Menurut pengelola panti, banyak lansia berduit yang memilih tinggal di panti, karena pola makan dan kesehatannya bisa dikontrol setiap hari. Bahkan ada penghuni panti yang masih produktif mengetik karya tulisnya pada laptop, di beranda kamarnya. Kamar-kamar pribadi itu bertarif cukup mahal. Tampaknya Opa Jan Pieters punya cukup uang sehingga bisa menempati kamar pribadi di panti itu.
Mereka tiba di depan kamar yang dituju. Namun mereka tertahan di beranda kamar Jan Pieters, karena saat dicek oleh petugas panti, pria uzur itu sedang tidur pulas. Tidak bisa dibangunkan. Petugas panti kembali ke kantor, sedangkan Bang Toyib dan kedua anggota tim Marunda United duduk-duduk di beranda kamar itu.
Setelah tamu pegal menunggu selama hampir dua jam, akhirnya penghuni kamar itu bangun juga. Pria uzur itu keluar kamar, lalu duduk di kursi beranda tanpa menoleh sedikitpun pada ketiga orang yang menunggunya sejak tadi.
“Dia memang orang Belanda, atau kalaupun dia Indo, darah Belandanya jauh lebih banyak daripada darah pribumi.” gumam Bang Toyib setelah mengamati pria uzur itu.
Bang Toyib lalu menyapa, “Permisi Pak, boleh saya bicara dengan Anda?”
Tiba-tiba pria tua itu berteriak parau, lalu memencet tombol yang ada di kusen pintunya. Ternyata itu bel untuk memanggil petugas panti. Karena tak lama kemudian petugas panti datang.
“Ada apa Tuan?” tanya petugas panti.
“Kenapa di depan kamarku banyak ini inlander? Mau apa?”
“Mereka mau menjenguk Tuan, katanya bawa pisang dan kue marie.”
“Kebetulan kita orang mau makan itu biscuit marie dan minum teh. Cepat ambilkan teh zonder gula!” Maksudnya dia minta teh tanpa gula.
“Iya Tuan.” Petugas panti itu menoleh pada Bang Toyib, lalu berbisik. “Pak, jika Anda mau bicara dengannya, bicaralah saja, tapi jangan duduk di kursi, duduk saja di lantai. Beliau ini kadang-kadang merasa Belanda masih menjajah Indonesia, jadi sikapnya masih seperti tuan besar. Jangan tersinggung jika dia menyebut Anda inlander. Perkenalkan saja diri Anda, tapi jangan mengajaknya bersalaman, karena dia pikir inlander tidak pantas bersalaman dengan tuan besar seperti dia. Harap maklum saja, namanya juga orang tua.”
“Baiklah, terima kasih.” ucap Bang Toyib, lalu mengajak kedua anggota timnya untuk duduk di lantai, dekat kursi yang diduduki oleh Jan Pieters.
“Selamat sore Tuan, kami dari Marunda ….”
“Marunda?” potong Opa Pieters, “Di pesisir, kan? Mau apa kamu ke sini?”
“Mau menjenguk Tuan, sekalian mau minta bantuan dari Tuan, jika Tuan berkenan?” ujar Bang Toyib.
“Bantuan apa?” tanya Opa Pieters.
“Kami lagi butuh pelatih sepak bola yang punya lisensi C, supaya anak-anak Marunda bisa ikut turnamen sepak bola.”
“Ada turnamen sepak bola? Di mana? Di Batavia?”
“Iya, di Batavia. Tapi kami kagak punya pelatih yang berlisensi C. Apakah Tuan mau jadi pelatih kami?”
“Apa kamu orang tidak lihat kalau saya ini sudah tua?” dengus kakek itu.
“Yang tua itu kan umurnya aja, Tuan. Tapi kalau semangat untuk memajukan sepak bola, pasti masih Tuan miliki, ya kan?” rayu Bang Toyib.
“Aku sudah tidak kuat jalan kaki jauh-jauh, apalagi lari-lari. Kenapa kalian mencariku? Apa tidak ada pelatih lain?”
“Kami … kami tidak bisa bayar pelatih berlisensi C. Tapi kalau Tuan mau bantu kami, izinkan kami cantumkan nama Tuan sebagai pelatih kepala untuk tim sepak bola Marunda United. Hanya mencantumkan nama saja, sebagai syarat buat daftar ikut turnamen. Kagak perlu Tuan turun ke lapangan untuk melatih.”
“Jadi tim kalian tidak ada yang melatih?” Opa Pieters mendelik.
“Saya yang melatih mereka, nama saya Toyib, dulu saya pemain Persija.”
“Apa itu Persija?” tanya Opa Pieters.
“Persija itu … kalau jaman dulu mah, namanya VIJ, Voetbalbond Indonesia Jakarta. Tuan sudah ingat?”
“Oh iya, saya dulu juga pernah main buat VIJ.” Barulah tampak senyum di bibir Opa Pieters, “Ayo kamu duduk di sini!”
Pria tua itu mendadak ramah setelah tahu bahwa antara dirinya dengan Bang Toyib punya kesamaan, pernah jadi pemain VIJ yang di masa sekarang bernama Persija. Bang Toyib lantas duduk di kursi. Opa Pieters menanyakan kabar VIJ, dan kabar rekan-rekannya sesama pemain bola. Bang Toyib sejenak tertegun, karena nama-nama yang ditanyakan oleh Opa Pieters adalah orang-orang yang sudah lama meninggal. Akhirnya Bang Toyib mengatakannya juga.
Opa Pieters tampak sedih mendengar penuturan Bang Toyib. Dia bergumam, “Orang-orang yang kukenal, yang seusiaku, ternyata semuanya sudah mati. Aku tidak tahu kapan mereka mati.” Suaranya begitu sedih, datang dari kesunyian hati yang lama terkucil dari dunianya. Semua kenangannya di lapangan hijau bermunculan, menyadarkannya akan waktu yang telah begitu lama bergulir dan mengikis dirinya.
“Apakah VIJ Masih bermarkas di Stadion Menteng?”
“Tidak lagi Tuan.” jawab Bang Toyib, “Persija sekarang bermarkas di Stadion GBK, Gelora Bung Karno.”
“Di mana itu stadion?”
“Stadion besar yang di senayan.”
“Oooh, itu stadion Ganefo[1]. Terus Stadion Menteng dipakai siapa?”
Bang Toyib merasa kasihan pada Opa Pieters. “Stadion Menteng sudah tidak ada lagi, Tuan. Sudah dibongkar, sekarang dibikin Taman Menteng.”
Air mata mengalir di wajah keriput itu. “Stadion Menteng tempat saya main bola dengan rekan-rekan VIJ … rekan-rekan saya sudah tidak ada, stadionnya juga sekarang sudah tidak ada …. Sepertinya tidak ada lagi yang tersisa ….”
“Kami membutuhkan Tuan sebagai pelatih yang berpengalaman menangani tim junior …. gimana dengan permintaan kami ….”
Kalimat Bang Toyib terpenggal karena Opa Pieters tiba-tiba bangkit dari duduk, lalu masuk ke kamar dan menutup pintu. Bang Toyib tercengang.
“Kayaknya dia nggak mau.” ujar David. “kita balik aja ke Marunda?”
Bang Toyib berusaha mengetuk pintu kamar itu. Lalu pintu terbuka, Opa Pieters keluar lagi, sambil membawa dua lembar kertas. Diletakkannya kedua lembaran itu di meja. Kertas yang tampak lebih kuning dan sudah robek pinggirannya, ternyata adalah piagam penghargaan untuk Jan Pieters dari NIVB (Nederlandsch Indie Voetbal Bond, yaitu persatuan sepak bola Hindia Belanda).
“Aku masuk tim nasional junior U-15 Hindia Belanda, sebelum jaman Jepang. Aku pernah bertanding dengan tim junior dari negara-negara koloni Inggris, seperti Singapura dan Malaya. Ini piagam penghargaannya.”
Bang Toyib manggut-manggut, lalu menuding kertas yang selembar lagi.
Opa Pieters menjelaskan, “Ini sertifikat kepelatihan lisensi C, yang aku ikuti pada tahun 60’an. Sudah ditandatangani sama pengurus PSSI, bukan lagi NIVB.”
“Tuan bersedia jadi pelatih tim Marunda?”
“Kalau aku yang sudah tua bangka begini masih berguna buat orang lain, aku mau bantu kalian.”
“Tapi Tuan, kami tak bisa menjanjikan gaji.”
“Siapa yang butuh uang? Aku hanya ingin membantu.”
“Terima kasih Tuan. Boleh sertifikat ini difoto copy?”
Opa Pieters manggut-manggut. Bang Toyib lalu meminta tanda tangan Opa Pieters pada beberapa surat untuk pendaftaran ikut turnamen sepak bola. Setelah memotocopi sertifikat, dan mengembalikan lagi berkas aslinya, Bang Toyib segera pamit. Opa Pieters hanya manggut-manggut, lalu meminum tehnya, mencelup kue mari pada teh, dan memakannya. Dia duduk di beranda dengan mata menerawang.
[1] Ganefo (Games of the New Emerging Forces) adalah pesta olah raga internasional untuk negara-negara berkembang, sebagai tandingan untuk olimpiade. Ganefo diselenggarakan pertama kali di Jakarta pada November 1963, di stadion utama senayan (Stadion Gelora Bung Karno). Maka orang-orang tempo dulu menyebut stadion senayan dengan nama stadion Ganefo. Pesta olah raga Ganefo dibubarkan pada tahun 1970.