Bab 1
Hampa. Kosong. Sepi.
Aku termenung didepan jendela. Tempat favorit ku. Tapi kali ini angin yang menerpa lembut wajahku terasa hambar. Aku tidak ingin memikirkan apa pun lagi. Semua kejadian menyakitkan ini sudah cukup membuatku mati rasa. Tapi, aku tidak bisa mencegahnya. Ingatan kejadian hari itu melintas di kepalaku. Membuat hatiku semakin teriris-iris. Ya ampun? Apa lagi yang harus kulakukan? Apa maksud semua ini? Kenapa semua kenyataan ini begitu menyakitkan? Kenapa dia-
Tok tok tok
“Permisi! Pesanan datang!” Seru seseorang dari balik pintu ruang tamu. Aku buru-buru menuruni anak tangga. Membuka pintu. Mengambil pesanan dan membayarnya.
“Terima Kasih.” Aku berusaha tersenyum. Tapi urung. Berusaha tersenyum justru membuatku tidak kuasa menahan tangis.
“Sama-sama. Selamat menikmati!” Berbalik badan. Tidak mempedulikan aku yang menatap kosong.
Ah. Tanpa selalu membalut wajah dengan topeng senyuman palsu pun tidak masalah. Tidak semua orang peduli. Apalagi tidak mengenal kita, toh. Setiap orang punya masalahnya masing-masing. Untuk apa mengurusi masalah orang lain? Padahal kita punya masalah kita sendiri.
Aku menatap dua bungkus makanan ditanganku.
TOK TOK TOK
Lagi-lagi ada yang mengetuk, dengan ketukan yang lebih keras. Dengan malas aku membukakan pintu untuk kedua kalinya.
“Fatih!” Dengan tampang panik, cemas, sedih, perasaan yang campur aduk orang yang muncul dibalik pintu setelah aku membukakannya berseru dan langsung memelukku erat.
Aku mematung. Hatiku terkoyak oleh kesedihan. Mataku berair, sudah tidak tertahankan lagi. Tidak bisa kucegah, sekalipun aku tidak menginginkannya. Aku tergugu dan terkulai lemah ke pelukannya. Ya, aku punya hak menangis untuk semua hal yang telah menimpaku. Besok-besok aku akan bangkit lagi sesuai janjiku kepadanya…
***
Pagi itu angin lembut menerpa wajah. Matahari malu malu merekah dibalik bangunan-bangunan kota sebelah timur. Embun pagi bergelantung dipucuk dedaunan, sisa hujan tadi malam membuat udara terasa lebih segar.
“Fatih! Ayo makan, makanan sudah siap.” Suara perempuan cempreng berteriak, memecah lamunanku.
“Iya Ma!” Sahutku. Bergegas meniti anak tangga. Duduk dimeja makan. Aroma lezat segera menyergap hidung.
“Lama banget. Ngapain sih kamu dek?” Tanya Mama heran. Mengaut sayur, menumpahkannya dipiringku. Wajahku yang semringah melihat ada ‘sosis tumis saus teriyaki’ yang begitu menggoda dimenu sarapan pagi ini seketika berubah menjadi muram karena Mama yang telah menuangkan sayur ke piringku dengan penuh cinta.
“Lihat pemandangan di jendela. Eh! Fatih tidak mau sayur Ma!”
“Biar kamu sehat Fatih, makan saja.” Menyergahku. Aku terkelu ingin melawan.
“Cepat dimakan, jangan melamun. Jangan-jangan kamu pasti tadi melamun juga, ya? Saat dijendela. Hobi banget ngelamun. Boleh saja melamun. Tapi jangan lupa waktu dek.” Selidik Mama.
Aku mengangguk. Entahlah. Setiap kali melamun seraya menikmati suasana pagi rasanya menyenangkan. Aku menyukai nya.
“Masih saja melamun! Cepat makan heh.” Mama mendesak. Baiklah. Aku mulai menyendok sarapan pagi itu. Sosis tumis saus teriyaki, tumis kangkung, dan segelas susu segar. Bisa jadi itu sarapan yang sempurna sekali. 4 sehat 5 sempurna. Bersama Mama tersayang.
Seketika aku teringat. Sarapan pagi ini tidak lengkap, seperti ada yang kurang. Bukan, bukan kurang ‘Ayah’. Entahlah, pernah ketika aku menanyakan tentang Ayah, Mama hanya bilang “Tidak perlu dipikirkan dan dibicarakan”. Setelah itu aku tidak pernah menanyakannya lagi. Dari kecil aku terbiasa hidup berdampingan hanya dengan Mama dan Tante Danum. Lagi pula bagiku Mama sudah cukup. Untuk apa ada Ayah? Nanti yang ada, suara cempreng yang menyuruhku dan meneriakiku ini itu menjadi dua kali lipat.
“Eh, Tante Danum mana Ma? Tidak ikut sarapan?” Tanyaku memecah lengang setelah beberapa saat hanya ada suara dentingan piring yang beradu dengan sendok.
“Tante Danum ada urusan, berangkat lebih awal. Tidak sempat sarapan bersama.” Jawab Mama lugas. Aku ber-ooh.
“Kamu tidak dengar apa dek? Tadi waktu Tante Danum ucap salam pas berangkat?” Tanya Mama. Aku menggeleng pelan, menatap kosong makanan dihadapanku sambil mengunyah lambat suapan dimulut.
“HEH! Fatih! Kamu tuh, melamun mulu sih kerjaannya! Cepat dihabiskan, sayurnya juga. Kalo sayurnya tidak dihabiskan, kamu Mama suruh cuci piring loh!” Bentak Mama. Aku langsung terkesiap. Buru-buru melahap makananku melihat Mama yang masih tajam memelototiku. Menghiraukan Mama yang menyinggungku soal aku yang suka melamun.
“Sayur itu enak, kalau kamu makan dengan rasa suka. Coba kamu sukai sayur kangkung karena khasiatnnya, manfaatnya untuk diri kamu, atau apalah yang bisa membuat kamu menyukainya. Misalnya kalau Mama suka sayur karena kalau makan tanpa sayur rasanya hambar, seret cuman dengan nasi dan lauk. Dan juga sayur itu teksturnya kenyal, rasanya enak apalagi sayur kangkung, itu favorit Mama. Tidak semua sayur pahit seperti yang kamu bayangkan kok.” Jelas Mama. Aku manggut-manggut sambil berusaha mencerna kalimat Mama dan suapan sayur kangkung dimulutku.
“Nah, Fatih. Sekarang habiskan sayurnya dan untuk seterusnya juga ya.”
“Iya! Siap Ma!” Jawabku dengan semangat dan mulut penuh dengan makanan, sambil memperagakan tangan hormat ke Mama. Mama tersenyum. Mungkin senang karena akhirnya aku menjawab dengan bicara, bukan bahasa tubuh ataupun respon pendek lagi seperti sebelum-sebelumnya, atau mungkin senang karena aku bersemangat akan makan sayur untuk seterusnya. Entahlah.
***