“Sama lo!” sambung Lana dengan suara yang bergetar.
Sukses terbungkam, Candra lekas berpusing pada Lana. Menatap sang gadis yang tersenyum hampa. “Tapi ada yang jauhh lebih suka dan sayang sama lo,” ucap Lana lagi. “Dan gue nggak bisa mutusin buat nerima lo begitu aja. Gue akan egois kalau gue milih lo.”
Candra membuka lebar kedua netra, menatap Lana penuh tanda tanya.
“Mungkin ... sebenernya udah lama gue suka sama lo. Tapi gue baru sadari itu akhir-akhir ini,” akunya. “Tapi di lain sisi, gue nggak pernah lihat orang yang sesuka itu sama lo. Setulus itu!” tekan Lana pada setiap kata-katanya.
Candra memperdalam kerutan pada keningnya. Masih mematung di tempatnya.
“Suatu hari lo akan tahu siapa orangnya. Gue nggak berhak kasih tahu ke lo.”
Candra menunduk sejenak, memikirkan siapa yang sekiranya Lana maksud. Namun, tak ada satu pun gambaran di otaknya mengenai sosok yang Lana bicarakan.
“Yang pasti ... jangan terlalu berharap dengan satu hal, lalu hal lain yang jauh lebih penting dan bisa hilang; kamu abaikan.”
Lana tersenyum semanis mungkin tatkala mendapati ekspresi Candra. Lelaki itu kentara nanap dan masih bertanya-tanya, tetapi penaka segan untuk melontarkannya. Candra tak menyadari netra Lana yang merelap lara.
“Gue pulang dulu, ya? Makasih buat latihannya.”
Kalakian Lana menyandang tas serta jaketnya. Mendahului Candra yang berusaha memahami segenap ucapannya.
🌻
“Oy!” sapa Edo—kakak kandung Lana—yang tengah berdiam diri pada kursi teras, memangku gitar akustiknya.
Kangmasnya tersebut memang jarang pulang sebab memutuskan untuk mengekos seorang diri. Alasannya klise, supaya lebih dekat dengan kampusnya. Padahal kalau dipikir lebih lanjut, kampusnya tidak sejauh itu. Setelah ditanya kedua kali, dia justru menjawab sengaja untuk menghindari Lana. Sungguh sosok kakak yang bijaksana.
“Oy!? Habis dari Dokter THT, ya? Kok malah tambah pekak?” Lana menoleh enggan. Melambaikan tangan sekejap. “Lemes amat kek habis dari sekolah!” cibir Edo. Menaruh gitarnya tadi ke sembarang tempat.
“Lah, emang iya! Lo kira gue habis dari mana? Panti Asuhan?” kesal Lana. Buru-buru meninggalkan kakaknya tanpa berlama-lama.
“Cih ... cewek kok sewotnya kebangetan! Gak laku, tahu rasa lo!” oloknya. Namun Lana tak menghiraukannya.
Meski sesungguhnya ia telah merindukan pemuda yang tingkahnya sebelas dua belas dengan Varen, suasana hatinya sedang tidak baik. Daripada membentak atau melampiaskan kegusarannya pada Edo, lebih baik ia cepat-cepat membersihkan diri dan mengisi lambung.
“Lo kenapa, sih? Nggak mau meluk gue, gitu?” seru Edo dari ambang kamar adik satu-satunya—yang tak lain dan tentu seorang Lana.
“Badmood. Emang mau gue melampiaskan semuanya ke lo? Sekarang kalau kesel, gue suka nelen orang,” desis Lana dari meja belajarnya.
“Tentang cowok, ya? Hayooo!” goda Edo dengan suara menyebalkan khas dirinya.
“Mass!” pekik Lana lantang.
Sebab biasanya, bila disebut dengan panggilan seperti itu, Edo akan pergi tanpa dipinta. Lelaki itu antipati untuk sebutan ‘Mas’ ataupun ‘Kangmas’—antara itu.
“Okee gue pergii, nih!” gerutu Edo. Bermaksud melangkah pergi. “Eh, walau gue tampan dan terlihat tidak bisa bersosialisasi, gue bisa jadi pendengar yang baik! Nggak bagus pendem semuanya sendiri. Sakit,” ingat Edo sebelum sepenuhnya pergi.
Tercenung oleh celetukan kakanda, Lana mendengkus. Memutuskan berdiri dan melompat ke ranjangnya. Melanjutkan lamunannya di sana.
Apa kehidupan remaja memang serumit ini? Karena saat ia mulai nyaman dengan Candra; sahabat baru yang selalu ada untuknya—Dienka—telah menyukai lelaki yang sama. Bahkan mungkin dari perkiraannya, gadis itu sudah jauh-jauh hari menyukai Candra.
Tidak mungkin, bukan, dia akan egois dan membuang Dienka begitu saja?
Huhhh
Baru saja ingin mengejapkan mata untuk tidur lebih awal, ponselnya berbunyi nyaring. Membuatnya terpaksa untuk mengangkat ponsel di atas wajahnya. Memeriksa notifikasi yang baru tiba. Dienka.
| Dienkong:
Lan?
Udah tidur?
| Lana:
Belum
Kenapa?
| Dienkong:
Kalau gitu keluar, ya?
Gue kedinginan ini
Tersentak, Lana lekas bangun dari posisinya—dalam sekali sentakan saja. Buru-buru ia menyibakkan gorden yang menutupi jendela kamarnya. Gadis itu dibuat tergemap lagi kala mendapati sesosok berjaket putih berdiri seorang diri di sana, di bawah jalan tanjakan di sana.
| Lana:
Tunggu gue!
Tunggu gue, oke?
“Mading? Breakbreak News ada lagi?—eh makasih, Bun.” Fokus Lana terpecah saat mendapati Ibunda tiba dengan dua gelas teh dan penganan dalam satu piring. Saking terkejutnya ia, ia sampai lupa menyambut Dienka—tamunya.
“Halo, Tante! Maaf udah ngerepotin, ya, Tan. Dienka juga dateng malem-malem gini.”
“Ish, nggak perlu sungkan gitu. Masih jam delapan juga, kok. Habisin, ya? Tante mau masuk dulu.”
Dienka mengangguk, sedang Lana sudah fokus pada topik utama mereka.
“Gimana, Ka?”
“Ini Truly News.” Dienka menjelaskan, “Lo tahu sendiri, ‘kan, semenjak ada masalah sama kak Tania gimana nasib Iris sekarang?”
Lana bungkam sejenak, menyengguk kemudian. “Gue tahu.”
Keheningan menyapa. Lana terlena oleh lamunannya, sedang Dienka menunggu gadis itu kembali terjaga.
“Euhm ... apa isi dari mading, Ka? Gue lagi?”
Dienka mengangguk. “Tapi gue yakin kali ini bukan hoax,” ujarnya. Memasang senyuman misterius yang jelas meninggalkan banyak kalimat tanya.
“Apa, Ka? Apa isinya?” desak Lana tak tenang. Netranya sarat akan harapan—berharap tak ada lagi berita kebencian yang tersebar.
Wanodya itu mengernyitkan dahinya dalam-dalam. Fokusnya masih pada Dienka yang tak berkutik ataupun mengeluarkan suara. Berulang kali gadis tomboi itu membuka mulut juga bibir pucatnya, tetapi selalu urung dan meninggalkan pertanyaan lainnya. Pikiran Lana jadi melanglang buana.
“Jujur ....” Dienka menjeda ucapannya cukup lama. “Gue kaget banget lo nolak Candra gitu aja.”
Lana membelalang. Kontan terduduk dalam sekali sentakan. Benar-benar terkejut sampai detak jantungnya terasa amat nyata, terdengar jelas pada rungunya.
“Gue tahu, kok, lo suka sama dia. Dan gue tahu pun bukan dari mading ... tapi dari sesuatu yang lain.”
Bibir Lana bergetar. Bingung harus menimpalinya dengan apa. Namun mengikuti senandika, Lana lekas berujar, “Gue cuma mau bberpikir rasional, yaitu: gue lepasin Candra untuk lo.”
Dienka membeliak. Kentara jelas terkejut sampai sedikit bangkit dari sofa usang itu.
“MAKSUD LO?” Tak ada nada gusar atau apa pun dalam jeritan Dienka barusan—itu murni dari rasa keterkejutan.
Teramat kontras dengan Dienka, Lana masih terduduk kaku pada tempatnya.
“Ini bukan semata-mata mengalah atau melepaskan dia karena logika, ya, Ka. Ini lebih dari itu. Entah kenapa gue rasa gue bukan untuk Candra.”
“MAKSUD LO APA, LAN?”
Lana tersenyum getir. Mengulum bibirnya sebentar; menahan melelehnya tirta pada pelupuk netra. “Dapetin hati Candra, ya, Ka?”
“Jelasin dulu, Lan! Gue—”
“Intinya jangan pergi dari gue, Ka. Gue udah percaya sama lo.”
Netra Dienka masih mendelik sempurna. Tak bisa lagi berkata-kata. Kalbunya memang penuh akan heterogen pertanyaan; hanya, melihat air muka Lana yang muram dan masygul—Dienka jadi tak sampai hati untuk menanyakannya.
“Gu—”
Triiiing
Dienka terperangah. Melirik ponselnya yang bergetar liar.
Gadis itu ingin mengabaikannya, kembali menaruh atensi pada Lana. Namun, melihat gawai yang terus berguncang serta menunjukkan siapa sosok yang meneleponnya—buru-buru Dienka mengangkatnya segera.
“Ken—”
“...”
“Iya, gue tahu—"
“...”
“Apaan, sih, bawel banget?”
“...”
“I-iya, okee!”
“..."
“Iya gue pulang!”
Dienka mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Kembali memandang Lana yang segera saja menyeka air mata. Gadis itu memaksakan satu senyuman, yang jelas Dienka ketahui dusta semata.
“Lana ... gue—“
“Lo pulang aja. Nanti bisa telpon, kok.”
“Tapi ....” Dienka menggantungkan ucapannya. Merengut seketika.
“Nanti gue chat, kok.”
Dienka menyengguk. Meraih secangkir teh di atas meja dan menenggaknya sampai gentas tak tersisa.
“Banyak bersabar, ya? Percaya dia bakal luluh, kok, sekecil apa pun perhatian lo ke dia. Meski sederhana, kelak dia bakal hargai itu.”
Dienka mengangguk. Memandang Lana yang beralih tersenyum misterius. Gadis itu yakin Lana menyembunyikan puluhan luka di relung hatinya, tetapi lagi-lagi ia memalsukannya dengan senyumannya. Alih-alih membaik, bukannya akan jadi lebih sakit?
“Tante—"
“Iya, nanti gue sampein ke Mama. Lo naik apa?”
“G-gue dijemput sama kakak gue.”
“Gue anter ke depan, y—”
“E-eh, nggak perlu! Ng-nggak apa-apa. Gue bisa sendiri.” Dienka menghela napas. Merasa teramat bersalah pada Lana atas segalanya, atas segala luka yang ia cipta untuknya. “Gue duluan, ya, Lan?”
“Iya.”
“Makasih, Lan.”
Dienka tersenyum simpul, menatap Lana lumayan lama. Setelah lengkingan klakson sampai pada rungunya, ia lekas melambaikan lengannya sekilas. Bertolak melalui pintu kayu yang jadi saksi terakhir atas kepergian Dienka. Saksi pada keputusan Lana yang mengikuti tengara. Mengikuti suara hatinya.
🌻
“Pagi duniaa, pagi Lanaaaa!” seru Varen sembari menggeser pintu kelas mereka dengan penuh semangat. Namun tak seperti yang dia duga-duga, ia tak menemukan keberadaan gadis tersebut di dalamnya.
Panik, Varen melirik jam tangannya, menunjukkan pukul 06.32 waktu setempat.
“K-kok Lana ...?”
“Ada yang tahu Lana ke mana? Dia nggak masuk?” pekik Varen khawatir.
Kemarin—Minggu—ia sama sekali belum bertemu dengan Lana, gadis yang dicintainya. Maka dari itu, kerinduannya sangat membuncah sekarang.
“Sakit,” timpal Kaya singkat, padat, dan jelas.
Tersenyum kecut, Varen beralih menatap keseluruhan murid di kelas mereka. “Nggak ada penjelasan lain?” tanya Varen penuh harap.
“Nggak. Emang gue bapaknya dia?” gerutu Kaya ketus.
Yeah—ketua kelas itu memang sejenis dengan Candra. Golongan kepercayaan Candra. Jadi, kala berhadapan dengan Varen dia biasa saja. Tak seperti anak lain yang sebatas berbincang ringan mendadak saja mimisan.
“Namanya juga nanya. Gue bisa tahu dari mana kalau gitu? Nyangkul?” sarkas Varen.
Lantas Varen meninggalkan kelas. Memilih untuk menunggui Lana di ambang gerbang sekolah. Yaa ... barangkali Lana berangkat lebih siang dari biasanya. Padahal penjelasan dari Kaya cukup jelas—Lana sakit—hanya, entah kenapa Varen menolak untuk percaya.
Ikut mendengar percakapan Varen serta Kaya, Candra ikut memalingkan muka pada bangku sang gadis. Keheranan sebab Lana tak mengiriminya pesan barang sedikit semalam, untuk minimal memberi kabar.
Dienka?
Online, tetapi tak membalas pesannya. Bahkan sampai detik ini. Maka dari itulah, kekhawatirannya kian menjadi.
Sakit apa Lana sampai-sampai tidak masuk sekolah? Biasanya saat pusing atau flu yang termasuk lumayan parah pun, Lana memaksakan untuk sekolah. Namun ini?
Benar-benar murni tanpa maklumat.
🌻
“Lanaaa! Callia Lana Galateaak!” teriak Varen sembari mengetuk-ketuk pintu rumah Lana berulang-ulang.
Tak acuh akan respons seluruh keluarga Lana mengenai sikapnya kelak. Toh, bukannya Varen ini tamu? Pintu seharusnya dibuka dan dia disambut dengan hangat, bukan?
“Lan ... Mama buka, ya? Kasihan udah setengah jam dia kayak gitu!” seru Olena belingsatan. Apalagi kala anak bungsunya menggeleng cepat.
Semalam, dia memang demam panas. Sungguh panas hingga mereka kira gejala demam berdarah atau phobia baru. Bibirnya mengering. Kulitnya putih pucat kesi, dingin seperti es. Bahkan melantas menggigil. Dan syukurlah, setelah dirawat Olena dengan penuh cinta, Lana pulih juga meski belum keseluruhannya.
“Biarin aja. Kalau perlu dua jam dia kayak gitu,” decit Lana sadis.
“Kok gitu? Dia ‘kan punya hati, Lan ... ada capeknya juga ketika seorang berjuang dan terus disia-siakan. Giliran dia menyerah nanti, kamu merengek minta dia balik!” ingat Olena, berhasil membuat Lana tertegun sesaat.
“Ck, pokoknya kalau Mama buka pintu, Lana minggat!” ancam Lana tajam.
“Yaaa, Mama sih bodo amat, hehehe ...,” kelakar Olena. Sukses membuat Lana bersungut-sungut.
Olena tertawa kecil. Amat gemar ketika berhasil membuat anaknya sendiri gusar; karena baginya, itu menggemaskan.
“Heii? Lo siapa teriak-teriak di depan rumah gue? Sopankah begitu?” sahut laki-laki lain tepat di muka rumah dengan lengan yang berkacak pinggang. Tatkala sadar siapa sosok yang baru pulang dari kampus itu, spontan saja mata Olena dan Lana mendelik lebar.
Edo!
“Saya, kak? Pacar Lana, hehe,” aku Varen.
Edo menaikkan satu alisnya, memandang Varen lekat-lekat. “Hmm ... ganteng juga,” monolognya, sedikit takjub.
“Owhh, pacarr ... kok nggak dibuka pintunya? Hm ... mencurigakan.”
“Lana lagi marah sama saya, kak. Jadi segan buka pintu,” dalihnya tanpa kegentaran.
“Ooh!” Edo manggut-manggut penuh semangat. “Saya suka, nih! Manggilnya bukan Mas, apalagi Bang.”
Edo menepuk-nepuk pundak Varen, berlagak akrab.
“Ya sudah, karna saya baik ... saya bukain pintunya.”
Durja Varen langsung berseri-seri, ainnya berbinar-binar.
“Eitsss?! Tapi jangan lukain hati Lana, ya. Nanti aku jual kamu ke pasar gelap, hehe,” desis Edo yang boleh dianggap sebuah candaan.
Kalakian, dengan angkuh dan dada dibusungkan—karena merasa jadi pahlawan, kendati kesiangan—Edo membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang dibawanya.
“Kangmas Edo sengklekk!” jerit Lana frustrasi dari balik pintu kamar tamu.