Namanya David Bastion, 17 tahun, siswa SMK Marunda Jaya di ujung Jakarta. David punya postur tubuh dan wajah bule, dia anak blasteran Betawi Amerika. Rekan-rekannya mayoritas orang Betawi, yang lidahnya susah menyebut "David", maka jadilah nama David diucap jadi Dapit. Kegemarannya makan tempe bacem, membuat namanya disebut Dapit Bacem, kasihan amat. Namun David terlalu sibuk untuk merasa tersinggung dengan nama panggilannya.
Pagi itu David tiba di sekolah, bersama sobatnya yang bernama Udin Djeko. Nama Udin Djeko mirip dengan nama pemain sepak bola Timnas Bosnia, yaitu Edin Dzeko, yang juga pernah jadi pemain Manchester City dan AS Romlah ,,, eh, maksudnya AS Roma. Akan tetapi percayalah, Udin Djeko bukanlah kerabatnya Edin Dzeko.
David dan Udin tiba di ruang kelas II Rumpun Otomotif. Saat itu mereka baru saja masuk sekolah lagi setelah libur tahun baru. Bel tanda mulai pelajaran belum berbunyi.
Lalu muncul sosok Christiano. Bukan Christiano Ronaldo yang kapten Timnas Portugal, melainkan Christiano Michiels, siswa di kelas itu.
"Hey Guys, ada turnamen sepak bola U -18, kita bisa ikutan!" Christiano memaksa rekan-rekannya membaca brosur yang dibawanya.
Isi brosur :
Pengurus Daerah (Pengda) PSSI DKI Jakarta akan mengadakan turnamen sepak bola U-18. Peserta adalah Sekolah Sepak bola (SSB), dan sekolah umum yang memiliki tim sepak bola. Pelatih tim wajib memiliki sertipikat kepelatihan minimal Lisensi C.
Hadiah bagi juara adalah uang pembinaan, dan ikut coaching clinic secara gratis bersama klub Eropa yang bakal tur ke Jakarta. Turnamen akan dipantau oleh tim pencari bakat dari PSSI. Bagi pemain yang punya talenta bagus, akan diberi kesempatan turut seleksi pembentukan Timnas U-19.
"Waaah, kayaknya ini turnamen bakal seru!" Siswa-siswa SMK itu heboh.
"Klub Eropa yang bakal datang ke Jakarta itu klub apa?" tanya Udin.
"Belum tau." jawab Christiano.
David berujar, "David Beckham sudah pensiun main bola. Kalau ada klub luar negeri yang ke Jakarta, kagak bakal ada Beckham. Andai Beckham ke Betawi lagi buat main bola, gue pengin dapat kaos tim yang dipakai Beckham. Kayak kaos Beckham yang pernah didapat sama Andik Firmansyah gitu."
Christiano tidak antusias pada tim Eropa yang bakal tur ke Jakarta. Dia ingin ikut turnamen. "Sekolah kita kan, punya tim sepak bola. Bisa dong, kita daftar turnamen atas nama tim SMK Marunda Jaya."
"Lo nggak baca tuh brosur?" tanya David, "Pelatih tim kudu punya lisensi C. Tim sepak bola sekolah kita kagak punya pelatih lisensi C. Punya juga SIM C."
"Gue pengin banget ikut turnamen. Gimana caranya Guys?" Christiano menatap teman- temannya, berharap ada yang punya ide.
"Di kampung lo gak ada SSB?" tanya Udin.
"Ada juga tim bola yang dibentuk dadakan setiap mau 17 Agustus. Pemainnya bapak-bapak, bertanding pake daster bininya!"
"Awokwok!"
"Kayaknya di kampung lo ada tim bola." ujar David, "Gue pernah lihat ada plang gede di Kampung Tugu elo itu, tulisannya 'de Mardjiker van Kampong Toegoe'. "
"Itu mah grup musik keroncong, bukan tim bola!" bentak Christiano.
David terkekeh, dia cuma iseng. Sebenarnya David sudah tahu kalau di Kampung Tugu tempat domisili Christiano ada beberapa pemusik keroncong, termasuk papinya Christiano.
Lonceng berbunyi. Mereka siap mengikuti pelajaran, hingga selesai pada pukul 3 sore.
Usai sekolah, David dan Udin naik angkot menuju pasar Marunda. Mamihnya David jualan gorengan di pasar itu. Setiap pulang sekolah, David dan Udin selalu datang ke pasar. Biasanya David bantu mamihnya menggoreng dan melayani pembeli. Sedangkan Udin membantu di sebuah lapak pedagang beras. Udin mengemas beras, dari karung satu kwintal ke bungkus plastik ukuran 5 Kg.
Namun hari itu David tidak menemukan mamih di pasar. Seorang pedagang nasi mengatakan mamih sudah pulang. David jadi khawatir, jangan-jangan Mamih sakit. Lekas David pulang dengan naik angkot.
Sudah 6 tahun David dan mamihnya tinggal di rumah kontrakan punya Haji Kodier (selagi muda namanya Kodier Drokba). Sedangkan Udin anak yatim piatu yang diasuh oleh keluarga Haji Kodier. Di kawasan itu, Haji Kodier terhitung cukup kaya, punya kamar kontrakan 20 pintu, dan usaha dagang beras, serta toko material bangunan.
David menemukan mamihnya di rumah Haji Kodier, sedang ditemani oleh Bu Haji. Setelah melihat David, mamihnya pamit pada tuan rumah. Tiba di rumah kontrakan mereka, David melihat wajah mamihnya pucat.
"Kayaknya ada yang ngejar kita lagi." ujar mamih, "Tadi ada laki-laki bule masuk ke pasar Marunda. Dia ngelihatin mamih dari kejauhan. Kayaknya dia mau nyamperin. Mamih buru-buru tutup lapak. Terus mamih lihat Bu Haji sama pembantunya yang baru beres belanja. Mamih pulang bareng mereka. Bu Haji mengira mamih sakit, jadi mamih disuruh duduk di rumahnya sambil nunggu kamu. Ya sebenarnya mamih juga kagak berani di rumah sendirian, karena ada laki-laki bule itu yang mencurigakan. Tapi sekarang mamih rada tenang karena kamu sudah balik."
David memikirkan kisah masa lalu yang pernah diceritakan oleh mamih. Rosyidah, itu nama mamih. Asli betawi, yatim piatu sejak kecil. Rosyidah diasuh paman dan bibinya hingga tamat SMP. Kemudian Rosyidah bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan. Di dekat rumah makan itu ada rumah kos cukup mahal, dihuni oleh orang asing yang bekerja di Jakarta.
Di usia 17 tahun, Rosyidah berkenalan dengan Gregory, 27 tahun, bule asal Amerika. Kemudian mereka menikah secara siri. Setahun kemudian David Bastion lahir. Greg punya rencana suatu saat akan kembali ke Amerika, mendaftarkan pernikahannya dengan Rosyidah di Amerika. Supaya David jadi warga negara Amerika.
Greg membeli rumah dan perabotan. Pekerjaan Greg adalah ahli kimia di sebuah pabrik cat, di Tangerang. Dia giat bekerja, pergi pagi, pulang malam. Tak jarang dia lembur, sampai tiga hari tiga malam berada di pabrik. Terkadang Rosyidah ingin bertandang ke lokasi kerja suaminya, ngantar makan. Greg melarang karena jauh dari rumah. Disuruhnya Rosyidah mengasuh anak dengan sebaik-baiknya.
Sebagai anak kecil, saat itu David bahagia kalau papinya libur kerja. Papi selalu mengajak mamih dan David jalan-jalan dan makan di restoran. Walau jalan-jalan hanya di seputar Jakarta, tetap seru kalau dengan papi. David masih ingat ucapan papinya saat jalan-jalan terakhir.
"Di masa lalu, banyak benteng di Jakarta. Dibikin oleh Belanda. Di pojok benteng-benteng itu, ada menara pengintai. Orang Belanda menyebut menara pengintai itu dengan nama bastion. Nah, David Bastion, kamu harus bisa jadi benteng buat mami. Karena nanti papi makin sibuk di pabrik. Banyak pesanan, papi bakal sering lembur."
Pada saat David berusia 8 tahun, badai kehidupan menghantamnya tanpa ampun. Dalam berita di TV, pabrik cat itu digerebek polisi. Terjadi tembak menembak antara polisi dengan para pekerja pabrik cat itu. Beberapa jam kemudian, satu kompi Brimob bersenjata laras panjang menyerbu pabrik itu. Akhirnya belasan pekerja pabrik menyerah. Beberapa orang luka tembak, beberapa orang ditemukan tewas oleh terjangan peluru polisi. Salah seorang yang tewas adalah Greg.
Komandan polisi mengatakan bahwa pabrik itu memang memproduksi cat, untuk kamuflase. Produksi utamanya adalah narkoba. Greg adalah ahli kimia yang meramu narkoba itu. Jenazah Greg diambil oleh staf dari konsulat Amerika, lantas dikirim ke Amerika dengan peti mati. Rosyidah sangat terpuruk menghadapi fakta tentang suaminya. Seluruh kebanggaannya sebagai seorang istri, runtuh dalam sekejap.
Menurut cerita Rosyidah pada David, setelah kematian Greg, tiba-tiba saja ada beberapa orang bule datang. Mereka mencari uang dua milyar hasil transaksi narkoba, yang belum disetorkan Greg kepada bosnya. Para mafia narkoba itu yakin, jika uang dua milyar itu ada pada sebuah rekening bank. Mereka terus mendatangi rumah Rosyidah, mencari buku bank, atau kartu ATM milik Greg. Karena ketakutan, Rosyidah pergi dari rumahnya. Meminta pamannya untuk menjualkan rumah itu.
Uang hasil jual rumah dipakai oleh Rosyidah untuk bekal hidup. Dibawanya David berpindah-pindah tempat. Selama dirinya merasa masih dikejar oleh mafia narkoba itu, dia terus berpindah tempat tinggal. Lama-lama uangnya menipis.
Tibalah Rosyidah dan anaknya di Marunda. Rosyidah berjualan makanan untuk nafkah dirinya dan anaknya. Orang-orang yang mengejarnya sudah tak tampak lagi. Maka Rosyidah dan anaknya menetap di Marunda, hingga enam tahun.
Namun sekarang, ketentraman mereka terusik lagi. Malam telah larut. Beberapa kali David menyingkap gorden, melihat ke luar jendela. Khawatir ada mafia narkoba sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Di luar sepi.
David membuka pintu kamar, menatap mamihnya yang sudah tidur. Dulu mamih cantik, sehat, montok, bersih, wangi. Sekarang mamih kurus, wajah tirus mulai berkerut. Kulit wajahnya penuh bercak kecoklatan, terpanggang matahari. Usia mamih 35 tahun, namun kecantikannya telah terkikis oleh derita dan rasa letih.
Mamih membuka mata. "David, kalau kita dikejar lagi sama mafia narkoba itu, kita pindah rumah aja, ya?"
"Pindah ke mana?"
"Di Kepulauan Seribu ada beberapa pulau yang padat penduduk, misalnya Pulau Untung Jawa. Kita pindah ke sana. Mafia mah kagak bakal ngejar ke situ."
David bicara dalam hati, "Mending pindah ke Pulau Onrust yang banyak kuburan Belanda. Mungkin gue bisa ngontrak di bekas benteng VOC. Nanti gue tetanggaan sama memedi."
David tidak mau lagi pindah rumah. Kalau mafia narkoba masih mengejar mamih, David akan menghadapinya. Nggak sendirian juga, tapi minta bantuan sama warga pasar Marunda untuk menghadapi mafia.
David berucap, "Mamih jangan banyak pikiran. Tidur ya."
David menutup pintu kamar, lantas kembali ke ruang depan. Rumah kontrakan itu hanya punya satu kamar tidur. Saat awal ngontrak di situ, David masih kecil, dia tidur sekamar dengan mamihnya. Namun sejak masuk SMK, David memilih tidur di ruang depan. Mamih yang di kamar.
***
Di sebuah rumah besar, kawasan elit ibu kota, seorang gadis remaja berambut pirang sedang menatap kalender. Hatinya risau. Kurang dari enam bulan lagi dia harus hengkang dari Jakarta, kembali ke Amerika. Padahal belum ditemukannya apa yang dia cari selama ini.
Ponselnya berdering.
"Today, I saw her." ujar pria yang menelepon.
"Who?"
"I saw Rozida in Marunda."