Biasanya pelajar teladan tidak secantik itu. Itu bukan karena ia tidak mengenakan kacamata. Banyak pelajar pandai yang tidak berkacamata. Tapi lihat rambut ombaknya yang sebahu, tulang pipinya yang tinggi bak foto model, matanya yang dalam dan bibirnya yang penuh. Gadis-gadis dengan penampilan seperti itu biasanya sering dihadapkan banyak gangguan yang membuat mereka jadi sulit memusatkan perhatian pada urusan sekolah. Tapi aku tentu tidak boleh terjebak di dalam stereotip ini karena buktinya dia toh ada di sana, duduk di bangku paling tengah di baris terdepan, menguburkan hidung mancungnya di dalam buku teks Akunting 1a. Bangku yang satu itu memiliki jarak terdekat dengan papan tulis dan juga dengan dosen. Jadi memang hampir bisa dipastikan siapapun yang memilih untuk duduk di sana pastinya murid teladan.
“Selamat pagi!” kataku. Suara ribut di kelas langsung mereda. Semua mahasiswa langsung mengarahkan pandangan mereka padaku, termasuk si mahasiswi yang satu itu. Aku berbalik untuk menulis pada papan. “Ini kelas Akunting 1a dan saya Profesor Dayton Lee. Kalian dapat memanggilku profesor atau Dayton, yang mana saja boleh.” Aku merasakan pandangannya pada punggungku. Aku berbalik dan balas memandangnya. Dengan cepat ia menurunkan pandangannya ke arah bukunya seolah ia baru tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang. Aku membereskan kertas-kertasku sambil menanti ia mengangkat pandangannya lagi. Tapi ia tidak melakukannya. “Biar kubagikan silabusnya,” kataku sambil membagikan tumpukan kertas itu ke mahasiswa yang duduk paling depan supaya mereka dapat mengambil sebuah lalu meneruskannya ke belakang. Mahasiswi itu hanya memandangku sejenak saat menerima tumpukan kertasnya. “Ujian midsemester bobotnya 30%, ujian akhir 40%, pekerjaan rumah 20% dan partisipasi di kelas 10%,” lanjutku, berusaha memberikan kesan bahwa aku sudah melakukan itu ratusan kali walau yang sesungguhnya, itu adalah kelas pertama yang kuajar. Seseorang yang duduk di belakang mengangkat tangannya. Seorang mahasiswi yang bila ditilik dari pilihan lokasi bangku dan pilihan pakaiannya, hampir pasti bukan seorang pelajar teladan. “Ya?” tanyaku.
“Bisa minta jadwal kantormu?” tanyanya. Aku pun menuliskan lokasi kantorku dan jam di mana aku menerima mahasiswa yang ingin bertemu untuk menanyakan ini itu mengenai pelajaran di papan.
“Ada pertanyaan lain?” tanyaku. Tangan yang sama di angkat kembali. “Ya?” tanyaku.
“Jika aku rajin datang ke kantormu, apakah itu termasuk partisipasi di kelas?” tanyanya.
“Tidak!” jawabku. Jawaban yang benar sebenarnya adalah iya dan mungkin jika pertanyaan ini datangnya dari bangku paling tengah di baris terdepan, aku akan menjawab iya. Aku memandang mahasiswi itu lagi dan mendapati dirinya sedang memandangiku. Aku tersenyum tapi ia hanya kembali mengalihkan pandangannya pada bukunya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page