Tak terhitung sudah berapa kali Pak Bah memuji kopi buatan ibuku. Dan setelah ini pasti ia akan memujinya lagi.
“Kopi buatan ibumu memang yang terbaik, kalau saja tidak diberi secara cuma-cuma aku rela merogoh kocek dalam-dalam untuk ini.”
Pak Leo terlihat mengangguk setuju.
“Bagaimana kabar seseorang yang bernama Pram, yang dua tahun lalu menelpon Mr. Arief? Apa benar ia ayah kandung Nadif yang dulu hilang itu?” Tanya Pak Leo tiba-tiba. Ini akan jadi pembahasan yang serius.
“Nihil,” Pak Bah yang menjawab cepat, “Orang itu sangat susah dicari dan sangat meragukan keberadaannya, lagi pula ia ada di pedalaman Sulawesi yang sangat mustahil untuk dijangkau oleh telepon seluler. Aku tak mau kita sudah jauh-jauh ke sana ternyata tidak menghasilkan apa-apa.”
Pak Bah pernah mengatakan hal yang serupa padaku, namun aku sedikit tidak setuju dengan kalimat Pak Bah yang terakhir, karena sesungguhnya aku mau-mau saja pergi jauh bahkan ke ujung dunia untuk mencari ayah kandungku itu.
Seperti yang telah aku jelaskan di awal, aku punya dua ayah dan dua ibu, dan mereka adalah pasang yang berbeda, satu pasang orang tua angkat dan satunya orang tua kadung yang belum pernah aku temui. Sungguh sayang aku tidak punya kesempatan untuk melihat sepasang itu, bukan tidak, melainkan belum.
Ibu Eni tempat aku pulang adalah sosok ibu yang aku kenal sejak aku bisa mengingat segalanya, dan Ibu Alina adalah sosok ibu yang dikenalkan oleh Ibu Eni sebagai ibu kandungku. Ibu Alina dan Ayah Pram dikabarkan sudah meninggal sejak aku masih lahir. Namun dua tahun yang lalu ada seseorang lelaki yang menelpon Mr. Arief dan menjelaskan bahwa dirinya adalah Pram, salah seorang rekan kerjanya di masa lalu.
“Sangat banyak Pram di dunia ini.” Ucap Pak Bah.
Tapi Pram yang aku cari hanya satu, ucapku dalam hati.
“Dan telepon itu hanya datang sekali pada Arief tanpa ada kelanjutan berita. Setelah dihubungi berulang kali, nomornya sudah tidak aktif…”
“Sekarang sudah aktif namun dengan pengguna yang berbeda.” Sambungku. Aku tentu tidak diam saja setelah menerima kabar dari Mr. Arief yang menemukan seseorang dengan ciri-ciri dan nama yang mirip dengan ayah kandungku.
Nomor telepon yang sama terus aku hubungi tidak sekali dua kali.
Pernah diangkat dua kali, namun tidak ada suara yang menyambutku di dua panggilan itu, setelahnya tidak ada panggilan yang pernah tersambung lagi, nomor tidak aktif. Dan terakhir aku mencoba menghubungi enam bulan yang lalu ternyata sudah bukan orang yang aku tuju, nomor telepon itu sudah jadi milik orang lain.
“Tapi, Pak. Aku dulu bekerja bersama dengan Mr. Arief LPRN” ~Lembaga Penelitian dan Riset Negara. “Kami pernah mengenal seorang yang bernama Pram itu, kami pernah satu projek namun beda penempatan. Tak lebih dari lima kali aku melihatnya. Tapi dari bisik-bisik sesama pekerja waktu itu, Pram semasa mahasiswa adalah seorang aktivis yang senang mengkritisi pemimpin masa itu.”
Pak Bah seperti biasa, matanya bergerak ke arah lain namun pikiran dan hatinya sangat memperhatikan. Beberapa kali ia terlihat membetulkan kaca matanya yang menandakan ia tengah berpikir keras.
“Memang, waktu itu banyak sekali kasus orang hilang yang sampai sekarang tidak kembali, dan kemungkinan besar mereka telah tiada karena peristiwa penculikan, pembunuhan dan penghilangan manusia itu sudah terjadi lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Memang tidak semua aktivis dan kaum kontra penguasa memperoleh perlakuan yang sama, ada sebagian dari mereka yang kembali. Namun kebanyakan tidak.”
Cukup sampai di situ, kiranya aku sudah bosan mendengar kisah ini berkali-kali. Tidak hanya Pak Leo, Mr. Arief juga pernah menceritakan kisah serupa dengan versi lebih panjang, lebih dalam dan tentu saja lebih tragis.
Sepi mengambang di langit-langit teras Pak Bah menghalangi hangatnya kebulan asap kopi dan rokok yang menghambur ke sana kemari.
“Mungkin ada baiknya hal ini kita bincangkan lain kesempatan. Ngomong-ngomong, Dip. Bagaimana kelanjutan kisahmu gadis yang kau ceritakan terakhir itu? jadi?”
Astagaaa, keluhku dalam hati. Kenapa topik ini yang Pak Bah pilih untuk mengubah arah pembicaraan.
Selalu saja setiap pertemuan ada kalanya Pak Bah menanyakan perkara gadis, “Tidak, Pak Bah.” Aku menggeleng, entah mengapa setiap aku ceritakan seorang gadis pada Pak Bah, hubunganku dengannya selalu tidak berhasil.
“Ah, bagaimana kau ini. Setiap datang aku tanyai jawabannya sama terus, tidak.. tidak.. kapan kau mau kenalkan ibumu dengan seorang gadis.” Pak Bah terkekeh, aku tahu ia tidak serius, sekedar memecah suasana agar sedikit cair dengan membercandaiku.
“Belum nemu yang pas saja, Pak Bah.”
“Mau cari yang bagaimana, kau ini. Perempuan cantik pasti banyak bertebaran di mana-mana, masa iya tidak ada yang nyantol. Apa lagi kamu sudah lulus kuliah ini lho.” Pak Leo ikut bersumbangsih mengomporiku.
“Yang cantik memang banyak, tapi bukan itu yang aku cari, Pak Leo.”
“Ya.. lalu yang bagaimana?”
“Yang istimewa.” Aku terkejut mendengar ucapanku sendiri, entah tercetus ide dari mana dua kata tadi. Tapi saat itu juga aku merasa sepakat dengan diriku sendiri, ya! yang istimewa.
“Anak muda,” Pak Bah menepuk pundakku, “Jika kau serius dengan ucapanmu tadi, mungkin hal yang akan aku katakan selepas ini akan berguna bagimu.”
Aku memperhatikannya lamat-lamat.
“Aku tak mengerti bagaimana defisini ‘istimewa’ bagimu, tapi mudah-mudahan ‘istimewa’ itu bukan lah hal yang muluk-muluk. Karena untukku, ia yang istimewa adalah ia yang tidak pernah pergi.”