Selama berbulan-bulan kami tinggal di sana, matahari selalu menjalankan tugasnya dengan baik untuk membangunkan alam yang lelap setiap pagi. Progres pekerjaan kami cukup baik, seluruh lahan pada situs ekskavasi juga sudah mulai nampak semuanya dengan tanah lapang yang cukup melegakan jika dipandang.
Dinding keliling candi yang sudah tinggal separuh ketinggian juga mulai menemui dasarnya. Setidaknya penelitian ini membuahkan hasil meskipun kami belum tau misteri-misteri yang belum terpecahkan sebelumnya.
Terus terang, aku, Pak Wicak dan tim belum sepenuhnya bisa memecahkan siapa pelaku penimbunan situs dengan bolder-bolder beberapa bulan yang lalu, kami juga belum mengerti kemana perginya harta candi di lubang sumur dangkal yang berada di bagian senter tubuh candi.
Pak Wicak memintaku untuk menganalisanya lebih dalam seiring waktu penelitian berjalan.
Aku terus mencari tahu muasal dari candi ini, mecocokannya dengan jurnal dan kitab berhubungan, mencoba menjamah situs-situs terdekat barangkali ada sangkut pautnya, semua itu untuk mengeduk kisah masa lalu dan mencari potongan sejarah yang mungkin hilang, terlewat atau terpendam dari catatan sejarah.
Dengan hari-hari yang begini-begini saja memang sedikit bosan rasanya, tapi aku selalu ingat kata ibu; salah satu cara untuk melakukan pekerjaan yang hebat adalah dengan mencintai apa yang kamu lakukan, tetap semangat dan semoga selalu sehat ya!
Sebaris kalimat itu aku dapat setiap kali kami berbincang dengannya melalui telpon genggam. Kalimat “semoga tetap sehat,” mungkin akan terdengar biasa saja jika kita sedang merasa baik, lain halnya jika sedang ditempatkan dalam keadaan buruk, sakit dan tidak punya pegangan, maka tiga kata itu super dan sangat berarti sekali maknanya.
Hari ini aku ke lapangan ekskavasi, ditemani Eoni, nampaknya ia sudah selesai dengan pasiennya sejak dua hari yang lalu, El yang bertugas membawa seluruh kerangka manusia ke laboratorium pengujian.
Aku sempat berfikir Eoni memilih tinggal karena aku, tapi aku meragukan dugaanku sendiri. Ia kemari karena ia memang bagian dari ekskavasi ini, bahkan sebelum aku bergabung. Iya, Eoni sudah terjun di projek ini sejak ekskavasi sebelumnya.
“Nadif, tadi Pak Wicak mencarimu.” Sabang menghampiriku sambil mengulungkan beberapa catatan lapangan yang ia buat hari ini.
“Sudah tadi, biasa masalah pajak.” Orang-orang di sini tahu, aku adalah anak buahnya Pak Wicak yang paling pertama ia cari.
Pekerjaanku tidak hanya di urusan projek dan kantor saja, tapi sampai juga ke urusan membeli makan ikan atau membayar tagihan listrik. Kadang beberapa deadline miliknya juga aku yang atasi.
Sabang segera kembali ke kesibukannya setelah memberiku acungan jempol, artinya pekerjaannya berjalan dengan baik.
Tiba-tiba Guna yang sekarang menghampiriku, kami berdua sedang mengamati bagian belakang dinding keliling candi yang sudah terbuka.
Dari sini terlihat jelas seberapa luas halaman candi ini sebenarnya. Di beberapa sisi juga ditemukan benda-benda pecah belah, pecahan guci, batu yang cekung dan semacamnya.
Kemungkinan dahulu, di sekitar candi juga ada pemukiman penduduk. Hal ini menjadi petunjuk tapi juga sedikit membingungkan, karena pada dugaan awal, kami mengira candi ini dibuat untuk bertapa dan semedi.
Biasanya candi yang seperti itu berada tersembunyi di tempat sunyi, bukan di tengah pemukiman padat penduduk. Untuk urusan ini Gembi dan Bu Nada yang paling dibuat pusing.
Aku juga sempat menilik para teknisi yang sedang memasangi CCTV di beberapa tempat agar situs bisa dipantau selama 24 jam dari tempat yang jauh sekalipun. Meski sebenarnya hal ini sedikit mengerikan karena candi ini berada di lembah yang dikelilingi hutan bukit, aku sedikit penasaran tentang hal-hal apa saja yang akan terekam di sana.
Belum lagi ini adalah candi yang kental dengan budaya masa lalu, entah itu hubungannya dengan roh, pertapaan, atau peribadatan bagi yang mempercayainya. Tapi tujuan awal dari pemasangan ini lurus, yaitu menghindari perusakan situs seperti kejadian sebelumnya.
“Bang Nadif, ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Nada bicara Guna sedikit samar-samar seolah mengisyaratkan agar pembicaraan ini tidak banyak orang yang tahu.
Aku sontak mendekat dan kami memilih tempat yang agak berjarak dari kegiatan orang-orang.
“Tidakkah kau masih penasaran dengan pelaku penimbunan situs kemarin itu? Yang dugaannya mencuri nyawa dan harta candi, apa kau masih ingin tahu?” Sergapnya tiba-tiba.
“Tentu aku penasaran dan akan terus mencarinya, Gun. Aku dan Pak Wicak belum lagi membahasnya karena yang lebih penting sekarang ini adalah untuk membuka lahan, melakukan penggalian, dana yang ada memang digelontorkan untuk itu, maka kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, terlebih kita sudah kecolongan di minggu-minggu awal karena peristiwa yang ternyata sama sekali tidak kita duga. Kita dibayar bukan untuk jadi detektif, tapi bukan berarti kita tidak harus mencari tahu lebih banyak dan selalu berwaspada, aku paham pekerjaan ini tidak mudah apalagi mencari tahu teka-teki yang tidak ada tanda pastinya, ditambah kesadaran masyarakat kita yang menganggap bahwa temuan barang purba adalah kerberuntungan bagi dirinya semata, itu menambah sulit pekerjaan, terlepas dari kejadian kemarin aku yakin yang melakukannya adalah para mafia yang sudah ahli.” Aku menjelaskan demikian karena aku paham, mungkin Guna kira orang-orang telah melupakan kasus penjarahan dan menganggap semua baik-baik saja, padahal tidak, aku dan beberapa orang bergerak diam-diam untuk menanganinya.
“Mungkin kau perlu tahu tentang ini, Bang. Beberapa hari yang lalu saat aku ikut lintas alam, aku menemukan beberapa kejadian aneh.” Guna menarikku.