Dan kini, di atas atap rumah tempat angin lirih menyapa aku, Eoni dan beberapa tiang jemuran yang sudah ditinggalkan penggunanya. Kami tengah menatap senja yang jingga sempurna, seolah jingga itu sebagai tanda dari senja yang mengabarkan pada seluruh penduduk dunia bahwa saat ini adalah waktunya ia pulang ke peraduan, menghilang ke sisi bumi yang lain.
“Tapi beginilah nyatanya, embun memang selalu hadir di sisi yang lebih hangat.” Kalimat Eoni segera membuatku paham tentang arah pembicaraan kali ini. Tadi selepas kerja lapangan, aku dan dia sengaja pulang nanti-nantian agar bisa jadi yang paling akhir di perjalanan pulang.
Kami mengambil jalan pulang yang sama dengan jalan saat aku berangkat sendiri di pagi hari, anehnya, di dahan pohon pinus, tempat yang seharusnya aku melihat kain bernoda darah dan lumpur, kain itu sudah lenyap, tak bersisa apa-apa selain jejak-jejak sepatu di samping akar pohon yang sedikit mencuat seolah berontak di timbun tanah. Itu tentu jejak para anggota ekskavasi lain.
Tak ada sisa apa-apa.
“Tapi aku tidak setuju jika kau menuduh salah satu pelaku dari perusakan situs kemarin itu adalah salah satu dari anggota tim,” aku berkata demikian tentu karena berbagai alasan, “dugaanmu masih terlalu dini dan belum ada bukti, Eoni.” Aku tahu ia mencurigai Sabang sebagai salah satu pemeran yang terlibat sebagai sumber permasalahkan ini.
“Aku tak memintamu percaya, aku hanya menyampaikan dugaanku dengan bukti yang ada tapi tidak mengada-ada. Sebagai orang luar, maksudku aku bukanlah arkeolog sepertimu atau yang lain. Aku akui, dia diam-diam memang lebih pintar dan tenang di antara kalian semua.” Dia yang dimaksud oleh Eoni adalah Sabang. “Dan dia yang paling pendiam dari kita semua, cerdas tapi tidak berusaha menonjol karena ia tak mau menjadi bagian penting dari projek yang akan ia hancurkan.”
Memang benar yang dikatakan Eoni, tapi itu tidak bisa diartikan secara langsung bahwa Sabang adalah musuh dalam selimut. Namun untuk saat ini aku belum bisa terlalu membelanya, karena aku sendiri pun tak punya bahan pembelaan yang sepadan dengan hal yang diucapkan Eoni.
“Ah sayang sekali, padahal aku ingin menghabiskan senja ini denganmu dengan obrolan ringan sebagai pelepas penat setelah hari yang panjang dan melelahkan. Tapi kau malah mengajakku bicara tentang hal memusingkan ini.” Ucapku sambil tertawa.
“Tidak, Eoni. Aku mempercayai sobat kita yang satu itu, meski aku tak bisa bohong kalau aku pun pernah mencurigainya. Aku lihat beberapa gantungan kuncinya adalah koin kuno yang entah apa dan dari mana asalnya, tapi itu bukan koin yang digunakan jaman sekarang. Tapi itu juga bukan bukti. Dan lagi, tentang kain di pohon itu, aku rasa itu bisa jadi penanda dari hal lain, di desa ini masih banyak pemburu. Habis ini saja aku akan berangkat ke hutan untuk mencari tikus. Jadi maklum saja ada benda berlumpur dan berdarah, tersemat di dahan pohon. Bisa jadi itu darah hewan atau sejenisnya.” Lanjutku.
“Dif, aku menyukai kisah sejarah dan berbagai tinggalannya, aku senang membaca cerita dan sesekali menyelidiki artikel-artikel yang berkaitan dengan masa lalu, andai diberi pekerjaan ke dua aku akan memilih menjadi sepertimu. Dan aku menghendaki tawaran untuk ikut serta dalam projek ini adalah karena aku peduli. Aku ingin terlibat secara nyata dengan catatan-catatan sejarah untuk membuktikannya secara langsung. Tapi sebenarnya aku ada yang tidak beres dengan projek kali ini, entah apa, tapi ada dan aku merasakannya.” Eoni menjelaskan.
“Kurangi prasangka yang seperti itu, aku takut mengundang hal buruk.” Ucapku.
“Maaf, tapi ini aku sungguh merasakannya. Dan aku baru bisa mengatakan secara langsung dan terus terang hanya denganmu.”
Tiba-tiba ada suara deham yang muncul di belakang kami. Aku tak sadar jika sudah dari lima menit yang lalu ada Maharani di belakang kami yang sedang menjemur atribut lapangan dan sepatu boots yang kotor di pakai hari ini.
Mungkin merasa terganggu, Eoni segera meminta diri untuk turun lebih dulu. Namun sebelum ia pergi ia sempat berbisik padaku, “Maaf karena senjamu denganku kali tidak berlangsung menyenangkan.” Bersama senyum tanggung tersemat pada bibir manisnya.
Aku tidak ikut turun, masih ada sisa jingga yang belum sepenuhnya hilang dari langit.
Sesaat kemudian Maharani mendekatiku dan ikut duduk di tempat Eoni singgah tadi. Sepertinya ia sudah selesai dengan urusan menjemurnya.
Sebagian besar orang pasti akan bilang jika Maharani adalah yang paling cantik diantara anggota satu tim. Jelas, ia yang paling muda, masih mahasiswa, masih sempat mengurus diri dengan perawatan itu dan ini, serta belum dipusingkan dengan beban targetan pekerjaan yang membuat kami-kami sebagai seniornya ini cepat tua.
Di antara kami yang muda, hanya ia yang masih disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang membuatnya tidak bisa ikut rapat karena deadline beruntun dan bejibun. Tak jarang ia juga memintaku jadi responden untuk membantunya melengkapi esai.
“Bang Nadif, mengapa kita butuh ahli forensik untuk projek kali ini?” Aku cukup maklum mengapa Maharani menanyakan hal ini, ia adalah mahasiswa semester lima dan statusnya di sini adalah anak magang, jadi belum banyak hal yang ia ketahui mengenai ekskavasi dilapangan, karena teori tidak serta merta akan sama persis dengan kenyataan.
“Karena mereka memang dibutuhkan…” Eoni sudah ikut dalam projek ini sejak ekskavasi yang pertama di tahun lalu. Dalam satu projek perawatan situs temuan memerlukan proses yang sangat panjang, belum lagi jika sudah dihubungan dengan pemugaran candi, bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Untuk situs di Lereng Gunung Dahyang ini baru tahun kedua sejak peresmian penggarapan dan perawatan candi tahun lalu, namun progress untuk projek ini cukup signifikan, mungkin karena letaknya yang tidak berada di atas tanah warga jadi untuk urusan perizinan lahan dan lain-lain bisa membutuhkan waktu yang lebih singkat.
Tahun lalu, saat penggalian sudah hampir selesai, salah seorang relawan menemukan kerangka tulang manusia yang 70 persen masih lengkap di dalam daerah dinding keliling candi. Itu tentu temuan yang fantastis, jasad yang sudah tidak bernyawa itu pasti bisa menceritakan banyak hal pada kita yang masih hidup.
Posisi dari tulang itu agaknya tengkurap dengan kepala menghadap ke selatan dan letak kepalanya ada di sisi bagian timur. Eoni adalah orang yang meneliti kerangka ini pertama kali dan sampai saat ini.
Beberapa kerangka yang berhasil diambil di ekskavasi yang pertama sudah disimpan dan sisanya yang lumayan susah diangkat, ditimbun kembali untuk alasan keamanan untuk dilanjutkan pada projek kedua ini.
Maharani adalah gadis yang cerdas, tidak kali ini saja ia mudah memahami penjelasanku. Tentu lah ia cerdas, jika tidak, tidak mungkin ia diikutkan terjun ke lapangan kali ini.
Maharani juga sempat bertanya beberapa hal mengenai Sabang, agak aneh sebenarnya karena aku kira mereka dekat dan ia bisa menanyakan hal-hal itu pada orangnya langsung, tapi entahlah, tidak semua tujuan manusia harus aku ketahui.
Sayangnya, aku tak sempat menjawab pertanyaanya karena bedug surau dan kumandang sang muazin sudah lebih dulu memutus pembicaraan kami. Yui juga sudah meneriakiku, meminta agar aku lekas menarik sarung dan mengenakan peci.
Selepasnya aku juga harus bergegas bersiap-siap untuk mencari tikus hutan.