Bab 2
“Tante Danum!” Aku berteriak menyambut dengan girang. Langsung berlari menghampiri Tante Danum.
“Semangat sekali kamu Fatih. Ada apa sih?” Tante Danum keheranan melihat aku begitu girang.
Ah, tentu saja aku senang. Aku bosan dari pagi hanya dirumah dengan Mama. Mama sibuk sekali dirumah, aku hanya disuruh-suruh ini itu dan melamun ketika tidak suruh, lalu dimarahi karena melamun.
Baru kali ini aku dirumah hanya berdua dengan Mama. Biasanya dirumah kalau tidak ada Mama, aku dirumah bersama Tante Danum, kalau ada Mama dirumah pasti ada Tante Danum. Tidak pernah aku dibiarkan tinggal sendiri dirumah atau hanya berdua dengan Mama seperti hari ini.
“Tante ke mana sih hari libur begini?” Aku bukannya menjawab malah balik bertanya. Tante Danum terdiam. Aku menunggu jawaban, memasang raut muka menunggu.
“Eh, hanya bertemu seorang teman lama saja kok. Fatih kesepian ya?” Tante Danum menjawab seadanya. Aku memasang wajah kesal, yang malah membuat Tante Danum tertawa gemas melihat wajahku. Selalu begitu, padahal aku sudah tujuh tahun. Tapi Tante Danum menganggap aku masih sekadar anak kecil.
“Iya, Mama tambah menyebalkan kalau tidak ada Tante!” Aku mengadu polos.
“Itu tanda Mama sayang sama Fatih.” Aku manyun, tidak mengerti.
“Begini. Coba Fatih bayangkan. Disaat Fatih dirumah hanya Mama diamkan, tidak ditegur Mama ketika berbuat salah. Bagaimana perasaan Fatih?”
“Tentu saja Fatih senang. Tidak ada yang cerewet.”
“Kalau itu menurut Fatih. Maka menurut Tante, itu justru seharusnya membuat Fatih sedih.”
“Kenapa Fatih harus sedih?”
“Karena itu tanda Mama tidak peduli lagi disaat anaknya berbuat salah atau hal yang tidak benar. Tidak peduli anaknya tumbuh menjadi anak yang malas-malasan. Tidak mendidik anaknya, tidak bertanggung jawab. Jadi, dengan Mama cerewet mengingatkan Fatih ini itu, menyuruh Fatih ini itu, adalah tanda kasih sayang Mama terhadap Fatih, anaknya.” Jelas Tante Danum. Aku manggut-manggut, berusaha mencerna kalimatnya.
“Nah kalau sudah mengerti. Sana Fatih istirahat dulu, pasti kamu cape seharian membantu Mama ‘kan?” Aku menurut. Padahal aku masih ingin mengobrol banyak dengan Tante Danum. Tapi kalau Tante Danum sudah bilang begitu, aku tidak bisa membantah.
Aku pergi meninggalkan Tante Danum. Menuju kamarku. Menutup dan menguncinya rapat-rapat. Berkemul dibalik selimut dengan perasaan campur aduk, perasaannya yang setiap kali muncul terasa sangat tidak nyaman. Berusaha menyingkirkan pikiranku yang berkecamuk.
Akhirnya akupun jatuh tertidur karena fisik dan batinku yang kelelahan dengan kesedihan yang masih melekat di-diriku.
***
Aku mengerjap-ngerjap. Berusaha melunakkan penglihatan yang buram. Aku lupa mematikan lampu, yang membuatku saat ini terbangun dengan penglihatan yang silau. Mengumpulkan kesadaran. Mengucek mata, pedih.
Sayup-sayup aku mendengar suara-suara orang yang beradu argumen. Aku pikir Tante Danum dan Mama sedang berdebat. Entahlah. Aku tidak peduli.
Tapi baru kali ini aku mendengar Mama dan Tante Danum bertengkar, mungkin masalah orang dewasa aku tidak perlu ikut campur. Aku pun mencoba untuk mengalihkan pikiranku. Aku memilih tetap berbaring, menunggu waktu yang tepat untuk beranjak dari tempat tidurku.
Apa malam ini aku ke toko buku saja ya? Sepertinya seru, aku akan minta pada Tante Danum. Aku menyeringai, membayangkan akan membeli buku baru. Hari ini selain aku disuruh-suruh Mama dan melamun, aku juga membaca buku. Aku menemukannya didalam sebuah kotak dikamar Mama. Mama marah sekali tahu aku memasuki kamarnya, tapi setelah itu dia langsung terdiam dan menyerahkan beberapa buku miliknya kepadaku, lalu Mama berkata lirih, “Fatih, lain kali kalau mau masuk kamar Mama izin ya dan kalau kau ingin membaca bukunya ambillah, untukmu, jaga dengan baik bukunya ya.”
Karena itu aku jadi terpikir untuk melengkapi koleksi bukunya, agar bisa mengisi waktuku yang membosankan setiap diakhir pekan, bukan begitu? Aku terkekeh, ide bagus!
Sepertinya ini sudah saatnya aku turun kebawah. Aku membereskan kasurku yang berantakan. Lalu bergegas menuruni anak tangga, tidak sabar memberi tahu Tante Danum tentang ideku malam ini.
“Fatih sudah bangun ya, sini Mama mau bicara.” Pinta Mama tegas, aku tercekat alih-alih ingin berseru senang ke Tante Danum, mau tidak mau menuju menghampiri Mama.
“Mama dan Tante Danum ada urusan beberapa hari kedepan. Jadi, Fatih akan sendiri. Fatih beranikan sendiri dirumah?” Aku yang sedari tadi menunduk seketika menatap Mama tidak percaya. Aku bungkam, masih tidak berani bicara kepada Mama, karena kejadian aku masuk kamar Mama tanpa izin. Lagi-lagi hanya bisa menunduk takzim.
“Baiklah, kalau begitu Mama akan minta tolong pihak sekolah untuk mengirim seseorang menemani Adek selama dirumah. Gimana? Deal?” Mama memberi tawaran baru. Sebenarnya aku tetap saja tidak mau walau begitu. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak dalam posisi yang bisa menawar lebih lagi dari itu. Aku pun hanya bisa mengangguk lemah, menyetujuinya.
***