Purnama malam empat belas, bulan tersemat bundar seperti wajah Eoni. Ya, wajah gadis itu memang bulat jika rambutnya tidak digerai sehingga tak bisa menutupi sebagian sisi wajahnya.
Ia kadang mengeluhkannya padaku, mengapa dengan badan yang mungil, ia mempunyai wajah sebulat itu, menurutnya itu kombinasi yang kurang serasi, tapi sesungguhnya enak-enak saja kalau dipandang.
Aku sempat meledeknya dengan; Mari melihat bulan bersama ‘bulan’, ia terlihat tidak terima dengan hal itu, melihat ekspresi mukanya yang terlipat semakin membuatku semangat untuk mengejeknya. Namun hal ini tak berlangsung lama, aku harus segera berangkat untuk ikut berburu tikus hutan.
Tak ada bayangan sama sekali di benakku mengenai bagaimana wujud tikus hutan itu sebenarnya, apakah ia sebesar kucing, atau mungkin berwarna putih, atau mungkin tikus itu adalah tikus yang duduk di kursi empuk dengan kemeja dan dasi, serta berangkat ke kantor setiap pagi. Aku tidak tahu, intinya detik ini juga kami akan berangkat.
Bonu adalah pemimpin perburuan kali ini, ia pemuda yang terkenal cekatan dan selalu menang dalam membawa barang buruan. Kemampuannya itu memang tercermin dari perawakannya yang tinggi, berbadan tegap dan bogem tangannya yang sebesar buah sirsak, kekar sekali.
Aku sebagai laki-laki yang berbadan sedang, jadi terlihat unyil di sampingnya. Kemarin waktu kami merapikan bolder dari tempat ekskavasi, Bonu bisa mengangkat batu sebesar lumpang sendirian.
Menurut yang aku dengar, tikus akan keluar tiga kali dalam semalam untuk mencari makan, kalau kenyang mereka akan berhenti, salah satu waktunya ada di jam 8 sampai 10 malam. Waktu yang tak banyak itu harus dimanfaatkan dengan baik. Aku kira perburuan ini akan memakai alat semacam senapan atau penjerat dan lain-lain.
Namun bukan itu yang dipegang Bonu dan kawan-kawannya, melainkan sebuah ketapel dengan tiga karet pengait yang kuat dan sebuah badan ketapel berbahan besi. Iya, ketapel, mainanku saat masih bocil.
Yang unik lagi, mereka memakai senter head lamp yang telah di modifikasi dengan sedemikian rupa sehingga bisa dipasang dikepala dan nyalanya tahan lama, dengan ini, aku kira masyarakat desa tidak primitif sekali.
Aku, Guna dan Sabang memakai sepatu lapangan yang biasa kami pakai ke tempat ekskavasi, terus terang aku agak geli kalau saja saat berjalan atau berlari mengejar tikus nanti, aku menginjak ular, cacing dan hewan hutan yang tak terduga lainnya.
Tapi Bonu dan pemuda desa yang ikut rombongan ini sungguh berani bukan main, mereka hanya memakai sandal bahkan ada yang berterlanjang kaki masuk hutan malam-malam, katanya sudah biasa.
Ada dua anjing yang ikut serta bersama kami, namanya pistol dan redi.
“Kuberi nama pistol karena dulu waktu beli memang ditukar sama pistol sungguhan.” Jelas Bonu. Meskipun aku agak aneh karena warga desa bisa punya senjata api, tapi sudahlah, itu sudah dulu.
Sebelum berangkat, kami mencari batu kerikil terlebih dulu sebagai peluru dari ketapel yang akan digunakan nanti, aku membawa satu kantong plastik penuh. Di belakang rumah Pak Kadus ada banyak, dan kami bisa mengambil di sana secara cuma-cuma.
Jalur awal yang kami lalui sama dengan jalur yang dipakai ke tempat ekskavasi, tapi rombongan tidak mengarah ke sana, melainkan di area hutan dan gunungnya saja. Tidak hanya kami yang berburu, ada juga kelompok-kelompok lain, di tikungan hutan aku juga sempat melihat beberapa jerat yang sudah ada hewan yang terjebak di sana.
Tapi tidak bisa kami ambil, itu milik orang lain.
Pistol bergerak cepat mengendus keberadaan tikus hutan. Tikus ini lebih mudah dideteksi karena sembunyinya di balik daun dan pepohonan, bukan di balik kebijakan. Tikus ini harus ditangkap karena mengganggu dan pelan-pelan menggerogoti kesejahteraan rakyat desa.
Nama mereka memang tikus hutan, tapi tidak benar-benar mencari makan di hutan karena pada waktu-waktu tertentu mereka datang ke ladang dan sawah milik warga dan menjarah di sana, mengambil yang bukan jatahnya. Tikus yang seperti itu memang sudah seharusnya diberantas saja, pakai ketapel.
Lebih dari yang aku bayangkan, hutan ini gelap bukan main saat malam hari. Seperti menyambangi dua hutan berbeda dengan rupa yang sama, padahal ini tempat yang juga aku lewati saat pagi hari jika berangkat ke situs ekskavasi. Agaknya kebanyakan hal di dunia ini memang begitu, jika beda tempat dan beda waktu maka beda juga sifat dan perilaku.
Langit yang sedikit mendung tidak mengizinkanku untuk melihat bintang gemintang malam ini, hanya bulan sebulat koin saya yang sinarnya mampu menembus jajaran awan yang memenuhi langit tapi tidak terlalu tebal.
Semakin lama, jalur yang kami jejaki sudah bukan lagi jalan setapak atau jalur pendakian, tapi sudah benar-benar menerobos hingga ke dalam-dalam hutan.