Kemarau adalah teman akrab untuk Agustus, bagi mereka keluh panjang para manusia mengenai cuaca yang panas dan debu yang memenuhi udara, sudah jadi makanan setiap tahun. Kadang kemarau dan Agustus memang muak dengan model pertemanan mereka, disebabkan karena sejuta gunjingan yang muncul dari mulut-mulut sambil mencacah waktu.
Tapi begitu lah hubungan mereka, apa adanya dan tidak dibuat-buat.
Namun semakin kesini, Agustus dan kemarau semakin susah ditebak, kadang Agustus mengundang hujan dan kemarau sesekali menyapa sendu di bulan Desember. Namun apakah mereka tahu, mulut para penggunjing itu akan kembali ramai dengan kata-kata; "Mengapa Hujan hadir di bulan Agustus?" atau kalimat lain yang mirip semacam; "Desember sungguh tidak seharusnya jadi kemarau."
Dan seterusnya. Hal itu akan terus terjadi sampai Agustus dan kemarau sadar bahwa memang sudah sebaiknya mereka bersama, menerima sebuah hubungan dengan syukur atas ketetapan terbesar-Nya. Dan paham betul bahwa mencari yang baru bukan berarti tidak menimbulkan masalah baru, lagi.
Dengan tenggorokan super kering dan degup dada yang semakin kencang, aku turun ke lembah cepat-cepat takut sesuatu terjadi. Namun begitu sampai, semua terlihat baik-baik saja, tak ada salah seorang pun yang terluka.
Secara singkat, cepat, dan tiba-tiba, muncul sebuah tangan dari belakangku. Tangan itu menarikku hingga menjauhi kerumunan. Aku sempat terkejut untuk kedua kalinya karena ini, tapi perasaan dan detak jantungku segera mungkin aku kendalikan setelah melihat seseorang yang menarik lenganku ini.
Ia sangat cantik hari ini, aku berani bertaruh. Ia mengalahkan segarnya udara yang menguasai pegunungan, bahkan bunga-bunga pun jadi terlihat biasa saja karena kalah indah dari gadis di depanku ini.
Sempat kukira ia adalah orang lain, tapi suara dan gerak-geriknya segera menyadarkanku seolah aku telah mengenalnya cukup lama.
“Ya ampun, dari mana saja kau, Dif. Kau harus tahu apa yang aku lihat.” Ucapnya dengan sedikit berbisik-bisik, seperti pembicaraan ini hanya kami berdua saja yang boleh tahu.
Mungkin jika kulitku tidak gosong terkena Matahari, Eoni bisa melihat semu merah muda di bawah mataku.
Ia berbicara dengan tegas dan mantap menatapku.
Tapi sungguh, pengganggu memang diciptakan tidak mengenal tempat dan kesempatan, meskipun sudah jauh dari kerumunan, Guna masih saja sempat menyapa kami.
“Kemana saja kau, Dif? Maaf tadi aku meninggalkanmu dan Sabang. Habis kamu enggak pulang-pulang waktu pamit pergi sama Yua dan Yui.” Guna membenarkan topinya sambil menenteng botol air minum ukuran 1 liter yang isinya tinggal sepertiganya.
“Ah, tidak apa. Aku bisa kemari dengan cepat. Tak usah mencemaskanku seperti kau mencemaskan Yui.” Sambil menepuk bahunya, “Tapi, btw aku enggak bareng Sabang. Waktu aku sampai di rumah, sudah tidak ada siapa-siapa.”
“Betulkah?” Guna seolah tidak percaya.
Aku menggeleng tidak tahu, begitu pun Eoni yang masih dengan ekspresi menahan maksud, karena Guna yang tiba-tiba muncul.
Setelah Guna berlalu, barulah Eoni meneruskan bicaranya. Entah mengapa aku senang sekali menatap matanya yang bersemangat dengan keringat yang mengucur di kening dan di belakang telinganya, serta rambut yang dikuncir kuda dan dimasukkan di lubang topi bagian belakang.
Ia sungguh terlihat berbeda dengan seragam lapangan yang tim arkeolog kenakan, meskipun aku tahu itu bukan profesinya.
“Kau pasti tidak percaya dengan apa yang aku temukan.” Cengkeraman Eoni semakin kencang di lenganku dan nada bicaranya semakin pelan.
“Apa? Kau menemukan apa?” Entah mengapa, cara bicaraku kali ini sedikit berbeda, aku menyadarinya.
“Pekerjaanku sebagai forensik belum dimulai, alhasil itu memberi aku waktu untuk sekedar berkeliling dan melihat-lihat, tapi siapa sangkat hal ini malah membuatku menemukan ini.” Eoni menunjukkan sebuah hasil foto digital dari ponselnya.
Di foto itu terlihat sebuah gambar yang sama persis dengan apa yang aku saksikan dijalan tadi. Sebuah kain putih bernoda darah dan lumpur.
“Apa itu sebuah kain?” Tanyaku.
Ia mengangguk.
“Terikat di dahan pohon?”
Ia mengangguk.
“Ada darah dan lumpur?”
Ia mengangguk lagi untuk yang ke tiga kali
“Apa letakknya di sana?” Aku menunjuk jalan yang tadi kulalui.
Eoni menatapku, paham arah bicaraku, “Apa kau juga melihatnya?”
Kini giliran aku yang mengangguk.
Gadis di depanku ini menutup mulutnya seolah tidak percaya bahwa temuan luar biasanya juga merupakan temuanku.
“Ini pasti pertanda dari sesuatu, pasti.” Ucap Eoni yakin.
Namun pembicaraan kami terhenti ketika kami berdua melihat Sabang yang baru datang dan muncul dari tempat yang sama dengan arah yang sedang kami bicarakan.
Dia sempat menyapa dan memutus pembicaraan kami, ia bilang ada sesuatu yang tertinggal dan membuatnya harus kembali ke rumah. Sontak aku dan Eoni saling lirik-melirik, sepertinya otak kami memikirkan hal yang sama.