Loading...
Logo TinLit
Read Story - Janji-Janji Masa Depan
MENU
About Us  

Gelanggang langit sore memberikan sinar merah keemasan ke seluruh lembah dan bukit yang secara pasrah menerimanya.

Sinar itu membuat semuanya jadi oranye termasuk juga halaman rumah yang kami sebut sebagai taman.

Ia tak luas dan penghuninya pun bukan bunga-bunga mahal dengan harga jutaan dolar.

Tapi aku yakin cinta yang ada di sana tidak akan sanggup ditebus oleh orang paling kaya di seluruh jagat Nara.

Tamanku masih ramai dengan bunga-bunga kesukaan Ibu dan Lail, mereka telaten sekali menyiramkan air setiap pagi dan sore hari, menyiangi rumput liar yang tidak diinginkan, dan memberinya pupuk yang baunya membuat mata pedih jika dihirup lama-lama.

Entah mengapa perempuan sangat suka merawat hal yang tidak menghasilkan uang seperti ini.

Tapi aku belajar dari mereka bahwa tidak semua hal adalah tentang uang, ada yang lebih penting, eksklusif, dan istimewa.

Seperti kataku tadi, cinta di sini mahal, konglomerat tidak sanggup membelinya.

Jupri mengantarku pulang saat halaman rumah sudah gelap.

Cahaya lampu yang redup berusaha memaksimalkan kekuatan yang ia punya untuk menciptakan sinar dari pergerakan elektron.

Aneh sekali, tak ada balasan salam yang menyambutku pulang, dan sesaat baru aku sadari jika aku tidak menemukan sepeda motor kerjaku di teras depan.

Otak dan dadaku seketika kejang, ke mana motor ini pergi jika bukan aku yang membawanya?

Lail tidak bisa mengendarai motor gigi, ia sejak awal hanya mau naik motor matic.

Tidak mungkin Ibu, jangankan membawanya, memboncengku saja ia takut.

Aku menghambur ke kamar dan menggerayangi meja yang biasa kugunakan untuk belajar. Tidak aku temukan kunci motorku di sana.

Kemudian di ruang tengah, di cantolan dekat jendela, tempat di mana kami sekeluarga biasa menaruh kunci rumah dan sejenisnya.

Nihil hanya ada satu kunci silver untuk membuka pintu depan. Jupri memandangku dengan heran tanpa tahu apa yang terjadi padaku.

Kini keringatku sudah sebesar biji jagung, menempel di jidat dan punggung.

Ketika sampai di dapur, kulihat Ibu tengah duduk, hanya menatapku dan tidak mengatakan apa pun.

"Bu, di mana sepeda motor Nadif?" Detak jantungku sudah kehilangan kendalinya, rasanya ia tengah memompa darahku di luar kemampuan biasanya.

Ibu hanya diam, menatapku kosong dan tetap tidak mengatakan apa pun, Ibu kenapa?

Sejak dua hari yang lalu, Ibu memang mengeluh pusing, perutnya sakit dan terus batuk-batuk.

Sesekali Ibu juga berkata bahwa mulutnya terasa pahit untuk mengecap makanan apa pun.

Aku masih menunggu reaksi Ibu dengan menanyakan hal yang sama dua kali.

Dan ketika aku mendekat, ibu berdiri dengan galak. "Waktu kemarin kamu tidak pulang, kamu ke mana saja, Nak?" tanya Ibu, dengan raut wajah yang marah tapi matanya berair.

Aku tidak mengerti, apa yang membuat Ibu terlihat begitu marah? Aku belum menjawab pertanyaan Ibu.

Dan semakin aku diam, semakin wajah Ibu memerah menahan tangis dan amarah. Entah apa yang tengah dipendamnya saat ini.

"Tadi siang ada orang datang kemari, ia menyampaikan surat katanya dari kantor." Entah siapa yang datang pada hari itu, tapi ia bukan pembawa berita baik.

Ibu menangis seharian karena kabar yang mereka bawa.

Kata Ibu, ada dua orang lelaki, yang satu bertubuh kurus dan memakai kacamata bulat, satu yang lain berbadan medium dengan dada yang tegap serta tatapannya yang tegas.

Sayang sekali Ibu tidak sempat menanyakan nama mereka.

"Ibu tidak sudi punya anak pemabuk!" suara Ibu tercekat di akhir kalimat.

Aku tertohok bukan kepalang, siapa yang pemabuk? Jupri yang berdiri di belakang kami ikut terkejut, matanya membelalak mendengar apa yang Ibu ucapkan.

"Dari kecil dididik dengan agama, disuruh ngaji yang rajin, supaya tidak kesasar, tapi begitu besar lupa semua. Ibu kira dengan kamu yang sudah semakin besar, kamu sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang dilarang. Tapi ibu salah, ibu salah besar."

"Kenapa Bu? Siapa yang mabuk? Demi Allah Nadif tidak pernah melakukannya."

"Jangan bawa nama Allah untuk kesaksian sebuah kebohongan." Suara ibu timbul tenggelam dengan nada sesenggukan yang tidak kuasa aku dengar, seumur-umur aku belum pernah membuat Ibu menangis di depan mataku dengan aku sendirilah yang menjadi penyebabnya.

Dengan genangan air mata yang meluap-luap, Ibu memberikan aku surat beramplop coklat dengan cap kepolisian di pojok kanan bawah.

"Mereka membawa ini, surat panggilan pemeriksaan untuk karyawan kantor tempatmu bekerja. Ibu tidak terlalu fasih dalam membaca, tapi lihat, di deretan ini ada namamu, ibu yang pertama kali menuliskan namamu di atas kertas saat kamu baru berumur satu minggu, mana mungkin ibu tidak bisa membacanya di sini. Kamu dicurigai ikut pesta dan mengonsumsi barang haram, Nak."

Ibu menangis lagi, "Siapa yang mengajarimu? Kamu ibu izinkan bekerja jauh dari rumah untuk dapat pengalaman dan kenalan yang baik, bukan yang seperti ini."

Beberapa hari yang lalu, ditemukan paket berisi sabu seberat 30 gram di kantor.

Tidak ada alamat pengirim ataupun penerima, tidak juga ditemukan di gudang penyimpanan barang.

Sabu itu ada di ruang karyawan tempat kami makan-makan semalaman suntuk.

Tapi demi apa pun aku tidak tahu menahu soal barang haram ini.

"Itu bukan Nadif, Bu. Aku hanya ikut makan-makan saja malam itu. Tidak lebih."

Entah pembelaan yang bagaimana, yang bisa Ibu terima, aku memang tak punya bukti bahwa aku tidak ikut-ikutan, tapi selembar kertas yang di tangan Ibu dari kepolisian belum jelas kebenarannya.

"Apa yang membuat ibu yakin kalau kamu tidak terlibat pada malam itu?"

Aku diam, aku takut perkataanku yang sembarangan malah memperburuk keadaan.

"Tidakkah kamu tahu bagaimana perasaan ibu saat tetangga bertanya tentangmu yang dikabarkan menggunakan narkoba pada ibu? Ibu malu, Nak. Malu."

Ibu terus berbicara dengan linangan air mata yang ke mana-mana, mengalir sampai dagu membuat kerudungnya basah.

"Jangan dengarkan apa kata tetangga, Bu!" Ibu yang tadinya terhenyak, kini terkejut mendengar suaraku yang seolah membentak.

Aku belum pernah berbicara dengan nada yang lebih tinggi darinya. Jangankan membentak, menatap matanya saja aku takut jika sedang dimarahi.

Entah apa yang merasuki aku kini. Semakin aku dewasa, bukan menjadi alasan untuk semakin merasa bisa melawan orang tua karena keadaan yang merasa hampir setara.

Itu pesan Ayah dulu. Tapi aku sungguh kehilangan diriku dan apa yang aku pegang kini.

"Tinggalkan pekerjaanmu, Nak. Jauhi lingkungan yang tidak membuatmu jadi lebih baik. Pergilah dari mereka yang membuatmu menjadi bukan seperti dirimu. Tinggalkan pekerjaanmu, Nadif."

Hatiku getir mendengarnya, aku melakukan semua ini untuk ibuku.

Aku banting tulang, kepanasan, kehujanan, rela kelelahan di jalanan selama berjam-jam dan itu kulakukan setiap hari, hanya untuk Ibu.

Tapi apa yang aku dapat kini? Sebuah kecurigaan dan larangan seolah aku anak baru besar yang semua-muanya masih diatur orang tua.

Kubanting pintu saat itu juga, dan kutarik Jupri yang kebingungan di ruang tamu.

Laila baru pulang dari lemburnya kebingungan kala melihatku yang tengah bersitegang dengan Ibu yang air matanya belum kering.

Tak ada yang kukatakan, aku hanya ingin pergi jauh dengan rasa percaya yang tidak penuh dan kecewa karena apa yang telah kuusahakan mendapat penghargaan yang demikian.

Aku kecewa sekali.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • mesainin

    I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'

    Comment on chapter Epilog
  • cimol

    ayoo !!!

    Comment on chapter Prolog
  • wfaaa_

    next chapter!

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
SOSOK
150      135     1     
Horror
Dunia ini memang luas begitu pula seisinya. Kita hidup saat sendiri namun bersama sosok lain yang tak terlihat. SOSOK adalah sebuah cerita yang akan menunjukkan sisi lain dunia ini. Sebuah sisi yang tak terduga dan tak pernah dipikirkan oleh orang-orang
Heartbeat
225      177     1     
Romance
Jika kau kembali bertemu dengan seseorang setelah lima tahun berpisah, bukankah itu pertanda? Bagi Jian, perjumpaan dengan Aksa setelah lima tahun adalah sebuah isyarat. Tanda bahwa gadis itu berhak memperjuangkan kembali cintanya. Meyakinkan Aksa sekali lagi, bahwa detakan manis yang selalu ia rasakan adalah benar sebuah rasa yang nyata. Lantas, berhasilkah Jian kali ini? Atau sama seper...
Pulang Selalu Punya Cerita
1204      767     1     
Inspirational
Pulang Selalu Punya Cerita adalah kumpulan kisah tentang manusia-manusia yang mencoba kembalibukan hanya ke tempat, tapi ke rasa. Buku ini membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, menghadirkan kembali aroma rumah yang pernah hilang, tawa yang sempat pecah lalu mengendap menjadi sepi, serta luka-luka kecil yang masih berdetak diam-diam di dada. Setiap bab dalam buku ini menyajikan fragme...
When Magenta Write Their Destiny
6249      1691     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
Cinta Pertama Bikin Dilema
5227      1434     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
HURT ANGEL
174      135     0     
True Story
Hanya kisah kecil tentang sebuah pengorbanan dan pengkhianatan, bagaimana sakitnya mempertahankan di tengah gonjang-ganjing perpisahan. Bukan sebuah kisah tentang devinisi cinta itu selalu indah. Melainkan tentang mempertahankan sebuah perjalanan rumah tangga yang dihiasi rahasia.
Ibu
542      326     5     
Inspirational
Aku tau ibu menyayangiku, tapi aku yakin Ayahku jauh lebih menyayangiku. tapi, sejak Ayah meninggal, aku merasa dia tak lagi menyayangiku. dia selalu memarahiku. Ya bukan memarahi sih, lebih tepatnya 'terlalu sering menasihati' sampai2 ingin tuli saja rasanya. yaa walaupun tidak menyakiti secara fisik, tapi tetap saja itu membuatku jengkel padanya. Dan perlahan mendatangkan kebencian dalam dirik...
Merayakan Apa Adanya
485      349     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Love Arrow
455      303     2     
Short Story
Kanya pikir dia menemukan sahabat, tapi ternyata Zuan adalah dia yang berusaha mendekat karena terpanah hatinya oleh Kanya.
Denganmu Berbeda
11204      2866     1     
Romance
Harapan Varen saat ini dan selamanya adalah mendapatkan Lana—gadis dingin berperingai unik nan amat spesial baginya. Hanya saja, mendapatkan Lana tak semudah mengatakan cinta; terlebih gadis itu memiliki ‘pendamping setia’ yang tak lain tak bukan merupakan Candra. Namun meski harus menciptakan tiga ratus ribu candi, ataupun membuat perahu dan sepuluh telaga dengan jaminan akan mendapat hati...