Kebanyakan orang pikir bagian tersulit dari menjadi ibu adalah saat kau melahirkan. Itu salah sekali. Kehamilan dan melahirkan adalah bagian termudah. Yah, memang kau harus menderita karena seolah tubuhmu terbelah dua sewaktu mendorong sang bayi keluar dari liang yang begitu sempit. Tapi karena ada harapan, semuanya jadi dapat dihadapi. Dan jika kau bertanya pada semua ibu, hanya secercah senyuman dari bibir bayimu saja, itu sudah cukup untuk membuat sang ibu lupa pada penderitaan berjam-jam. Dan ya, dengan senang hati kami akan melakukannya lagi.
Hal tersulit dari menjadi seorang ibu adalah saat kau dipaksa untuk berhenti menjadi ibu, saat anakmu dirampas dari dirimu selamanya. Karena memang tidak mungkin bagi seorang ibu untuk berhenti menjadi seorang ibu. Saat Amos meninggal, hatiku seperti ditarik keluar dari tubuhku beserta semua organ-organ lain. Dan hidupku yang tadinya seperti lukisan puzzle 5000 keping yang tertata baik tiba-tiba terlempar ke udara oleh angin badai. Seluruh sisa hidupku pun tidak akan cukup untuk mencari semua kepingan puzzle itu dan aku tahu aku tidak akan mungkin memasang lukisan puzzle itu seperti sedia kala.
Untung ada Anna. Dan aku begitu bersyukur saat ia memutuskan untuk pulang. Dan hampir pasti Justin salah satu faktor penentunya. Untung sekali Justin begitu menyukai Anna. Tidak semua gadis punya seorang pria yang mencintainya sebesar Justin mencintai Anna. Anna beruntung. Tapi ia belum menyadari itu.
“Bu, ini harus diletakkan di mana?” tanya Min, asisten rumah tanggaku yang sudah bekerja padaku sejak aku hamil Amos. Aku menoleh dan melihatnya memegang sebuket besar bunga. Tiga pembantuku yang lain berdiri di belakangnya. Satu memegang dua buket besar lagi, lainnya memegang vas-vas bunga.
“Dari mana?” tanyaku.
“Dari sinyo Justin untuk nonik,” katanya. Harusnya sudah bisa kutebak tanpa bertanya. Sinyo adalah panggilan bahasa Jawa untuk pria muda atau kecil dan nonik adalah panggilan serupa untuk gadis kecil. Anna biasa dipanggil itu di rumah. “Tadinya akan kuletakkan di kamar nonik tapi karena banyak takutnya jadi bersin-bersin.” Min memang seperti itu. Selalu berpikir ke depan.
“Ya. Sebaiknya di sini saja,” kataku. Min mengangguk dan mulai mengarahkan pembantu yang lain. Saat itu aku mendengar klakson mobil Anna. Dia sudah pulang dari kantor. Aku berjalan ke lift dan berdiri di depan pintu transparan nya supaya ia dapat langsung melihat diriku saat ia naik dari basement. Senyumku mengembang saat melihatnya. Ia membalas senyumku.
“Hai, Ma,” katanya saat keluar dari lift.
“Ayo, kau harus lihat ini!” kataku. Ia mengikuti dan begitu ruang makan masuk dalam jarak pandangnya, matanya melebar.
“Mama beli bunga?” tanyanya.
“Tidak. Itu dari Justin. Untukmu,” kataku. Dan ia berhenti melangkah seolah bunga-bunga itu hewan buas dan bukannya bunga. “Kenapa, sayang? Itu bunga lily kesukaanmu. Justin pasti memilihnya sendiri. Kau tidak ingin melihatnya?” tanyaku.
“Mung... mungkin nanti,” katanya. Dan ia langsung memutar tubuhnya dan melangkah dengan cepat ke arah kamar tidurnya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page