Bagaimana mungkin sesuatu yang telah dibangun selama lima tahun dihapus habis oleh sebuah video call selama lima menit seolah sehembusan angin dapat menghancurkan tiang batu? Atau mungkin alih-alih dari batu, tiang ini hanya dibuat dari serbuk harapan remaja kemarin sore yang tentu saja terbang hilang saat tiupan angin pertama datang.
Aku masih ingat pertama kali aku melihat Ivan. Tampangnya terlalu serius untuk jadi anggota tim basket sekolah menengah. Dan kacamata berbingkai hitamnya lebih cocok digunakan untuk membaca di perpustakaan daripada untuk berlarian di lapangan. Harus kuakui, aku memang langsung tertarik. Tapi karena aku hanya seorang murid baru di Sekolah Menengah Dinamika ini, aku tahu diri. Aku beruntung Dina, yang sudah bersekolah di Dinamika sejak SD, langsung berteman denganku. Ia yang memberikan ide untuk mencuri kaca mata Ivan.
“Kita curi, lalu kau yang mengembalikan padanya seolah kau yang menemukannya. Pasti ia akan begitu berterima kasih sampai mau membawakan bekal dan botol airmu ke kantin dan mungkin bahkan akan duduk bersamamu di sana!” kata Dina.
“Kurasa kau menonton terlalu banyak drama Korea,” kataku.
“Ayolah, Anna! Kau harus akui itu rencana yang bagus!” kata Dina. Tapi aku tidak sempat mencuri kaca mata Ivan walaupun aku ingin melakukannya. Itu karena dia yang sudah lebih dulu mencuri kotak pensilku. Suatu hari kotak itu ada, tapi keesokan harinya, benda itu menghilang. Aku sampai harus meminjam pena Dina. Lalu pada istirahat pertama, Ivan, sambil didorong-dorong oleh teman-temannya, mendatangiku.
“Ini ... ini punyamu, ya?” tanyanya sambil mengulurkan kotak pensilku.
“Iya! Ketemu di mana?” tanyaku.
“Di kursi panjang, di dekat kantin,” jawabnya. Sepintas aku melihat senyuman terbentuk di sudut matanya. Aku bilang terima kasih dan mengambil kotak pensil itu darinya. Aku merasakan wajahku memerah jadi aku menyibukkan diri dengan kotak pensil itu.
Setelah itu kami lebih sering bercakap-cakap di lorong, dan kami menempati tempat duduk yang lebih dan lebih dekat di kantin. Perlu waktu satu tahun sebelum kami akhirnya duduk bersebelahan di meja kantin yang sama. Itu karena satu, kantinnya besar dan di awal tahun ajaran itu kami menduduki meja yang berjauhan dan dua, memang tidak mudah untuk menempatkan diri di antara murid-murid sekolah menengah, tidak mudah untuk mendaki tangga sosial tak kasat mata yang ada hingga mencapai posisi diterima atau diakui sebagai bagian dari mereka. Tapi di akhir kelas 8, semuanya - termasuk guru-guru - menyebut kami dengan sebutan Anivan. Namun selimut ketidakpastian menyelubungi kami karena itu adalah tahun terakhir Ivan di sekolah menengah. Tahun depannya ia akan pergi ke SMU yang berbeda. Tapi ternyata itu tidak sesulit yang kami kira. Rumah kami berdekatan jadi mudah saja untuk bertemu beberapa kali seminggu. Orang tuaku menyukai Ivan dan orang tua Ivan menyukaiku jadi mudah bagi kami untuk ikut di dalam acara-acara keluarga. Dan tanpa terasa, satu tahun sudah lewat dan aku pun diterima di SMU itu dan sekali lagi, kami pun menjadi Anivan.
Aku sama sekali tidak kuatir saat Ivan lulus dan harus berangkat lebih dulu ke Amerika untuk kuliah. Keluarga kami telah merencanakan semuanya. Tahun depan aku akan mendaftar ke universitas yang sama dan saat Ivan kuliah tahun kedua, aku akan memulai tahun pertama. Tidak akan banyak berbeda dengan saat Ivan masuk SMU lebih dulu, hanya saja sekarang kita tidak bisa bertemu dan hanya bisa berkomunikasi dengan video call.
Dan sesi-sesi video call itu pun dimulai. Sangat sering pada awalnya, lima kali sehari. Tapi seraya rutinitas baru terbentuk, frekuensinya menurun menjadi lebih normal. Dan mungkin saat frekuensinya terus menurun dikarenakan kesibukan, aku harusnya merasa ada yang salah. Tapi aku tidak menyadarinya. Mungkin aku terlalu mudah percaya. Mungkin aku terlalu tinggi menaksir kekuatan cinta di antara aku dan Ivan. Mungkin aku terlalu meremehkan kekuatan jarak yang membentang. Jarak membuat segalanya lebih buram. Semua terlihat baik dari jarak yang jauh. Kau tidak dapat melihat pori-pori besar dan jerawat pada wajah dari kejauhan, kau tidak dapat melihat retakan pada dinding dari kejauhan, bahkan ada lagu yang mengatakan bahwa dari kejauhan dunia terlihat hijau dan biru, begitu indah. Jadi waktu sesi vidcall 5 menit yang terakhir itu dimulai, aku sama sekali tidak menyangka sesi itu adalah bom nuklir yang menghancurkan salah satu alasan hidupku yang terpenting, sesi itu adalah penyihir yang menculik salah satu orang terpenting dalam hidupku.
Tidak ada cara untuk menjelaskan ini dengan lebih baik. Pelukis, sebaik apapun, tidak dapat menyapukan warna cerah pada gambar yang suram. Penyair, sepuitis apapun, tidak dapat mengubah kata-kata untuk memperbaiki kisah penuh duka. Pemusik, seandal apapun, tidak dapat meronce nada ceria untuk lagu sedih. Jadi akan kukatakan apa adanya. Ivan meninggalkanku karena ia harus menikahi seorang gadis yang sudah dihamilinya. Ia baru mengenal gadis itu selama lima bulan tapi apa yang terjadi di antara mereka memudarkan semua yang telah kami bangun selama lima tahun. Jadi saat tiba waktuku untuk memilih universitas, aku hanya punya satu kriteria. Universitas itu letaknya harus sejauh mungkin dari dirinya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page