Bang Toyib, David dan Christiano berjalan meninggalkan kamar Opa Pieters, mereka melewati beberapa kamar di area panti werdha itu. Di depan sebuah kamar, ada seorang nenek bule duduk di beranda sembari merajut benang wol.
Bukan nenek itu yang menjadi fokus perhatian David dan Christiano, melainkan seseorang yang duduk menemani sang nenek. Seorang gadis muda yang juga bule, parasnya mirip pemeran Bella dalam film Twilight. Gadis itu pakai celana jeans selutut dan blus lengan pendek warna pink muda. Rambutnya yang panjang dan pirang dibiarkan terurai, hanya diberi bando agar rambut tidak terserak ke keningnya. Melihat gadis bule itu, David dan Christiano saling senggol, sambil dehem-dehem. Gadis itu menoleh ke arah mereka.
“Hai, lagi nengok neneknya ya?” tanya Christiano. Kalau cewek itu ngerti omongannya, ya syukur. Kalau kagak ngerti, ya sudah, tinggal pergi saja.
“Iya, kamu juga nengok nenek kamu, kan?” Ternyata gadis itu paham Bahasa Indonesia. Logat bicara gadis itu seperti artis Cinta Laura.
“Saya nengok Opa Pieters, itu yang kamarnya di ujung.” jawab Christiano.
“Oooh, kamu berdua cucunya Opa Pieters?” Tatapan gadis itu beralih silih berganti antara David dan Christiano.
Christiano menjawab, “Opa Pieters adalah pelatih kita. Coach.”
“Oh, he is a coach? For what? Bridge, or chess?”
“Apa katanya?” Christiano menoleh pada rekannya. David gagal paham.
Bang Toyib mesem. “Bridge itu maksudnya main kartu, chess itu main catur. Dia pikir Opa Pieters jadi pelatih main kartu, atawa catur, karena permainan itu cocok buat orang setua Opa Pieters. Kasihan lu berdua, tampang lu aja kayak bule, Bahasa Inggris lu kagak ngarti.”
Christiano berjalan menghampiri gadis itu. Dia bicara, “Opa Pieters adalah coach untuk football. Kita ini pemain football.”
"Football?" Gadis itu mengerutkan alisnya.
"Soccer." ujar Christiano, seolah meralat. Dia teringat ada dua istilah untuk sepak bola, yaitu football dan soccer.
"Oh, soccer, I see."
"Kalau aku sebut football, itu berarti soccer, oke?"
"Oke." Gadis itu tersenyum, dia pakai kawat gigi, tapi senyumnya tetap cantik.
Bang Toyib bicara keras. “Sudah ngobrolnya, ayo pulang!”
Christiano seolah tak mendengar ucapan pelatihnya, dia tetap berdiri di hadapan gadis pirang itu.
“Kita mau ikut turnamen football junior. Makanya kita mencari Opa Pieters untuk jadi coach kita. ” Christiano merasa perlu memberi penjelasan.
“Turnamen football in Jakarta?”
“Ya, di Jakarta. Turnamennya bulan depan. Pesertanya anak-anak sekolah seumur kita. Level junior, usia di bawah delapanbelas tahun.”
Gadis itu manggut-manggut sambil tersenyum tipis.
Christiano mengulurkan tangan mengajak bersalaman. “My name is Christiano Michiels.”
“I’m Vicky.” Balas gadis itu, lantas dia menuding seragam yang dikenakan Christiano dan David. Saat itu keduanya pakai celana panjang abu-abu seperti seragam SMU, tapi kemejanya juga abu-abu berlengan panjang, dengan badge sekolah. Gadis itu bertanya dengan bahasa Indonesia yang agak terbata.
“Ini baju sekolah apa?”
Christiano menjawab, “I am student in SMK. You know SMK?”
“Ya, I know.”
David ikut-ikutan ingin berkenalan. “Saya David.”
Gadis itu menatap wajah David, “Your name is David? David who?” Tatapan matanya seolah melekat pada wajah David, membuat David rada gemetaran. David juga menatap gadis bule itu, mau menjawab pertanyaannya.
“Mau pulang, kagak?” Bentakan Bang Toyib sukses merusak suasana romantis.
“Iya, iya!” jawab Christiano, lalu dia menoleh lagi pada gadis itu, “Saya pulang dulu ya?”
“Bye!” Gadis itu melambaikan tangan seraya tersenyum.
Hari sudah sore. Mereka pulang naik kendaraan umum.
“Pit, cewek tadi cantik ya? Sayang gue kagak sempat minta nomor hapenya, dan gue juga kagak inget ngasih nomor gue sama dia.” ujar Christiano.
David bicara, “Namanya Vicky, pasti nama panjangnya Victoria, seperti nama istrinya David Beckham. Kayaknya dia adalah calon soulmate gue tuh. Eh, tadi Vicky menatap gue, lama. Mungkin dia terpesona.”
“Terpesona sama apa? Jangan kege-eran lo!”
Christiano turun di Cilincing. David dan Bang Toyib melanjutkan perjalanan menuju Marunda. Tiba di rumahnya, hari sudah gelap.
***
Berbeda dengan Marunda United yang punya banyak kendala dalam membentuk tim sepak bola, sebuah International School di Jakarta sudah lebih dulu memiliki tim sepak bola yang selalu siap bertanding kapanpun di manapun. Super Footbal, itulah nama timnya. Anggota tim adalah siswa-siswa dari International School tersebut, mayoritas adalah anak-anak dari warga negara asing yang tinggal dan bekerja di Jakarta. Tiada kata sulit bagi mereka untuk turut turnamen sepak bola junior itu. Mereka punya pelatih sepak bola berlisensi B. Mereka juga punya segala fasilitas penunjang latihan. Lapangan rumput sintetis, lapangan futsal indoor, ruang fitness, kolam renang, bola yang jumlahnya cukup banyak dan berstandar internasional, dan seragam tim yang sudah dipersiapkan. Bahkan sekolah itu punya tim cheerleader untuk memeriahkan pertandingan.
Sore itu, saat bubar jam pelajaran, seorang gadis berkulit putih dan berambut pirang, berlari masuk ke ruang besar untuk olah raga indoor. Di dalam ruangan itu berkumpul puluhan siswi yang siap berlatih sebagai pemandu sorak.
“Sisters, I’m coming! I join with you again!” Teriak gadis yang baru tiba itu.
“Vicky, kamu masih mau ikutan cheerleader?” seorang rekannya tampak heran, “Kamu sudah kelas terakhir high school. Guru-guru kita sudah melarang siswa kelas terakhir untuk ikut ekstra kurikuler, harus focus sama exam.”
“Nggak apa-apa. Aku bisa membagi waktu.”
“Kamu pengin melihat cowok-cowok bertanding sepak bola ya?”
“Iya.”
“Victoria, setelah dua tahun kamu jadi cheers, akhirnya kamu berterus terang juga, kalau kamu suka sama cowok tim sepak bola. Yang mana? Sergio, Manuel, Ivan, atau … siapa sih?” goda teman-temannya.
“Bukan di tim sekolah kita ….”
“Hah?! Vicky, kamu punya cowok di luar sana? Di sekolah mana?”
“Kayaknya sih SMK, tapi aku nggak tahu SMK di mana.” Gumam gadis itu, ekspresinya tampak bingung. “Eh, aku cuma bercanda.” Vicky tersenyum.
Vicky merasa tidak punya waktu banyak lagi di Jakarta, di Indonesia. Beberapa bulan lagi dia harus pulang ke Amerika, bersama grandma, karena Vicky harus kuliah di Amerika. Hanya hitungan bulan lagi waktunya tinggal di Indonesia. Dia ingin menemukan seseorang.
Dalam hatinya, Vicky bicara. “Pasti banyak tim dari pelosok Jakarta yang ikut bertanding dalam turneman sepak bola itu. Para pemainnya adalah siswa-siswa sebaya aku. Aku harus melihat turnamen itu. Jadi aku akan ikut sebagai cheerleader. Siapa tahu, aku akan menemukan lelaki itu, di lapangan sepak bola.”
Rekan-rekannya masih mengusik. “Cowok macam apa yang kamu cari, Victoria? Di sekolah ini juga banyak yang mau jadi boyfriend kamu.”
“Aku nggak cari boyfriend. Aku cari cowok yang seumur dengan aku.”
“Kalau bukan buat boyfried, lalu buat apa cari cowok?”
“Mungkin nanti, aku dan cowok itu bakal saling menolong.”
“Hah?”