“Ngalamun teruss!”
Lana menaikkan pandangan. Memandang Edo yang menggenggam dua mug penuh akan cokelat panas—menghampirinya.
“Kaak, gue lagi nggak mood!”
“Ck, iyaa! Makannya ini gue bawain cokelat biar mood lo naik drastis!” seru Edo balik. Menyodorkan salah satu mug dari tangan kanannya kepada adik tercinta.
Menggerakkan dua bola matanya, Lana mengerling—memandang Edo juga dua mug yang mengepulkan asap semu. Lantas, tidak dengan berlama-lama, tangannya merebut mug yang terulur itu. Tersenyum lugu.
“Makasih!”
Lana acap menyesapnya perlahan. Sedang Edo hanya menaikkan kedua alisnya sebagai jawaban. Mahasiswa tampan itu terlena untuk meniup minuman hangat yang ingin cepat-cepat ia rasakan.
Tak lagi tahan, Lana menyuarakan unek-uneknya.
“Kak ... kalau lo suka sama orang, trus sahabat baru lo suka sama orang yang sama ... eh, orang yang lo suka malah nembak lo. Lo terima, nggak? Enggak, ‘kan? Lo lebih prioritaskan persahabatan lo, 'kan?” cerocos Lana—yang sedang berusaha meyakinkan diri sendiri; bahwa pilihannya telak pun eksak.
“Lo ngomong apa, sih?” ketus Edo setengah menyentak.
“Ck, masak nggak paham?”
“Oke, oke. Gue minta inti sari-nya!”
Gadis itu menghela napas dalam-dalam. Bersiap untuk mengulang pertanyaan yang selalu ingin ia lontarkan.
“Intinyaa ... lo sama sahabat lo suka sama orang yang sama. Dan, orang yang lo suka, suka lo balik,” ulang Lana enggan.
Sedang Edo manggut-manggut. Atensinya masih pada mug besarnya.
“Terus lo milih siapa? Pacar atau sahabat lo?” tanyanya. Netra Lana berbinar-binar. Pun ia sampai menggeser pantat guna mendekati serta menanti sahutan kakanda terkasih.
“Gue sih ... pacar, hehe. Karna selama ini gue baru jatuh cinta sekali.” Edo mengangguk-angguk bangga. “Eh, tapi ....”
“APA?!” serobot Lana yang tadinya sempat kecewa.
“Kalau buat lo yang cantik dan banyak penggemar ... kenapa nggak milih sahabat aja?”
“Kan sok tahu! Itu bukan soal gue,” gerutunya.
“Ciee yang sekarang suka bohong,” goda Edo, mencolek hidung Lana sesaat.
“Gue siram lo pake ini!”
Lana bersiaga untuk mengangkat mugnya tinggi-tinggi. Sedang insan yang tengah diancam malah terkekeh. Abai dan kembali menyesap coklat panasnya.
Namun, belum juga lima detik tak bersuara—Edo kembali membuka mulutnya. Menanyakan hal yang terlampau sensitif bagi Lana. “Tadi itu pacar lo? Ganteng, kok! Bener, deh! Tapi rada cerewet, ya?”
“B-BUKAN!” Lengan Lana bergetar. Namun ia memaksa alat gerak itu untuk menghantar mugnya pada bibir yang turut bergetar tidak tenang.
“Dih, kenapa? Rugi, Lan, kalau lo nolak dia!”
“Nol—ck, apaan, sih? Jangan sok tahu!” tekan Lana yang kini membuang muka.
“Gue mau tahu!” desak Edo tajam.
“Mau tahu apaan?”
“Cepetan kasih tahu!”
“Kasih tah—”
“Gue mau tahu apa yang terjadi tadi, jadi cepet ceritain—”
“I-iya ini gue cerita!”
Lana menyerah, kembali dibuat menghela napas. Rasa penasaran manusia, terutama lelaki nan serupa sang ibunda itu kerap kali merepotkannya.
“Nggak. Pergi!” usir Lana keseribu kali. Varen terus mempertanyakan hal yang menyinggung hubungan keduanya, beragam, tetapi Varen tak kunjung berhenti.
“Varen ... pergi ya?” pinta Lana dengan harapan Varen lekas mengiyakannya segera.
“Jelasin dulu.”
“Jelasin apa?”
“Alasan kenapa lo nolak Candra.”
Lana tergemap sekejap, “Kok lo ta—oh, iya ... mading.”
Gadis itu menghela napas. Merasa lemas seketika kala mengingatnya.
“Apa alasan lo nolak dia itu gue?”
“Ngarep.”
“So? Ada cinta segitiga, nih?” Lana melirik sengit, tetapi tak berkata-kata dan kembali memalingkan muka. “Jangan, jangan ....”
Gapsss
“Dienka?!”
Varen yang menerka pun sama terkejutnya seperti Lana. Namun wanodya itu kembali membuang muka.
“Sok tahu.”
“Nggak. Gue nggak pernah salah mengenai ini. Gue bener, ‘kan?!”
Lana tak menyahut atau menyangkalnya kedua kali, yang membuktikan bahwa kesimpulan sang lelaki telak tak terelakkan.
“And ... alasan lo masih hindarin gue?” tanya Varen lagi, mencoba memastikan. “Jangan bilang Irena?! Gila, sih, ternyata kalau gue bener.”
“Ren, tolong—lo pulang, ya?”
“Jawab gue dulu, Lan!” Lana hanya menghela napas. Enggan untuk menjawab dalam bentuk apa pun. “Tolong, Lan, biarin gue perjuangin lo! Biarin gue berusaha dapetin lo!" Seketika seruan itu memecah lamunan Lana. “Ketika lo nggak bisa dapetin Candra ... lo bisa dapetin gue!”
Varen menggeleng-geleng; memberi jeda untuk seruannya yang penuh makna.
“Gue emang nggak sebaik Candra. Gue nggak seambis dia. Gue nggak berani janji, tapi gue akan coba jadi sandaran ternyaman untuk lo!” Lana masih membisu. Sedikit merenungkan ujarannya dalam-dalam. “Daripada lo kehilangan Candra sekaligus gue? Lo yakin nggak akan nyesel? Lo yakin masih bertahan nantinya?”
Lana kehabisan kata-kata.
“Karena nanti kalau gue sungguh-sungguh pergi ... nggak akan ada toleransi untuk kembali.”
Tanpa menimbang-nimbang lebih dahulu, Lana lekas menyuarakan isi hatinya.
“Ini emang keharusan gue untuk melepas Candra. Dienka yang terbaik untuknya! Dan Irena—walau kadang dia egois, semaunya, semena-mena; tapi apa pun keputusannya, dia benar. " Embusan napas keluar dari hidung mungil itu. “Iya, gue tahu; kadang caranya salah dan sesat. Tapi itu karena dia butuh lo! Dia butuh sokongan lo untuk membuka cara pandangnya, menyadarkan dan memendam egonya!"
"Terus maksud lo?"
“Gue yakin, kok, Tuhan akan kirim seseorang untuk gue. Jadi lo nggak perlu khawatir,” desis Lana sebagai akhir dari semua kata-katanya.
Varen menghela napas kasar—jelas gusar.
“Lo masih nggak ngerti, Lan! Orang yang dikirim Tuhan buat lo itu ....” Varen mendengkus singkat, “gue!”
Melangkah mundur, Varen memutuskan untuk meninggalkan kediaman Lana. Tanpa menyadari bila sekali dalam seumur hidupnya ia berhasil; berhasil membuat keputusan seorang Lana—gadis dengan hati segigih batu—tergoyahkan begitu saja.
'Can i call you baby? Can you be my friend?' Enggan, Varen menoleh pada ponselnya yang terus bergetar di atas nakas.
Memutuskan apatis, ia mengendikan bahunya. Berpikir bila mungkin dering gawai itu bersumber dari para fans atau Septhian—maka ia lebih memilih untuk mengunyah kembali keripik ubi ungunya.
'Can you be my lover up until the very end?'
Kali ini ponselnya bergetar hebat. Jelas mengusiknya kesenangannya.
Deg
Netra Varen mendelik dan ia terperanjat dengan hebohnya.
BODOH! Dia baru menyadari kalau-kalau suara nada dering barusan adalah notifikasi khusus untuk pesan masuk dari Lana! Seperti majenun, ia pun bangkit berdiri. Lekas menggapai benda pipih itu, dan—
Ia benar. Selalu benar.
| Calon Uwaif<3 :
Maaf, tadi gw keterlaluan. Gue minta jangan salahin keadaan, karena gw pun ga mau khianatin Irena walau dia bukan sahabat gw lagi
Mulai sekarang gw coba untuk terima lo
Jadi ...
Goodluck, ya?
Gw mohon jangan nyerah karena gue pun akan terus mencoba :)
“EH?! Udah di-read, kak! Gimana ini?!” panik Lana. Menggigit ibu jarinya kalang kabut.
Tanpa mengalihkan netra pada gawai Lana, Edo berujar spontan. “Santai!”
“Ih, tapi itu isi chat-nya bukan gue bangettt!” protes Lana tak terima.
“Biarin, sih! Daripada dia ngilang?” Lana hanya mengembuskan napas. “Jomblo lo seumur hidup!” rutuk Edo kemudian.
“Enak aja! Gue yakin di luar sana ada juga yang mau sama guee!” sungut Lana yang sesungguhnya masih khawatir akan apa yang terjadi selanjutnya.
“Iyain!” Edo merotasikan bola netra. “Udah, serahin aja sama gue—” Lana menarik napas untuk menentangnya. “—kalau lo protes, lo durhaka!”
Lana mencebik. Mencibiri Edo yang kian hari kian menyebalkan.
Tadi, semangat Edo menggebu-gebu semenjak tahu jika Varen adalah sosok yang sangat piawai dalam olahraga basket. Lelaki bergaya rambut kuno itu berkeras hati untuk menjadikan Varen sebagai adik iparnya. Katanya lagi, Varen sudah benar-benar sempurna. Cocok jadi teman hidup Lana selamanya.
“NANI?”
Varen terperanjat bahagia tatkala membaca keseluruhan pesan itu. Tahu-tahu terharu. Hanya mengikuti senandika, jemari Varen segera menari di atas layar ponselnya. Mengetikkan sesuatu yang akan dikirimkannya pada Lana.
“Ih?! Gimana coba Bang, Mas, Kak?! Gak dijawab iniii Jangan-jangan dia ilfeel lagi?! Kalau dia ngira gue cuma bener-bener gengsi, gimana? Kalau dia ngira gue gampangan, gimana?!” pekik Lana terlampau cemas.
“Hiih, kata lo: dia suka sama lo, terus-terusan usik lo, perjuangin lo! Ini cuma chat, astagaaa! Gue yakin dia nggak akan berpaling dari lo!”
“T-tapi—“
“Lo udah suka, ‘kan, sama dia?”
“Belum, sumpah—demi jaket lo yang kredit tiga bulan!”
“Nggak yakin gue.” Edo menyeringai, melantarkan Lana kian keki.
“LO RESE BANGE—”
Kling kling
Serempak, mata Edo pun Lana terarah ke ponsel keluaran lama itu. Benda pipih yang tadinya Edo genggam, segera dirampasnya dalam sekejap mata. Sebentar kemudian, cepat-cepat dibukanya chat room itu dengan perasaan campur baur.
GIMANA KALAU KEADAANNYA BERBALIK?
| Manusia Abnormal, SG:
Gue emang ga akan nyerah
Kewajiban lo cuma jangan pergi dari gue.
“B-BANG, INI GIMANAA?!” seru Lana dengan mata berkaca-kaca.
“Ya nggak gimana, gimana! Siniin HP lo!”
Tak mengindahkan perintah kakaknya, dua ibu jari itu kunjung mengetikkan beberapa kata. Membalas pesan Varen tanpa berpikir berantara. Ia hanya ingin meluapkan amarahnya.
| Calon Uwaif <3:
Lo siapa suruh-suruh gw?!
Suka-suka gue mau pergi atau kayang!
Lo ga ada hak!
Jelas terperangah, Edo buru-buru merebut ponsel itu dari si empunya.
“Lo kenapa, sih?! Lembut dikit, kek, astagaaa ... kan jadi aneh keadaannya!” celetuknya. Masih syok dengan perubahan sikap Lana. Padahal tadinya, adinda jelita itu lemah lembut serta tak pernah berkoar-koar silap mata.
“Ada yang buat lo stres, ya?”
“IYA! Varen yang buat gue gila!” geram Lana seraya menuding-nuding ponselnya.
Menggeleng prihatin, Edo bersilih memandang ponsel di tangannya. Menyadari nama kontak Varen yang mencurigakan, cepat-cepat Edo menyuarakan keheranannya. “Eh SG apaan, dek? Susu Gondrong?”
“SG? Gimana bisa Susu Gondrong, sih?”
“Hish, tinggal jawab, juga!” desaknya berapi-api.
Mendengkus, Lana merotasikan netra dengan dramatis.
“Sok Ganteng! Kek lo, Mas,” maki Lana.
“EH, EH?! Kak! Oke? K-a-k-a-k. Kakak. Kak!” tekan Edo sampai bibirnya berbusa. “Tapi wajar dong! Dia kan beneran ganteng! Yang ada yang jelek itu lo!” ledek Edo kemudian.
Tanpa kata-kata, Lana yang mendelik itu mengulurkan lengannya. Hendak merenggut surai kecokelatan milik Edo; tetapi lagi-lagi—
Kling kling
Perkelahian keduanya terhenti oleh suara ponsel mungil pada genggaman sang kakanda.
| Manusia Abnormal, SG:
Eh?
Dibajak, ya?:(
“Tuh, kan!? Lo nggak punya perasaan, ya?”
Lana hanya mencibir ketus.
“Rasanya di PHP-in sakit lho, Lan. Lebih sakit daripada telen mangga mentah yang utuh!” papar Edo. Benar-benar merasa iba dengan Varen yang telah dijebak oleh Sang Semesta pada sang adinda.
“Nggak,” balas Lana dingin.
Suasana hatinya kini laksana roller coaster—naik-turun-naik-turun secara terjal dan radikal. Mungkinkah Lana kini mengidap bipolar?
Geregetan, Edo mencubit dan menarik pipi sang adik yang masih merayan. Kalakian, tak perlu menanti apa pun lagi, jari-jarinya kembali mengetikkan suatu pesan.
| Manusia Abnormal, SG:
Uhm... maaf Ren
Gw butuh proses.
Tunggu gw terbiasa, yah?
“HEEEH! ‘Ya’nya harus banget pake ‘h’?!” sungut Lana.
Tangannya yang terulur itu gatal untuk terus menyambar objek yang kini jadi teramat berharga.
“Shush! Bobok aja sana!” titah Edo seraya melambaikan lengannya ke udara—mengusir Lana.
“Ogah. Balikin dulu HP gue!”
“Udah yaaa, Callia Lana Galateaa!” Edo terus menghindari sambaran sang adinda; bahkan ia sampai menyembunyikan ponsel itu di balik tubuhnya. “Kakak janji kembaliin HP lo dalam keadaan full batre dan kuota, deh! Kalau ingkar, lo boleh tampol gua! Deal?”
Lana mengembuskan napas samar. Kecewa pada diri sendiri lantaran kerap gagal untuk menolak adanya tambahan kuota data. Lumayan, hey! Dia bisa streaming Oppa Nassar tanpa galat jaringan!
“Oke,” cicitnya. “Tapi awas lo chat macem-macem! Gue bakal mutilasi lo sampai jadi kepingan molekul! Gue nggak akan peduli kalau lo berstatus jomblo ngenes yang belum kelarin skripsi!” tekan Lana sadis—menuding sang kakanda.
“I-i-iya, deh! Ya udah sana, hush!”
Edo menelan salivanya. Dibuat takut oleh ancaman seorang Lana.
“Dua puluh Gigabyte!” Edo mendelik, hendak menolaknya secepat kilat—tetapi Lana lebih dulu memotongnya, “Gue maksa!” tekannya lalu beranjak pergi dengan mug tandas di lengan kanannya.