Bab 4
So, malam ini adalah kesempatan emas yang bisa kumanfaatkan untuk lebih tau tentang Kak Nala selama perjalanan ke Toko Buku.
Aku tipikal orang yang tidak mudah akrab dengan orang baru, tapi entah kenapa ada pengecualian untuk Kak Nala. Sifatnya yang menyenangkan, membuatku lebih mudah terbuka dan akrab dalam waktu yang cukup singkat. Padahal biasanya aku baru bisa akrab kalau orang itu yang lebih dulu aku kenal lebih dalam. Kali ini berbalik, justru aku yang tidak begitu mengenalnya.
Yang kutahu tentang Kak Nala adalah, memiliki perawakan yang yang cukup tinggi, berkulit cokelat terang, mata belo, bulu mata lentik, tidak terlalu kurus juga tidak terlalu gendut, dan senyumannya yang khas. Seorang Guru disekolahku, entah Guru apa. Jago mengendarai mobil, bisa memasak bubur, suka bergurau, dan tertawa, yang mana tawanya sangatlah khas juga seperti senyumnya.
“Fatih! Kebiasaanmu kambuh lagi, ayo cepat masuk mobil!” Aku terkesiap. Lihat bahkan Kak Nala tahu betul aku suka melamun.
Aku berlarian menuju mobil, menarik gagangnya, menghempaskan punggung ketempat duduk, lalu menutupnya.
“Kakak Guru apa disekolah Fatih?” Aku memecah lengang setelah mobil baru beberapa saat meninggalkan rumah. Tidak sabaran ingin mengajukan pertanyaan.
“Kau tidak mengenal Kakak, Fatih? Ya Ampun.”
“Bagaimana Fatih bisa tahu, kalau baru sekarang ada waktu luang buat Fatih cari tahu, makanya Fatih baru mau tanya sekarang.” Sergahku serius. Kali ini Kak Nala langsung menjawab, tidak seperti biasanya bergurau dulu.
“Kakak guru bagian bimbingan konseling disekolah, Fatih.” Aku ber-ooh, pantas saja aku tidak pernah tahu dan menyangka Kak Nala termasuk guru disekolahku. Soalnya aku tidak pernah berurusan dengan guru BK sih.
“Kau oh oh begitu, memangnya tahu apa itu bimbingan konseling?” Kak Nala seperti biasa bertanya jahil.
“Tau, guru BK itu, guru yang terkenal seram ‘kan? Pantas Fatih tidak kenal Kakak, mana mau Fatih ketemu guru yang menyeramkan. Eh, tapi kok Kakak tidak terlihat seram sama sekali, ya?”
“Lain kali kalau ada hal-hal yang sering kali beredar tanpa adanya bukti dan fakta yang jelas, jangan mudah percaya, Fatih. Kita harus tabayyun. Entah dari sisi apa kalian yang menyimpulkan guru BK itu menyeramkan, padahal itu semua bisa jadi karena imajinasi kalian yang terlalu melebih-lebihkan.” Aku manggut-manggut, aku tau apa itu tabayyun, Mama pernah memberi tahuku tentang itu.
“Guru BK memiliki dua fungsi, Fatih. Pertama, memberikan tempat untuk anak-anak yang bermasalah yang butuh tempat bercerita, yang tidak bermasalah pun juga boleh bercerita ketika ia membutuhkannya. Lalu yang kedua, untuk mendisiplinkan dan memberi tindakan kepada anak-anak yang melanggar atau tidak mematuhi peraturan-peraturan sekolah. Nah, seringkali mereka yang masuk keruangan BK karena sebab ini jadi menarik kesimpulan dan memandang bahwa guru BK menyeramkan, padahal gunanya mereka diberi tindakan dan ketegasan adalah agar dirinya bisa berubah menjadi lebih baik lagi. Tapi, mereka justru mencap kami, guru BK adalah guru yang menakutkan, padahal kami sudah berusaha melakukan pendekatan kepada anak yang bermasalah dengan baik-baik, membimbingnya. Tapi, balasan yang kami terima justru cap-cap yang tidak baik.” Kak Nala berceloteh panjang lebar, meluapkan keresahannya sebagai guru BK. Aku mendengarkan takzim, bingung mau berkomentar apa. Aku lumayan mengerti perkataannya, tapi tetap saja untuk anak SD sepertiku cukup rumit. Bahkan tadinya kupikir Kak Nala msu menjahiliku lagi bertanya apa aku mengerti apa itu tabayyun. Namun, Kak Nala malah berceloteh tentang BK.
“Eh, maaf aku menceracau. Oh iya, jadi intinya, kau harus tabayyun ya, cari kejelasan, kebenaran tentang hal apapun yang baru kau ketahui, jangan telan mentah-mentah” Aku memilih mengangguk daripada jahil bilang aku sudah tau tentang itu, sekarang bukan waktu yang tepat untuk jahil.
“Hei, kenapa kau jadi pendiam lagi seperti semula sebelum akrab denganku.”
“Tidak kok, Fatih cuman sedang berfikir.” Aku menyeringai. Kak Nala tertawa.
Pemandangan jalanan kota dimalam hari benar-benar indah dari balik kaca mobil, lampu warna-warni berkerlap-kerlip. Jalanan ramai.
Aku jadi teringat ketika aku, Mama, dan Tante Danum menelusuri jalan setapak ditaman dipinggir kota, bergandengan tangan, mengobrol hal acak apa pun yang terlintas dikepala kami.
“Kita sudah sampai, ayo!” Tanpa kusadari mobil sudah terparkir rapi didepan toko buku.
Dengan girang aku segera saja turun dari mobil, tidak sabaran langsung cepat-cepat memasuki toko buku. Aku berkeliling melihat-lihat banyak sekali buku. Tenggelam dalam pikiranku yang mendambakan rak-rak yang penuh buku-buku seperti toko buku ini ada dirumahku, bisa-bisa aku tidak akan bosan-bosan lagi dirumah, atau bahkan kebiasaan melamunku akan hilang! Aku senyum-senyum sendiri membayangkan angan-angan indah itu.
Setelah puas memutari toko buku akhirnya aku memutuskan membeli tiga buku. Kenapa hanya tiga? Hei, bahkan kalau bisa aku mau membeli semuanya, tapi apa daya, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit ‘kan?
“Sudah puas lihat-lihatnya Fatih?” Kak Nala yang sedari tadi hanya duduk dipojokan toko menungguiku sembari membaca buku bertanya.
“Sudah Kak!” Aku tersenyum lebar.
“Cuman tiga saja belinya?” Kak Nala melangkah menuju kasir.
“Iya.” Aku berlarian kecil berusaha mensejajari langkahnya.
“Dikit sekali, tidak langsung beli banyak saja? Daripada nanti buang balik ke toko buku”
“Kalau Kakak mau bayarin, akan Fatih ambil lagi buku yang lain. Aduh Kak Nala jalannya jangan cepat-cepat dong!” Aku bersungut-sungut, langkah Kak Nala panjang-panjang sekali, membuatku kewalahan berusaha menyamai langkahnya agar tidak tertinggal. Kak Nala hanya membalas dengan tertawa kecil. Aku mendngus kesal.
Akhirnya sampai kasir, untung antreannya hanya satu-dua orang, kalau lebih dari itu, bisa-bisa kakiku tambah pegal-pegal setelah sudah kelelahan berjalan dengan langkah panjang-panjang tadi.
Tiba antreanku, aku menjulurkan buku yang akan aku beli. Kasir men-scan barcode yang tercantum dibuku. Menyebutkan total harga. Aku buru-buru menghitung uang pas untuk membayar, sebelum memilih tiga buku itu tentu saja aku menghitung dan memperkirakan total harga nya dengan uang yang aku punya. Aku terlambat, dengan sigap Kak Nala menjulurkan uangnya untuk pembayaran buku-bukuku. Haduh! Kenapa jadi Kak Nala yang membayarnya? ‘Kan seharusnya aku. Belum sempat aku protes Kak Nala sudah beranjak pergi menghampiri mobilnya. Aku buru-buru mengikutinya, dan tidak lupa mengambil tiga tumpukan buku baruku lalu mendekapnya.
Belum genap aku memperbaiki posisi dudukku, Kak Nala sudah menyalakan mobil dan meluncur pergi meninggalkan toko buku.
“Kau tidak perlu menggantinya Fatih. Anggap saja itu hadiah dari Kakak untukmu.” Kak Nala sebenarnya kenapa sih?
“Tapi Fatih tidak mau. Kenapa tiba-tiba Kak Nala jadi memberi hadiah kepada Fatih?”
“Kau menolak pemberian Kakak? Memberi hadiah tidak harus dengan rangka sesuatu ‘kan? Kakak hanya ingin memberinya untukmu, terima saja.” Kak Nala memaksa, dengan tatapan mata yang tetap fokus mengemudi.
“Iya deh, Terima Kasih kalau begitu Kak!” Aku menyeringai, terserahlah, orang dewasa rumit sekali.
“Sama-sama.”