Bab 3
“Jaga diri adek baik-baik. Jangan nakal dan patuh sama Pak Guru nanti ya!” Pesan Mama sebelum meninggalkan aku dalam situasi canggung sekarang ini. Aku mengeluh dalam hati. Aku tidak pernah serumah dengan laki-laki, rasanya sungguh aneh!
“Fatih?”
“Eh, iya Pak?” Aku gelagapan.
“Ternyata benar apa kata Mamamu, kau suka sekali melamun ya.” Pak Guru menyeringai. Aku menyernyitkan dahi, Pak Guru tahu aku suka melamun, toh?
“Ngomong-ngomong, kau bisa panggil aku Kak Nala saja, aku masih terlalu muda untuk dipanggil Bapak begitu.” Aku termangu. Ya ampun aneh-aneh saja orang ini, masa Pak Guru dipanggil Kakak sih? Mau dia muda, dia tetap Pak Guru ‘kan? Terserahlah.
“Ayo kita masuk Fatih! Siap-siap ke sekolah. Jangan sampai aku telat hanya gara-gara menungguimu.” Pak Nala terkekeh--eh Kak Nala. Aku menghiraukan leluconnya, dan bergegas masuk kedalam setelah melepas kepergian Mama dan Tante Danum. Aduh! Bahkan aku tidak sempat menanyakan Mama dan Tante Danum pergi kemana. Aku menggerutu dalam hati. Rentetan kejadian ini mendadak sekali sih.
“Kak Nala, Fatih gamau sekolah.” Tiba-tiba aku merasa malas untuk sekolah. Kak Nala berbalik badan, menatap heran.
“Kamu sakit Fatih?”
“Iya Kak, jadi Fatih tidak sekolah dulu ya?” Aku pura-pura. Dia menyentuh dahiku dengan punggung telapak tangannya.
“Iya, tentu saja boleh. Istirahat yang cukup dirumah selama kakak tidak ada ya.” Aku tercengang, semudah itukah? Aku refleks memeriksa dahiku juga. Wah, ternyata aku lumayan demam.
“Terima Kasih Kak!” Aku semringah, Kak Nala tersenyum. Aku sepertinya mulai suka dengan Kak Nala, dia cukup baik daripada Mama bahkan Tante Danum.
Dengan girang aku menuju kamarku. Segera mencomot buku yang Mama beri kepadaku kemarin, aku sudah tidak sabar sekali ingin melanjutkan membacanya.
“Fatih! Kakak punya sesuatu untukmu, ayo turun!” Aku terkesiap, kukira hidupku akan tenang setelah Mama dan Tante Danum tidak ada, tapi lihatlah bahkan dia sama saja cerewetnya. Padahal rasanya baru sebentar aku membaca. Dengan malas aku menuju Kak Nala.
“Iya Kak, ada apa?”
“Maaf kalau mengganggumu yang sedang istirahat, tapi aku sekadar mau bilang, aku baru saja membuatkanmu bubur, dimakan ya. Semoga itu membuatmu lebih baik.” Aku menatapnya tidak percaya.
“Kenapa Kakak jadi membuatkan bubur untuk Fatih??” Aku bertanya-tanya, sekaligus terpukau.
“Aku hanya menjalankan hal yang sudah seharusnya kulakukan. Kau tidak perlu sungkan.” Kak Nala menjawab santai, seakan perbuatannya adalah hal biasa saja. Namun, bagiku yang mudah tersentuh, takjub dengan hal seperti ini. Apalagi aku masih menganggapnya orang asing dihidupku. Aku menarik kata-kata ku yang mengatakan orang ini cerewet.
“Aku mau berangkat kerja dulu, Dah!” Ucapnya sembari mengucap salam.
“Hati-hati dijalan Kak! Terima Kasih, Fatih akan habiskan buburnya!” kataku sembari menjawab salamnya.
“Sisakan aku Fatih! Aku juga mau!” Kak Nala bergurau seraya tertawa akupun membalasnya dengan tertawa juga. Tawaku yang pertama kali dikala dengannya dan juga tawa pertamaku dihari itu.
Mobil sedan yang dikendarai Kak Nala meraung meninggalkan halaman rumah, dan menghilang dikelokan gang.
Dengan riang aku menuju dapur, dengan hati-hati mengaut semangkuk bubur buatan Kak Nala lalu dengan lahap memakannya di meja makan, berharap dengan itu aku cepat sembuh dan bisa sekolah dengan diantar menaiki mobil bersamanya. Aku ingin banyak mengobrol dengan Kak Nala, sepertinya itu akan seru! Karena, hei, bahkan aku tidak yakin Kak Nala adalah salah satu Guru disekolahku. Sekarang itulah pertanyaan terbesarku kepada Kak Nala, sebenarnya dia siapa?.
***
Pipiku bertumpu pada telapak tanganku, aku menatap kosong langit sore yang sebentar lagi berganti langit malam. Aku bosan. Kak Nala masih belum pulang juga. Buku novelku sudah tamat. Jadilah aku hanya bisa termenung dijendela ini, tempat favoritku disore hari begini.
Tok tok tok
Dengan cepat bagaikan kilat aku segera menuruni tangga dan membukakan pintu rumah. Itu pasti Kak Nala! Pikirku.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam!”
Kak Nala terkekeh melihat tingkahku yang begitu bersemangat sembari mengelus lembut kepalaku. Aku balas menyeringai.
“Aku mau berbenah diri dulu ya Fatih.” Aku mengangguk, dan memutuskan duduk menungguinya dimeja makan.
“Loh, kamu tidak habiskan buburnya fatih?”
“Katanya sisakan buat Kakak ‘kan?”
“Aku cuman bergurau, tapi walau begitu thanks ya!” Kak Nala menyeringai.
“Engga kok Kak, itu memang ada sisa, jadi buat Kakak saja.” Aku tertawa, senang balik menjahilinya.
“Kapasitas perutmu kecil juga ya!” Dia pun melahap bubur sisa itu.
“Kak Fatih mau ke Toko Buku deh.” Tiba-tiba aku teringat ideku yang ingin pergi ke Toko Buku.
“Seenaknya, tadi pagi kau bilang sakit, sudah sembuh memangnya?” Selidik Kak Nala.
“Eh, sudah sehat kok Kak!”
“Cepat banget,” Kak Nala menatap curiga
“Beneran Kak! Fatih tidak bohong, Fatih jadi cepat sembuh karena bubur buatan Kakak.” Aku beralasan.
“Apa boleh buat, emang bubur buatanku mujarab sih ya.” Kak Nala berlagak. Aku memasang wajah bingung tidak mengerti, lalu tiba-tiba Kak Nala tergelak. Aku tambah bingung lagi apa yang lucu dan membuatnya tertawa.
“Tampangmu lucu sekali! Astaga Fatih!”
Orang ini, selain suka sekali bergurau, juga suka sekali tertawa dengan hal-hal apapun yang menurut imajinasinya lucu. Namun, tawanya menular, akupun ikut tertawa. Membuat bising langit-langit dapur.