“Pagiii!”
Lana terkesiap. Ganti memekik kala menemukan Varen telah berdiri di hadapannya tegap-tegap.
“Malem!” ketus Lana.
Gadis itu mulai mengeluarkan benda-bendanya ke atas meja. Menyiapkan diri untuk ulangan Fisika yang terakhir berhubung beberapa hari lagi PTS akan terlaksana.
“Belajar?”
“Nggak, kayang!” ketus Lana.
Tercipta gelombang panjang pada keningnya—tanda keheranan atas sikap kasar Lana terhadapnya. Namun tak mau repot memusingkannya, Varen hanya mengendikan pundak atletiknya; kembali mengusik Lana.
“Lan, lo udah sembuh, ‘kan?”
“Kalau gue sakit gue ngapain di sinii Varen?” ketus Lana. Sepertinya, hasrat untuk menendang Varen sampai mengirap ke langit semakin menjadi di benaknya. Di benak Lana.
“Syukurlah, gue jadi nggak usah repot bawa lo ke UKS.”
Lana mengejapkan netranya dalam-dalam. Menahan tercetusnya sebuah umpatan. “Gue nggak pernah minta!” serunya mulai kewalahan.
Bukannya berhenti mengusik atau kembali pada bangkunya; Varen malah mengikis jaraknya pada bangku Lana. Mencondongkan tubuhnya secara tiba-tiba, dan dengan lancang memandang Lana sedalam-dalamnya. Durasinya lama—lumayan lama sampai tetesan peluh pertama jatuh pada pipi Lana yang merona.
“Oke gue percaya. Wajah lo udah gak pucet lagi.”
Setelah sang lelaki mengembangkan satu kerising; spontan saja Lana mengatur napasnya—reaksi yang dirasa teramat asing. Jelas lepas itu ia memalingkan iras yang entah mengapa terasa panas.
“J-jangan tatap gue lagi!”
Varen terkekeh, menegakkan punggungnya. Terdapat jeda lumayan lama sampai pemuda itu kembali menyeletuk, “Lo suka apa, sih, Lan?”
“Makan kembang melati!”
“Emang enak?”
Lana menepuk keningnya frustrasi. Berupaya meredam emosi. Varen ini sebenarnya pura-pura bodoh atau memang bodoh, sih?!
“Enaak, Ren! Juicy!” sarkas Lana. Masih memalingkan muka dan kini membuka buku cetaknya. Berupaya fokus untuk mempelajarinya. Namun, yeah, hasilnya tetap sama; lelaki itu mengusik konsentrasi yang tengah ia cipta.
“Beneran? Ya udah kapan-kapan gue nyoba. Sapa tahu gue ikut suka.”
“Terserah.”
“Eh bentar, deh, Lan!”
Serta merta Varen menutup buku cetak yang tengah Lana baca. Yang lagi menciptakan desah lelah dari bibirnya; sementara netra yang mendelik itu membayangi gerakan Varen yang tergopoh-gopoh—kembali ke bangkunya dengan tergesa.
“Mama gue bawa crepes buat lo. Gue tahu lo suka rasa vanila!”
“Tante Vena?” tanya Lana.
Manggut-manggut, Varen mengulurkan sekotak makan pada Lana yang menoleh sesaat. Sedikit tergiur berhubung ia sangat jarang menikmati makanan yang berasal dari Bertagne, Prancis tersebut. Apalagi ini masakan Vena yang tak perlu diragukan lagi rasanya!
“Ambill!”
Penuh kepastian, Varen mendorong kotak makan dari pada tangannya yang berwarna ungu. Amat kontras pada Lana yang meraihnya dengan lengan bergetar lantaran ragu.
“G-gue kan sukanya mie ayam!” desisnya, berusaha tetap dingin pun apatis.
“Sekali-kali makan yang lain nggak bikin perut lo sakit!”
Lana berlagak mendengkus, meletakkan kotak tadi di atas mejanya. Merapikan anak rambutnya sebagai pengalih. Ia semakin berdebar-debar kala Varen tak mengalihkan atensi dari dirinya. “I-iya, nanti gue makan!”
“Sip!”
Sekali lagi Varen mengerising sebelum terduduk pada bangkunya. Melakukan hal yang serupa sebagaimana Lana guna mempelajari ulang materi Fisika. Lelaki itu kentara bahagia dan teramat ceria.
“Ren!” Otomatis, seruan itu membuat Varen berpaling pada Lana. “Makasih,” desis sang gadis setelahnya.
Varen mengedipkan satu netranya, yang Lana balas dengan satu senyuman langka. Interaksi keduanya merupakan pasal dari Candra yang tak kunjung memalingkan muka. Tampak jelas ia tak menyukainya. Namun, bagaimanapun ia tak bisa memisahkan mereka seenaknya. Ia sadar, ia tak punya hak apa pun untuk melakukannya.
Yang bisa dilakukannya—Candra—hanya mengembangkan seringai kecut. Fakta di mana Lana menghindarinya membuatnya merasa konyol seketika. Dan lagi, ia kembali menyalahkan dirinya—atas ketidakpekaannya.
🌻
“SEMUANYAA!”
Seisi kantin meliriknya, menatap Varen—yang merupakan asal suara—lekat-lekat. Septhian yang terduduk di sandingnya tentu mendelik, kebingungan dan kehabisan kata-kata.
“KARNA HARI INI GUE LAGI SENENG, GUE TRAKTIR KALIAN! SEMUA YANG ADA DI SINI!”
Mendengar itu, anak-anak langsung berhamburan mengelilingi kantin. Membeli sebanyak yang mereka bisa, memesan sepuas mereka, mencomot apa pun yang ada di depan mata. Tak terdapat seorang pun yang berdiam diri, bahkan introvert sekalipun.
Di sisi lain, Ibu Kantin antusias—seluruh dagangannya pasti akan gentas tuntas. Namun di sisi lain lagi, sebab gilanya perilaku anak-anak, bisa-bisa kantinnya hancur lebur mengingat mereka yang saling dorong tanpa ampun!
Bertolak belakang dengan ekspresi cemas Ibu Kantin, para murid tampak sangat menikmati traktiran Varen meski harus dorong-dorongan terlebih dahulu. Ingat, rezeki tuh jangan ditolak selama masih dalam hukum Tuhan!
“Ushhh ... bar-bar juga mereka,” cibir Varen seraya tertawa.
“Lo ngapain bikin acara traktir-traktir segala, sih?! Lo bawa uang?” desis Septhian belingsatan.
“Suka-suka gue!” sewotnya. “Gue lagi berbunga-bunga, jadi biarlah gue menikmatinya,” imbuh Varen; kembali tergelak renyah.
“Stres!”
Pemuda penggila literasi itu melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda. Menatap lurus ke muka. Bertenggang abai oleh suasana kantin yang makin ramai.
Ketika hendak mengunyah sesendok bakso lainnya, Septhian dibuat nanap saat sosok yang tak lagi asing baginya memasuki kantin. Ia ingin menghampirinya, mengirim salam sapa kala tatap muka—tetapi yang ada, sosok itu malah terpental seketika; yang jelas lantaran ulah para siswa yang masih berlomba-lomba.
Tanpa berlama-lama, Septhian acap beranjak dari mejanya. Menghampiri gadis itu yang tengah mengumpat sembari membelai sikunya.
“Gue harap lo nggak apa-apa,” lirih Septhian seraya mengulurkan tangannya. Tepat di hadapan sang dara.
Dara ber-scarft biru laut itu menengadahkan kepalanya. Memandang Septhian yang membuat kedua pipinya merah merona. Cepat-cepat Oyu mengangkat kedua lengannya, yang segera Septhian sambar di detik yang sama. Kemudian, dalam satu tarikan saja, Oyu berhasil berdiri tegap beberapa senti di hadapan sang pemuda. Tubuhnya mematung sempurna.
“G-gue—“
“Iya, sama-sama.”
“H-hey, just let me say ‘thanks’ before you leave!” pekik Oyu; terlebih tatkala lelaki tadi sukses berlalu. Ia masih tak paham akan maksud Septhian untuk menghampirinya, lantas pergi dalam sekali kedipan mata.
“Dua juta.”
“Oke!”
Varen mengeluarkan dompet dari sakunya; mulai menyambar beberapa lembar uang dan menghitungnya perlahan.
“E-eh? Nggak mau nawar?” beo wanita itu. Netranya melirik kalkulator digitalnya yang menunjukkan sederet angka, jumlahnya yang tertera genap satu juta setengah saja.
“Nggak perlu, dong, Bu! Emang ini pasar?” kekeh Varen; bertepatan dengan tersodornya dua puluh lembaran berwarna merah terang.
“E-eh? Sejuta sembilan ratus aja!”
“Ck, nggak apa-apa, Bu!” tolaknya cepat.
“Sejuta lapan ratus!?”
“Kan habisnya dua jutaa!”
“Sejuta tujuh ratus mapuluh, deh!”
“Nggak apa-apa, Buuu!”
Varen bersikeras untuk menolak; dan memaksa Bu Kantin untuk menerima uang yang ia anjurkan. Iras Bu Kantin semakin tidak enak, “Y-y-yaudah sejuta lima ratus aja!”
“Oke! Deal.”
🌻
Dienka menggigiti pangkal bibirnya, mencalang sang penambat hati dari balik pilar.
Hufftt
Gadis itu kembali mengembuskan napas kasar-kasar, membakar semangat diri untuk memantapkan langkah. Mulai mendekati lapangan basket yang lengang dan kian menggelap. Sekadar suara decitan sepatu karet dan permukaan lapangan-lah yang menggauli atmosfer kelam nan menyelubungi.
“C-can!”
Candra menoleh. Jelas tertegun saat mendapati Dienka di sana. Berdiri menghadap tepat padanya. Pemuda itu tahu, ia tahu betul jarak yang tercipta di antara mereka lebih dari enam meter—hanya saja entah mengapa lelaki itu tak lagi bisa menggerakkan raga.
Gerakan gesit dari lengan Candra pun jelas terhenti. Menyebabkan bola yang terlepas dari cekalannya memantul-mantul sembarang arah; menggelinding menjauh, kian menjauh hingga akhirnya menghilang entah ke mana.
Tersenyum, Dienka memberanikan diri untuk melangkah lebih antara. Menyadarkan lamunan Candra segera.
“Dienka, gue—”
“JANGAN!” Dienka menggeleng secepat kilat. “Gue mohon banget sama lo untuk lupain kejadian semalem. Lupain, ya? Gue nggak bisa jauh-jauh dari lo. Nggak untuk sekarang.”
Candra hanya bergeming, sama halnya dengan Dienka yang butuh ketegasan darinya—dari Candra. Mendapati sang lelaki mengangguk—yang artinya menyetujui—Dienka melanjutkan langkah yang sempat terjeda. Menghentikan langkahnya di muka sang pemuda.
“Gue minta maaf.”
Dienka menengadah. Menentang durja Candra yang penuh akan peluh. “Gue minta maaf,” ulang Candra, kali ini dengan suara yang jauh lebih lirih.
Meski menyunggingkan senyuman getir, Dienka segera menyengguk. Gadis itu bertanya, “Lo mau latihan sampe jam berapa? Gue bakal tunggu.”
“Udah. Gue selesai sekarang aja.”
Gadis itu mengangguk penuh semangat, bersilih mengekori Candra yang kini menggaet tas punggungnya. Dugaannya betul, sepenuhnya betul karena: apa pun kondisi, dan apa pun yang terjadi—pada relung hatinya hanya terisi oleh eksistensi sang lelaki. Itu pasti.
“Lo mau ke mana?” tanya Candra, menoleh sebentar pada Dienka.
“Maksudnya?”
“Lo ada tempat yang lagi mau dituju?”
Kendati masih sangsi, Dienka tetap memikirkan reaksi. Berbeda dengan Candra yang memandangnya penuh ekspresi. “M-mungkin Cafe Amos, rivalnya kak Sabi. Kata anak-anak, di sana es krimnya enak ... c-cuma yang boleh masuk pasangan aja.” Dienka menggaruk pucuk kepalanya. “D-dari dulu gue pengen ke sana, tapi selalu nggak bisa.”
“Serius?”
“E—iya serius ....”
Dienka menelan salivanya. Semakin kehilangan akal harus berbuat apa ketika mendapat tatapan teduh dari sang pemuda.
“Ya udah ayo ke sana. Gue lagi pengen keluar sama lo.”
Kalakian bukannya kehabisan kata, justru terdapat banyak pertanyaan pada tendas briliannya.
“L-lo ngajak gue date?” tanya Dienka frontal.
Bukannya jawaban yang terdapat, Candra justru tertawa singkat. Impulsif saja alis Dienka bertaut temu; Candra membuatnya termangu-mangu.
“Lo boleh anggap gitu.”
🌻
Oyu tersenyum penuh arti, menenteng tasnya dengan suka hati; jauh berbeda dengan hari-hari biasa yang selalu dihabiskannya untuk menggerutu dan bertura-tura. Ia merentangkan dua lengannya. Ingin merasakan angin-angin yang terbentuk kausa laju motor yang terlampau segera.
“Nggak usah senyum gitu! Gue nganter karna terpaksa,” ketus Septhian.
Oyu mengangguk cepat bersama senyuman selebar-lebarnya, laksana orang berat kepala.
“Kenapa lo nggak dijemput?”
“Sopir pertama gue sakit; sopir kedua gue nikah, si sopir ketiga ikut ke pernikahan sopir kedua; trus sopir keempat gue lagi cuti.”
“Oh.”
Respons enggan dari Septhian membuat sang wanodya geregetan. “Ck, iyaa gue tahu lo kecewa karna gue larang lo ke Cafe Sabina! Tapi nggak usah sok dingin begini, bisa?!” seru Oyu serampangan. Mencuri perhatian para insan di pemberhentian lampu merah pada perempatan.
“Siapa juga yang sok dingin?”
“Ya lo kira siapa?! Mentang-mentang kita baru balikkan, gitu?”
“Gue cuma jaga imej!”
Sekonyong-konyong, bibir Oyu menyerupai sebuah corong. Terbengong-bengong. “Oooh, jadi lo coba imej di depan gu—AKHH!”
Di detik yang sama dengan lampu hijau nan menyala, Septhian menarik gasnya membabi buta. Mempercepatnya hingga tubuh Oyu terhuyung ke belakang—nyaris terpelanting. Spontan saja gadis itu mencengkeram erat perut kekasihnya; bertahan dari kuatnya embusan arus udara. Lalai sedetik saja, bisa-bisa tubuhnya terkapar di atas aspal—dan entah bagaimana kelanjutannya.
“IYAN GUE HAMPIR JATUH!” berangnya. Menguatkan cekaman, waspada jika Septhian akan melakukan hal yang sama.
“Bawel,” maki Septhian; tetapi seraya mengembangkan senyuman.