Suara seranggga dan teriakan para pemburu memanggil nama anjing masing-masing ramai memenuhi isi hutan. Bonu juga beberapa kali meneriakkan pistol.. piss.. pistol.. guna menggiring pistol. Mereka terlihat lincah dan piawai, seperti sudah melalukan hal ini ribuan kali.
Rumput dan pepohonan menggores tubuh kami, beruntung aku mengenakan baju panjang, Guna dan aku selalu berada di yang paling belakang karena teman lain larinya sungguh cepat gila-gilaan, jangankan mengetapel tikus, untuk lari mengerjar Bonu dan kawannya pun aku kewalahan.
Saat pengejaran tikus, tak jarang aku juga bertemu gerombolan lain yang juga sedang mencari tikus, tapi karena fokus dengan target masing-masing, kami tentu tak saling sapa. Hal semacam ini kata Bonu sudah biasa.
“Ya, ampun. Mengapa mereka larinya gesit sekali.” Keluh Guna.
“Kan tadi aku sudah bilang, sebaiknya kau di rumah saja dengan El dan Gembi. Malah sok-sok’an ingin ikut segala.” Aku berkata demikian sambil ngos-ngosan.
Nafas Guna juga terdengar menderu dengan perutnya yang kembang kempis.
“Oy, kalian jangan diam saja di situ, nanti tertinggal.” Sabang meneriakiku, aku dapat melihat cahaya senter di kepalanya. Ia tengah berada di atasku, tanah yang sedang kami ini mempunyai kemiringan yang cukup memusingkan.
Guna masih menyandarkan tubuhnya di badan pohon, sementara aku memegangi dada berdiri di depannya. Sebenarnya aku hendak naik dan menyusul, namun karena melihat keadaan Guna, niatku jadi urung.
“Sabang, kau duluan saja, aku nunggu si gendut ini. Nanti nyusul pelan-pelan.” Balasku sambil berteriak.
“Kau diam saja di situ, nanti kami balik lagi untuk menjemputmu. Naik saja ke atas pohon, takut ada anjing liar atau semacamnya, paling lima belas menit lagi kami kembali dan jalan turun.” Bonu agaknya mendengar teriakanku, namun kuamati cahaya di kepalanya agak jauh dengan telah senter milik sabang.
Aku dan Guna serempat menjawab Oke kencang-kencang.
Sejujurnya aku takut kalau hanya berdua begini, tapi Guna sungguh memprihatinkan, nampaknya ia sudah tak sanggup lagi berlari. Ia bilang perut bagian bawahnya nyeri dan ingin muntah karena tak biasa lari.
Cukup lama aku dan Guna bertengger di atas sini, di beberapa tempat terlihat cahaya berkelebat ada yang jauh ada yang dekat, yang berasal dari senter pemburu. Itu membuatku merasa lebih baik karena berarti di arena ini kami tidak hanya berdua.
Di pucuk pohon juga terlihat tikus-tikus yang terkejut melihat keberadaan kami, mungkin tikus itu heran melihat manusia yang memburunya sama-sama berada di atas pohon. Atau malah mungkin ia kira kami adalah tikus juga, hanya saja berukuran tidak normal.
“Simpan tenagamu, jam 10 nanti ada diskusi seperti malam yang lalu-lalu, kau tidak boleh langsung tidur.” Entah mendengar atau tidak, tapi kurasa ucapanku sudah cukup keras untuk didengar oleh Guna di dahan seberang.
Sepuluh menit berlalu, Bonu dan rombongan belum ada tanda-tanda kembali. Teriakan pistol.. piss.. pistol.. juga samar-samar terdengar timbul tenggelam terhalang jarak. Sepertinya mereka masih jauh.
Guna memejamkan matanya, entah tertidur sungguhan atau tidak, aku tidak tahu. Saat aku putarkan cahaya senter dikepalaku, tiba-tiba aku melihat selembar kain putih yang sepertinya juga memiliki noda lumpur dan darah. Sempat tak percaya dengan penglihatanku, aku mengucek-uceknya sampai tiga kali dan benda itu masih di sana.
Tersemat di dahan pohon pinus yang ada di samping kiriku, tapi letaknya agak jauh. Aku sedikit takut sekaligus bingung melihat hal ini.
Masih sibuk mengamati selembar kain itu, tiba-tiba aku kembali terkejut mendengar teriakan kesakitan yang letaknya tak terlalu jauh dari sini, karena aku mendengarnya sangat jelas seperti ada di sebelah telingaku. Dan tak lama dari itu, entah pendengaranku salah atau tidak, aku merasakan langkah kaki yang banyak dan serempak melintas di bawah tanah yang miring ini, mungkin mereka berlari di sini hutan yang lebih datar.
Langkah itu ramai dan hentakannya cukup kuat, aku sempat mengira itu adalah kelompok pemburu lain, tapi aku tidak melihat cahaya senter membersamainya. Nampaknya mereka sempat berhenti beberapa saat, sebelum akhirnya langkah seribu itu kembali terdengar dan perlahan menjauh, meninggalkanku dengan jutaan pertanyaan.
Beruntung, tak lama kemudian Bonu dan rombongan segera datang, hasil yang kami bawa cukup banyak, kalo dimasak bisa jadi dua loyang kata salah seorang teman. Tapi aku tidak ikut makan, hanya melihat saja. Ikut berburu sudah cukup menyenangkan bagiku.
Sesampainya di rumah, aku lihat Sabang sudah rapi, entah kapan ia pulang. Aku tak ingat apakah saat kembali dari hutan ia ada di rombongan bersamaku atau tidak. Tapi itu lebih baik dari pada ia tidak kembali sama sekali.
Guna dan Sabang izin tidak ikut diskusi malam ini, Pak Wicak terlihat tidak ambil pusing. Kami anggota baru kebanyakan hanya diam dan mendengarkan para senior saling lempar argumen. Yang berbicara paling hanya aku, itu pun jika mendesak atau diminta.