Dua puluh enam tahun yang lalu, di atas penerbangan dari San Francisco ke Jakarta (melalui Taipei), di antara bintang-bintang, aku membuat sebuah kehebohan dengan melamar Anna di hadapan seluruh penumpang pesawat. Dia bilang iya. Tapi lalu dia meninggalkanku. Malam ini, di atas penerbangan dengan asal dan tujuan yang sama, di antara bintang-bintang yang sama, aku akan melamarnya lagi. Ini akan jadi kali ketiga aku melamarnya, tapi bukankah ada yang bilang bahwa kali ke tiga kau mencoba sesuatu itu biasanya berhasil? Tidak, kali ini aku tidak akan minta bantuan pilot dan membuat kehebohan seperti dulu lagi. Karena aku pernah dengar hanya orang gila yang melakukan hal yang sama tapi mengharapkan hasil yang berbeda.
Di sampingku, Anna mengeluarkan bantal berbentuk U dari tasnya. Itu tipe yang harus ditiup lebih dulu. Aku meminta bantal itu dan meniupkannya untuknya. Setelah kita menikah nanti, akan ada banyak hal kecil yang dapat kulakukan untuknya. Pikiran itu membuatku ingin tersenyum lebar. Aku memberikan bantal itu padanya.
“Apa?” tanyanya. Rupanya aku benar-benar tersenyum lebar dan ia mungkin bingung apa yang membuatku tersenyum.
“Tidak apa-apa,” kataku. “Aku sayang kamu,” tambahku. Karena itu adalah kebenaran dan aku ingin dia selalu ingat itu. Ia memandangku dan tersenyum.
“Kau tahu bahwa aku juga sayang padamu, Dayton,” katanya. Kejujuran yang terpancar pada suaranya membuatku menggembung dengan kebahagiaan. Aku membuka lipatan selimutnya dan meletakkannya di atas Anna sambil memastikan selimut itu benar-benar melindunginya. Satu hal kecil lagi yang akan bisa kulakukan setiap hari setelah kami menikah nanti. Di seberang gang, Ava dan Liam juga sedang bersiap-siap untuk tidur. Aku mengeluarkan bantal U ku sendiri. Tapi aku tidak akan langsung tidur. Belum.
Aku menanti tiga puluh menit tapi rasanya lama sekali. Aku harus memastikan bahwa ia sudah benar-benar tidur nyenyak sebelum aku melakukannya. Aku tidak mau dia terbangun saat aku melakukan ini. Aku menunggu lima menit lagi supaya lebih aman. Waktu kudengar dia masih tetap bernapas secara teratur, aku meraih selimutnya dan dengan perlahan mengangkatnya sedikit untuk mengintip. Kedua lengannya dilipat di atas dadanya. Untungnya tangan kirinya berada di atas siku kanannya. Jika tangan itu diselipkan ke bawah siku, akan jauh lebih sulit bagiku untuk melakukan ini. Aku memasukkan tanganku ke dalam saku celanaku dan mengeluarkan benda itu. Cincin yang sama yang telah kupasangkan pada jarinya dua puluh enam tahun silam. Cincin yang sama yang telah dilepas olehnya dan dikembalikan padaku. Kali ini, aku akan memastikan cincin ini bertengger pada jarinya selamanya. Dengan perlahan, satu mili meter demi mili meter, aku menyelipkan cincin ini pada jari manis kirinya. Jantungku berdetak tidak karuan. Itu hanya perlu sekitar satu menit dan sebenarnya AC di pesawat itu amat dingin tapi aku merasakan keringatku mengalir pada leherku. Aku menggeser cincin itu pada mili meter terakhirnya dan untuk sesaat aku memandang cincin itu pada jarinya sambil berdoa dalam hati sebelum aku menaikkan selimutnya lagi. Dia tidak terbangun. Dan sekarang, rasanya aku tidak mungkin bisa tidur. Aku tidak mau tidur saat dia bangun. Aku ingin melihat reaksinya saat menemukan cincin itu pada jarinya. Tidak ada alasan lagi untuk bilang tidak, bukan? Tidak ada alasan untuk melepas cincin itu lagi, bukan?
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page