Bagi Marunda United, mencari sponsor tak semudah rencana. Dalam waktu mepet, tidak ada pengusaha yang bisa segera memutuskan untuk menjadi sponsor, kecuali Bang Jaelani sang pengusaha serabi. Kabar baiknya, beberapa pengusaha di Marunda bersedia menyumbang dana walau tak banyak, katanya turut berpartisipasi untuk kemajuan sepak bola di Marunda. Uang sumbangan yang terkumpul jumlahnya lumayan untuk biaya operasional tim.
Ketiadaan sponsor berimbas pada pencarian pelatih berlisensi C. Tak ada sponsor berarti tak ada kepastian tentang salary. Marunda United harus segera mendapatkan pelatih kepala, karena ternyata Bang Toyib belum pernah ikut kursus kepelatihan. Sehingga dirinya tidak bisa didaftarkan sebagai pelatih kepala untuk tim Marunda United. Secara formal, Bang Toyib didaftarkan sebagai asisten pelatih.
Bang Toyib bilang ada rekannya mantan pemain Persija yang punya lisensi C kepelatihan, ingin bertemu dengan tim Marunda United. Rekan Bang Toyib itu bersedia jadi pelatih kepala asalkan tim yang bakal dilatihnya punya potensi untuk menang. Harapannya, jika Marunda United juara, maka namanya sebagai pelatih tim junior bisa terangkat. Kelak dia bisa mendapat kontrak kerja dari SSB yang bonafid di Jakarta.
Sore itu tim Marunda bertemu dengan Bang Ferry, pelatih yang punya lisensi C. Bang Ferry mengamati dengan seksama saat tim Marunda berlatih di lapangan tarkam. Usai latihan, tim Marunda ngobrol dengan Bang Ferry, biar akrab. Anak-anak Marunda United merasa yakin kalau Bang Ferry akan jadi pelatih mereka.
Ferry bicara, "Kalaupun Bang Toyib belum punya lisensi kepelatihan, kalian jangan anggap dia tidak bisa melatih tim. Bang Toyib mantan pemain sepak bola, dia tahu teknik dasar sepak bola, dia tahu cara melatih fisik dan permainan tim."
Ferry menoleh ke arah Bang Toyib, lantas dia mengajak bersalaman sembari berbisik-bisik. Kemudian Ferry menyalami tim Marunda satu persatu.
"Selamat berjuang ya. Do the best!" Kemudian dia pamit, pergi dari Marunda dengan motornya.
Bang Toyib bicara pada tim Marunda bahwa Ferry tidak bisa melatih mereka. Tampaknya Ferry tidak melihat secuil pun peluang dari tim Marunda United.
"Kita cari pelatih lain." Bang Toyib berusaha memberi semangat. "Barusan Bang Ferry kasih saran supaya kita menemui seorang pelatih berlisensi, namanya Peter. Nah, Peter ini mantan pemain Timnas Indonesia."
"Wah, keren kalau pelatih kita mantan pemain Timnas Indonesia." ujar Christiano, "Peter itu seangkatan siapa di timnas?"
"Seangkatan siapa ya?" Bang Toyib malah bingung.
"Seangkatan Coach Rahmad Darmawan?" Tebak David.
Bang Toyib menggeleng. "Peter itu angkatan yang lebih tua dari Coach RD."
"Pasti seangkatan Ricky Yakob." Zidan menyebutkan nama striker Timnas Indonesia pada SEA Games 1987.
Bang Toyib masih menggeleng. "Peter angkatan yang lebih dulu daripada Ricky Yakob."
"Mungkin angkatannya Ronny Pattinasarany?" tanya Christiano.
"Lebih tua lagi dari Ronny ...."
"Ronny pemain timnas tahun 70- an. Nah, Peter itu pemain timnas tahun berapa?" Christiano mulai was-was.
Sebagai penggila bola, anak-anak tim Marunda United tahu perkembangan sepak bola Indonesia dari masa ke masa, tentu semua info itu mereka dapat dari internet. Maka ketika Bang Toyib bilang bahwa Peter itu angkatan yang lebih tua dari pemain timnas tahun 70-an, mereka mulai bingung.
Bang Toyib bicara, "Peter itu seangkatan dengan Djamiat Dalhar, Tan Liong Houw, Maulwi Saelan, Ramang, Endang Witarsa, dan kiper Arnold van der Vin yang Indo Belanda."
Anak-anak Marunda United tidak mengenali nama-nama itu.
"Mereka pemain sepak bola?" tanya Udin.
"Pemain lenong." bisik May.
Bang Toyib menjawab, "Mereka pemain timnas Indonesia tahun 50-an."
Anak-anak Marunda United melongo.
"Banyak yang sudah almarhum." tutur Bang Toyib, "Tapi kata Bang Ferry, Coach Peter masih ada."
David menyadari sesuatu. "Bang, usia Coach Peter berapa?"
"Mungkin sekitar 95 tahun."
"Buset dah! Tua banget!" oceh May.
"Tinggalnya di panti jompo." Sambung Bang Toyib. "Kita akan mendatangi Coach Peter, calon pelatih kepala tim Marunda United."
Udin angkat bicara. "Bang, apakah Engkong Peter itu masih bisa melatih sepak bola? Jangan-jangan ... kalau dia niup priwitan, udah kagak bisa bunyi."
"Yang melatih lu semua itu gua!" Bang Toyib separo membentak. "Tapi ada syarat kalau SSB yang ikut turnamen kudu punya pelatih kepala berlisensi C. Kita minta Coach Peter jadi pelatih kepala, itu formalitas doang! Cuma buat dicantumin namanya di berkas pendaftaran. Kagak perlu dia melatih. Tetap gua yang melatih kalian. Ngarti kagak lu pada?"
"Iya Bang, kita sudah ngerti."
"Besok siang Abang mau ke panti jompo tempat tinggal Coach Peter. Abang minta dua orang ikut ngawanin. Supaya calon pelatih itu tahu, pemain yang bakal dia latih itu seumur kalian. Supaya dia kagak mengira, yang bakal dilatih itu bocah yang masih U-15."
"Saya mau ikut, Bang." jawab David.
"Besok, setelah lu kelar pelajaran, lu tunggu aja di depan SMK itu. Nanti Abang ke situ. Kita pergi bareng ke tempat pelatih."
***
Bang Toyib membeli biskuit dan pisang untuk oleh-oleh yang akan dibawa ke panti werdha tempat tinggal seorang mantan pemain sepak bola. Dia berangkat ke panti werdha di kawasan Jakarta Selatan, ditemani oleh David dan Christiano.
"Kalau Engkong Peter kagak mau jadi pelatih kita, gimana Bang?" tanya David saat di dalam taksi yang membawa mereka ke tujuan.
"Jangan dulu berpikir yang negatif. Kalian kudu optimis." jawab Bang Toyib, "Kata Bang Ferry, Coach Peter masih cinta sepak bola. Bahkan dia pilih tinggal di panti jompo yang dekat dengan lapangan sepak bola tarkam. Supaya dia masih bisa melihat anak-anak main bola, dari pagar halaman belakang panti jompo itu. Hidupnya kagak bisa jauh dari sepak bola."
Mereka tiba di panti werdha milik sebuah yayasan swata. Bang Toyib bicara dengan pengurus panti, bahwa mereka ingin menjenguk seorang mantan pemain dan pelatih sepak bola bernama Peter.
Pengurus panti bicara, "Di sini ada penghuni yang bernama Jan Pieters. Dia Indo Belanda, tapi memilih jadi WNI."
"Apakah beliau masih punya keluarga yang datang menjenguk?" tanya Bang Toyib.
"Sudah tidak ada yang menjenguk. Istrinya sudah lama meninggal. Anak satu-satunya pun sudah lama meninggal sebelum anaknya itu menikah. Setelah istrinya meninggal, dia tidak menikah lagi. Katanya dia sibuk jadi pelatih sepak bola untuk pemain yunior. Setelah tidak kuat melatih, dia buka toko peralatan olah raga. Tapi karena dia merasa sudah semakin uzur, akhirnya dia memilih tinggal di sini."
"Sejak kapan Coach Peter tinggal di sini?" tanya Bang Toyib.
"Sudah 15 tahun dia tinggal di sini."
"Saya kira panti werdha ini dikelola oleh yayasan swasta. Kalau boleh tahu, siapa yang membiayai beliau selama tinggal di sini?"
"Beliau membiayai dirinya sendiri." jawab pengurus panti. Dia bilang Coach Pieters punya rumah yang diserahkan pengelolaannya kepada yayasan. Maka pihak yayasan menyewakan rumah Coach Pieters, dan uang sewanya untuk biaya hidup beliau selama tinggal di panti.
"Beliau bilang, rumah itu akan jadi milik yayasan jika nanti beliau wafat. Beliau orang yang murah hati." ujar pengurus panti.
Bang Toyib manggut-manggut. Dia merasa perlu menanyakan tentang keluarga Coach Pieters. Karena jika keluarga masih ada bisa saja bakal melarang Coach Pieters terlibat lagi urusan sepak bola.
Bang Toyib bertanya lagi, "Selama 15 tahun beliau tinggal di sini, sama sekali tidak ada yang menjenguknya?"
"Pernah ada wartawan olah raga yang datang ke sini mencari Coach Pieters. Wartawan itu sedang menulis tentang sepak bola Indonesia dari masa ke masa. Tapi itu sudah lama, sekitar lima tahun lalu wartawan itu datang. Setelah itu ... sepertinya tidak ada lagi yang mencari beliau."
"Apakah beliau masih cukup sehat? Tidak sedih karena sudah nggak ada keluarga?"
"Beliau baik-baik saja kok, tidak tampak sedih walau tak ada keluarga yang nengok. Di sini banyak orang. Para lansia yang tinggal di sini tidak akan merasa kesepian. Tapi kalau mau lebih sering menyendiri juga boleh, tinggal pilih kamar yang untuk sendiri."
Pikir Bang Toyib, "Nih pengurus panti kayaknya lagi promosi, dikiranya entar gua mau tinggal di panti jompo. Kelihatannya nyaman juga. Tapi gua pan orang Betawi, kayaknya kagak ada orang Betawi yang masa tuanya pengin tinggal di panti jompo, kecuali kalau terpaksa. Kalau gua tinggal di panti jompo, entar kagak boleh miara perkutut, atau ayam."
Mereka diantar masuk ke dalam kompleks panti werdha itu. Ada kamar-kamar ukuran besar untuk ditempati lima atau enam orang bersama-sama. Ada klinik dan dapur. Beranda kamar cukup luas, tempat para penghuni duduk untuk makan, membaca, merajut, bermain kartu dan catur, mengobrol, atau hanya duduk diam terkantuk-kantuk. Ada juga ruangan besar seperli aula, katanya ruangan itu bisa multifungsi, untuk workshop, pengajian, pesta kecil-kecilan dan makan bersama jika ada yang mendanai. Bahkan ruang aula itu pernah beberapa kali jadi TPS saat pemilu.
Coach Pieters ternyata memilih tinggal di kamar yang untuk sendiri. Kamar pribadi itu ada beberapa unit, dihuni oleh lansia yang sanggup bayar fasilitas khusus. Kamar tidur, kamar mandi, beranda berikut kursi dan meja tidak dipakai bersama penghuni lain.