Suatu sore di lapangan sepak bola tarkam dekat pasar Marunda, sudah berkumpul 17 orang pemuda usia 16-18 tahun. Tidak semua warga Marunda. Ada Christiano dari Kampung Tugu. Ada juga Zidan yang tinggal di Kampung Koja. Zidan sering main ke Marunda karena dia teman sekelas dari putra Haji Kodier. Mereka sama-sama menimba ilmu di sebuah SMA Islam di Jakarta Utara. Putra Haji Kodier tidak antusias pada sepak bola, malah temannya yang bernama Zidan yang minta bergabung dengan anak-anak Marunda untuk ikut turnamen sepak bola.
Bersama mereka ada Bang Toyib, 45 tahun, pegawai Dinas Satpol PP Kodya Jakarta Utara. Menurut Bang Toyib, dirinya dulu pernah jadi pemain Persija. Bang Toyib orang Marunda, sering turut main bola di lapangan itu, kerap juga melatih anak-anak. Kali ini Bang Toyib diminta jadi pelatih untuk turnamen. Dia setuju meskipun tiada bayaran, dia ingin membantu anak-anak muda dari kampungnya untuk unjuk bakat sepak bola.
Bang Toyib berpikir, jika tim dari Marunda bisa mencapai semi final, mungkin ada pencari bakat dari klub profesional yang akan turut memantau turnamen. Siapa tahu, salah satu atau mungkin beberapa orang pemain dari Marunda bisa direkrut masuk klub sepak bola profesional, bisa dapat gaji bulanan. Lumayan buat anak Marunda kalau bisa dapat penghasilan dari sepak bola.
Bang Toyib berujar, "Kira-kira 30 tahun lalu, di Marunda pernah ada SSB, namanya Marunda United. Pak Haji Kodier adalah salah satu pendirinya. Pengelolanya di masa lalu adalah beberapa mantan pemain Persija. Sejak awal membentuk SSB, pengurus SSB Marunda United sudah mendaftarkan SSB ini ke kantor PSSI wilayah Jakarta Utara. Jadi SSB Marunda United itu sudah resmi, bukan SSB yang dibikin dadakan untuk ikut turnamen."
Bang Toyib lanjut bertutur, "Waktu tahun 1998, ada krisis moneter, krisis ekonomi, ada kondisi yang kagak aman. Di Jakarta banyak terjadi perusakan dan penjarahan. Jadi berimbas sams SSB Marunda United, akhirnya kegiatan dihentikan. Terus sempat aktif lagi beberapa tahun, ikut turnamen U-12, U-15. Tapi mandeg lagi karena pembatasan kegiatan saat wabah Covid 19. Nah, tempo hari abang sudah ngobrol-ngobrol sama Pak Haji Kodier, beliau setuju untuk mengaktifkan kembali SSB Marunda United, sebagai wadah buat lo semua bisa daftar turnamen."
Bang Toyib mengeluarkan selembar baju kaos dari ranselnya. "Ini satu-satunya jersey Marunda United yang tersisa. Warnanya merah, celananya putih. Ada satu macam jersey lagi, putih putih, hanya dipakai kalau bertanding ke kandang lawan yang kaos timnya juga merah. Kita bukan meniru warna jersey Manchester United, tapi warna merah putih itu dari warna bendera Indonesia."
Semua tampak setuju dengan warna kaos tim. Kemudian seorang pemuda bermata sipit mengacungkan tangan, minta izin bicara. Pemuda itu adalah To Ming Se, anak pedagang pasar Marunda.
"Begini Bang, saya kira kita bakal butuh dana untuk bikin kaos tim dan biaya transportasi selama ikut turnamen. Juga biaya konsumsi. Apakah kita punya donatur? Atau ada sponsor yang bersedia membiayai tim kita selama ikut turnamen itu?"
"Kita memang harus cari dana." jawab Bang Toyib, "Abang sudah bikin proposal. Akan kita kirimkan proposal itu ke beberapa warga Marunda yang punya usaha skala menengah ke atas. Kita akan tawarkan bagian depan kaos tim kita untuk mencetak logo atau produk sponsor."
"Kira-kira sponsor yang cocok buat tim kita apa ya?" tanya David.
Bang Toyib bicara, "Bisa saja sponsor itu dari supermarket, pabrik konpeksi, pabrik ikan asin, apapun juga yang bersedia memberi kita dana, lu semua kudu terima itu sebagai sponsor. Jangan protes kalau nanti di kaos tim kalian banyak logo perusahaan sponsor. Justru kalian kudu bangga, berarti tim kita banyak yang menyokong."
"It's okeh, sponsor apa aja, kita mah ngikut." jawab anak-anak Marunda.
"Kalian janji kagak bakalan protes dengan sponsor apapun?" tanya Bang Toyib.
"Janji."
"Apa lagi yang perlu dibahas?"
"Apa logo tim kita, Bang?"
"Meriam."
"Wah, kayak logo Arsenal ya?"
Bang Toyib senyum. "Marunda United ada di Betawi, jadi logo kita meriam si Jagur!"
Belasan anak muda itu membayangkan meriam si Jagur yang ada di halaman Museum Sejarah Jakarta, atau Museum Fatahillah. Si Jagur adalah meriam besar buatan Portugis, konon beratnya 3,5 ton. Di bagian belakang meriam kuno itu ada bentuk tangan yang dikepalkan, dengan ibu jari menonjol di antara jari telunjuk dan jari tengah. Karena ornamen berupa tangan terkepal itu, si Jagur pernah dikeramatkan sebagai lambàng kesuburan.
Zidan menggeleng."Ana kagak mau di kaos tim kita ada gambar meriam yang itu!" Zidan membayangkan uminya yang kerap memeriksa baju-baju kotor keluarga, sebelum masuk mesin cuci. Bagaimana reaksi uminya andai melihat gambar meriam si Jagur di kaos bola milik anaknya?
Zidan bicara lagi, "Pake logo tugu monas aja, Bang. Tugu monas kan, simbol Jakarta."
Bang Toyib menjawab, "Hey Tong, umur tugu monas baru setengah abad lebih sedikit. Sedangkan meriam si Jagur sudah ngegeletak lebih dari 350 tahun di tanah Betawi."
"Itu nggak bisa jadi alasan meriam porno itu dipake buat jadi logo tim kita." Zidan tetap menolak.
"Apanya sih, yang porno?" tanya Bang Toyib, "Cuma karena bentuk tangan terkepal itu? Itu cuma hiasan meriam! Coba lu-lu pada melihat dengan pikiran terbuka, jangan terbawa pendapat orang lain yang pikirannya mesum!"
"Pikiran ana kagak mesum, Bang." sanggah Zidan, "Tapi kan, orang-orang bilang meriam yang itu ada simbol porno."
"Mungkin banyak orang di selitar kalian yang sudah terlanjur menganggap meriam si Jagur itu porno. Terus kalian telan mentah-mentah pendapat itu, tanpa pikir panjang." ujar Bang Toyib, "Dari dulu logo tim Marunda United adalah meriam si Jagur, suka atau tidak suka! Orang Betawi zaman dulu aja kagak ada yang protes tuh meriam ditarok sama Belanda di tanah Betawi. Lha, kenapa kalian ini, bocah kemarin sore, protes soal meriam itu? Apa kalian sanggup mindahin tuh meriam yang katanya porno, dari tanah Betawi? Kalau sanggup, boleh lu protes!"
Tak ada lagi yang protes.
Seminggu kemudian.
Bang Toyib kembali mengumpulkan tim Marunda United dalam sebuah briefing. Katanya ada sponsor yang bersedia membiayai tim sepanjang turnamen. Namun sepertinya Bang Toyib sulit mengatakan siapa sponsor itu.
Anak-anak Marunda mengira sponsor itu adalah pengusaha ikan asin, yang banyak terdapat di wilayah tersebut.
"Setelah banyak proposal kita sebar, ternyata hanya ada satu pengusaha yang bersedia jadi sponsor. Dia minta nama perusahaan dan gambar produknya disablon di kaos tim." ujar Bang Toyib.
"Kita kagak keberatan kalau sponsor itu adalah pabrik ikan asin." ucap David, "Kita semua kagak masalah kalau di bagian depan kaos tim kita disablon dengan gambar ikan. Iya kan, Bro?"
"No problem." jawab rekan-rekannya. "Bikin aja gambar ikan kayak Nemo."
"Bukan pabrik ikan asin." tukas Bang Toyib, "Bang Jaelani yang mau jadi sponsor tim."
"Bang Jaelani itu siapa?" tanya Christiano yang bukan orang Marunda.
Bang Toyib menjawab, "Dia punya usaha waralaba makanan, gerainya sudah bertebaran di beberapa tempat, katanya sudah ada 30 gerai di Jakarta. Tahun ini bakal membuka 15 gerai lagi. Kalian mungkin sering beli produknys buat sarapan. Serabi Bang Jay, itu nama perusahaannya."
Anak-anak tim sepak bola itu masih belum bisa membayangkan apapun.
Bang Toyib lanjut bertutur, "Bang Jaelani mau jadi sponsor tim kita, dengan syarat ... di bagian depan kaos tim kita kudu disablon dengan gambar serabi oncom."
"Tidaaak!" Mereka histeris.