelas ahli forensik, mengapa jadi ia yang hafal sekali, menyebalkan, “Sisanya masih tiga bulan lagi.” Lanjutnya.
Guna terlihat menatapku, nampaknya ia tahu aku memang sedikit keki pada Sabang. Sejak kecurigaan orang-orang terhadap Sabang tidak terbukti sama sekali, Sabang-lah yang disuruh untuk mengantar Pak Wicak ke kota terdekat kalau sedang ada kepentingan, aku yang sudah puluhan kali menerima suruhannya jadi merasa posisiku terancam di mata atasan.
Belum lagi masalah Eoni, Guna yang memang tipe orang yang perasa, pasti ia tahu apa yang terjadi di antara kami, belum lagi seharian kemarin Maharani yang baru kembali sudah langsung membombardir pikirannya dengan sejuta curhatan. Guna adalah si polos yang sebenarnya paling banyak tahu urusan perasaan di satu tim ini.
“Guna, lanjutkan ceritamu yang tadi siang, belum selesai, jangan sampai kau buat aku tidak bisa tidur karena penasaran.” Aku mencoba membanting stir arah pembicaraan, sebelum suasana obrolan tadi mengancam privasiku.
“Ah, kau benar sekali, Bang Nadif. Kebetulan ada Sabang juga di sini, kau akan tahu sudut pandangnya juga.” Lelaki subur ini membenarkan duduknya, “Waktu kemarin kami lintas alam itu, banyak kejadian ganjil yang aku rasakan, di jalur pendakian ke Gunung Dahyang terdapat cabang-cabang jalan yang nampaknya sering dibuat lalu lalang penjalan kaki, padahal kita semua tahu jalur via Desa Kejajar ini kurang diminati karena jalannya yang terjal dan panjang.”
Aku dan Sabang manggut-manggut.
“Kami lintas alam hanya sampai pos dua, kata Bonu itu cukup ideal, sebab kalau sampai puncak harus buka camp di pos lima. Akhirnya kami setuju. Rombongan pun sepertinya tidak berminat untuk sampai puncak. Saat di pos dua, aku menemukan jejak-jejak manusia di sana, itu ada sebelum kami sampai, bukan jejak sepatu, melainkan telapak kaki, banyak dan dalam. Ukurannya sedikit lebih besar dan panjang dari ukuran kaki milik kita-kita ini. Aku kira petani dan peternak kalau merumput tidak akan sampai ke sana, kalaupun ada aku rasa bukan dari orang Desa Sarang Panjang atas, Bonu juga mengatakan hal yang sama. Benar kan, Bang?”
Sabang mengangguk, menyetujui perkataan Guna.
“Sebagai orang yang sering masuk hutan, rasa-rasanya itu bukan hutan yang ‘perawan’, maksudku, aku merasakan banyak aktivitas yang ada di sana.” Sabang menambahi.
“Tapi sebelum kita kemari, saat penelitian masih dalam tahap survey, orang-orang bilang kalau hutan ini masih asli, karena letaknya yang ada di pedalaman serta tak ada campur tangan manusia. Begitu juga saat kita pertama melihat situs bukan? Candi ini terlihat sepi dan sendirian bahkan saat sudah melewati ekskavasi tahap pertama tahun lalu. Bisa jadi aktivitas yang kau maksud adalah aktivitas hewan yang tinggal di sana, dan jejak kaki itu mungkin adalah milik primata. Bisa saja begitu.” Aku sedikit menetralkan pembicaraan, menghindari asumsi-asumsi yang tidak perlu.
“Kau tidak melihat sendiri jejaknya sih, jadi enteng saja ngomong begitu.” Guna sedikit sewot karena ucapannya yang sedikit aku sanggah secara halus.
“Ada yang lebih mengejutkan lagi,” Sabang melirik Guna, nampaknya mereka paham arak pembicaraan ini mau kemana, “Di jalan pulang, kami melihat…”
“Melihat apa?” Desakku, aku tak ingin pembicaraan ini jadi ajang tebak-tebakan.
“Saat pulang kami bertemu dengan Pak Jayadi dan Mas Aji di lahan kosong dekat situs, Dif.” Sabang mengatakan kalimat itu sambil berbisik. Saking lirihnya, aku sampai memintanya untuk mengulangi ucapannya lagi.
“Iya betul, aku melihat mereka berdua sedang berbincang dengan seseorang, entah siapa di tempat itu. Sepertinya mereka tengah merencanakan sesuatu. Penampilan orang itu terlihat mengerikan dan mencurigakan, ia mengenakan topi besar dengan jaket kulit ala-ala intel yang biasa aku lihat di film-film. Bisa jadi mereka lah yang merencanakan penjarahan situs kemarin. Kau tahu sendiri kan, kemarin itu Mas Aji dan Pak Jayadi ngotot sekali menuduh Sabang sebagai salah satu pelaku, dan tuduhannya nol besar! Jangan-jangan malah mereka sendiri pelakunya. Kau pasti tahu juga kalau hubungan Pak Jayadi dengan Pak Wicak itu tidak terlalu baik.” Tambah Guna.
“Jangan ngawur mengira yang tidak-tidak dulu, bisa jadi itu tukang gali yang ikut ekskavasi atau orang yang sekedar ingin lihat-lihat area situs. Kemarin juga ada pengunjung, Eoni dan aku yang disuruh menemani, karena memang orang asing belum bisa leluasa menjelajah tempat ini, takut tersesat juga. Dan mungkin kali ini sama kasusnya.” Aku menimpali.
“Nadif, kau ini orangnya terlalu positive thingking, apa tidak lelah bersikap begitu terus? Kau selalu mengelak tentang dugaan-dugaan masuk akal yang aku tahu itu buruk dan tidak enak didengar, tapi bisa jadi itu adalah kebenaran. Pada kenyataannya, dunia ini tidak sebaik yang kamu pikir, Dif.” Sabang menukasku demikian, aku tak bisa menolak, karena aku sendiri juga merasa begitu, kadang pikiran positif ini yang lebih sering membohongiku karena keadaan yang sebenarnya memang tidak baik-baik saja, tapi aku saja yang berdalih dengan terus menduga-duga bahwa hal buruk tidak akan terjadi. Dan itu tentu sebuah kesalahan.
“Aku yakin kau tersiksa sendiri dengan sikap yang kau ciptakan sendiri itu, bukan? Aku paham tipe orang sepertimu, Dif. Tapi satu hal yang harus kau pahami, dunia yang baik-baik saja hanya terjadi di pikiranmu, bukan dunia nyata ini. Kau harus ubah pola pikirmu baik-baik sebelum kau terkejut dan gila, karena musuh kita sebenarnya, bisa jadi adalah orang-orang terdekat.” Sabang menoleh ke arah Guna yang terlihat sependapat.
Aku tak tahu mengapa dua temanku ini sangat berambisi untuk mengetahui pelaku penjarahan, meskipun dalam diriku juga menyimpan keinginan yang sama.
“Aku tak bermaksud meminta kalian untuk mendukungku atau bagaimana, tapi yang jelas jika kalian tidak turut serta maka aku akan mencari bukti sendiri, setelah dapat baru aku akan mengatakannya pada kalian, jika kurasa itu aman. Atau malah sebenarnya aku sedang bicara dengan pelaku itu, aku juga tidak tahu,” Suara Sabang tercekat sampai di sini, “Jika tidak mengandalkan diri sendiri? Mau mengandalkan siapa lagi? Setiap orang yang datang, hadir hanya karena sebuah kebutuhan dan kepentingan. Langka sekali mencari yang ada karena ia merasa memang sudah seharusnya ia ada dan bertanggung jawab. Aku tak mau acuh dengan kebenaran yang disalahkan maupun salah yang dibenarkan, aku akan mencari tahu siapa dalang penjarahan ini.” Sabang berkata mantap dengan memengangi dadanya sendiri.
“Aku ikut kau, Bang.” Guna tiba-tiba, terus terang itu mengejutkanku.
Dan dengan terpaksa aku mengacungkan kepalan tangan yang disambut oleh mereka.
Aku juga ikut, meskipun aku tak tahu apa yang di depan kami.