“Itu karna lo calon Ibu yang baik buat rumah tangga kita!”
Lana membelalakkan netra. Tubuhnya mematung sempurna. Satu milisenti lagi ia mencelang, mungkin ain bercorak hitam kecokelatan itu akan keluar dari tempatnya.
“APA?"
“Lo ... nggak inget?”
“INGET APAAN?” Lana masih mendelik, sedikit melangkah mundur. Menjaga jarak dari Varen yang irasnya sarat sungguh-sungguh. “Lo nggak ing—”
“NGGAK!”
Varen tergelak manis ketika mendapati raut Lana yang teramat dramatis. Pasti pikiran gadis itu teranjur melanglang buana.
Paham bila Lana butuh penjelasan, segera saja ia menyeret tas yang ia sandang sampai ke depan dada; mengambil sesuatu dari sana dengan tergesa. Penasaran tetapi gengsi untuk mengungkapkan, Lana hanya meremas gaun sederhana yang ia kenakan. Masih mendelik resah—mulai gelisah.
“Sekarang lo mesti inget.”
Lana melepas kepalan pada gaunnya; mencondongkan kepala. Bertepatan dengan Varen yang mengeluarkan satu benda. Objek nan tak asing lagi baginya. Spontan saja wanodya unik itu kian mendelik—dan syukurlah, netra miliknya masih ada pada tempatnya.
Varen menyodorkan benda bercorak hitam yang digenggamnya. Kacamata hitam ber-frame bundar; tesmak yang dikenakannya waktu itu. Kala menelisik wajah Lana tanpa memalingkan durja. Rupanya, itulah pertemuan pertama mereka berdua.
“L-lo ... mas-mas pedofil itu?!” jerit Lana terpinga-pinga.
Netra serta bibirnya makin membulat saat melihat Varen mengangguk dengan santainya. Kesungguhan dalam netra Varen pun masih ada. Jelas kentara. Lana menggeleng, tak habis pikir. Maksudnya—apa, sih, yang menarik dari dirinya?
“Harus banget lo lihatin gue segitunya?!” desis Lana kesal.
“Lo bisa lihat?”
“Gue minus, bukan buta!” gerutunya.
Tak bisa berkelit, ia mulai tertarik dalam topik kali ini. “Perlu gue ulang pertanyaan gue tadi?” ujarnya lagi.
Mendapati Lana yang memasang iras menyeramkan, Varen jadi menelan salivanya samar. Sejak kapan gadis idamannya bisa segalak ini?
“Gue punya alasan.”
“Karna gue cantik?” terka Lana secepat mungkin.
“Itu poin ke-empat.”
Lana menautkan kedua alisnya, memicingkan dua ain di hadapan sang perjaka. Sedikit curiga. “Poin satu? Dua? Tiga?!”
“You'll know it. But not now.”
Lana berdecak, memalingkan wajah dari Varen yang baru ia sadari memang setampan itu. “Kalau gue maksa buat tahu?”
Varen mengendikan bahu, kembali menyeringai lebar.
“Gue pengen tahu poin ketiga! Gue maksa!”
Varen bergumam sesaat, berlagak berpikir, “Keuntungannya buat gue?”
“N-nanti ... gue bakal menimbang-nimbang untuk terus menghindar atau nggak.”
“Oke! Jaga omongan lo, ya, Lan,” sahut Varen—benar-benar setengah detik setelah Lana menutup mulutnya.
Gadis itu bergumam kasar, masih bertahan pada posisinya. Menghindari netra meneduhkan yang masih memandanginya intens.
“Karna lo lemah.”
“Lemah?”
“Iya. Gue suka cewek lemah yang bisa gue lindungin. Gue bahagia saat bisa jadi pelindung dia.”
Lana mengerutkan glabela seraya meringis dengan dramatis, “Gue lemah dari mananya?!”
“Lo bisa olahraga?” ejek Varen, sedikit terkekeh. “Terus ... lo bisa ada di tengah kerumunan?” Lana berdecak, memejamkan kedua matanya rapat-rapat.
“Lo bisa tahan diri sama bakteri?” imbuhnya dengan kekehan.
Merasa diremehkan, Lana berseru tertahan, “Tapi gue bisa olahraga!”
“Sebutin,” tantang Varen. Menaikkan satu alisnya penaka menghina.
Lana tercenung sesaat, mencari potensinya di mapel yang paling antipati baginya. “... Lompat tali?”
Varen tergelak cukup lama. Menyisakan satu senyuman singkat di bibir Lana.
“Intinyaaa ... gue minta lo jangan hindarin gue lagi,” bisik Varen. Bersamaan dengannya yang menyematkan kacamata hitam tadi pada Lana. Namun tak seperti biasanya, tak terbentuk perlawanan sedikit pun dari sang wanodya.
“Gak janji,” ketus Lana dengan mimik dinginnya.
“Gue pergi, ya? Hati-hati. Salam buat driver-nya.”
Lana sekadar merotasikan bola mata, lenggana menyahut Varen nan telah angkat kaki. Pergi mendahului.
🌻
Huhhh
Ini embusan napas ke empat puluh kali yang menemani. Semangatnya direnggut pergi. Sedan rasanya ketika hari-hari yang biasanya penuh akan senyuman, menjadi murung kembali karena satu kejadian. Terdapat sesuatu nan mengusik benaknya. Mengganjal dan mengganggunya. Lantaran terus memikirkannya, ia tak bisa terlelap terlena. Itu sukses menghantuinya.
Brekkk
Serentak dengan pintu geser yang melangah, aroma woody langsung menyapa indra penciuman Lana. Candra—pusat aroma raksi ini pasti dari parfum miliknya.
Mengegah ke bangku kayu, Candra menjatuhkan visi pada Lana yang tak bergeming. Ia tak berkutik; bahkan setelah Candra sukses terduduk. Biasanya, gadis itu akan menyapanya penuh senyuman. Namun sekarang, Lana hanya merunduk dalam.
“Lan?”
Memecah lamunan, Lana mengerlingkan netra ke Candra. Perjaka itu setia memandanginya. “Semalem lo langsung pulang, ‘kan?”
Lana menggeleng kecil.
“Lo pulang bareng Varen? Gue lihat dia kemarin.”
Lana kembali menggeleng. “Ojek, kok,” jawabnya.
Candra tahu ia egois, tetapi mendengar jawaban itu ia jadi teramat tenang. Padahal raut Lana terus mengisyaratkan bahwa ia tak baik-baik saja. Jelas ada yang berbeda.
“Kenapa?” tanya Candra pada akhirnya.
“Nggak enak badan aja.”
“Kurang tidur? Nggak sarapan? Demam? Pusing?” berondong Candra yang jelas khawatir. Lebih lagi ia sampai beranjak dan mendekati, tetapi gadis itu hanya menjawab dengan gelengan ke sekian kali.
“Enggak, kok. Capek aja.”
“Capek kenapa? Eskul aja enggak,” ujar Candra. Masih belum puas dengan jawaban yang terlontar dari bibir Lana.
“Gue ....”
“Simple, ya? Lemah dan penyakitan pun, lo bisa dapetin dia.”
Lana refleks menoleh ke asal suara. Impulsif menanggalkan tesmak yang dikenakannya; lekas menyembunyikannya. Bibirnya terkatup rapat, sedang netranya menentang Irena dengan nyalang.
“Buktinya lo masih deket sama Varen sampe sekarang. Apa salah gue menyebutnya ‘suka’?”
“Gue enggak!”
“Kalau gitu, kenapa lo nggak menjauh?” ujar Irena seraya melipat lengan di depan dada.
Netra Lana terbelalak, lantas mengepalkan telempap sejenak. “Kenapa? Kenapa gue harus? Apa keuntungannya buat gue?”
Irena mengembuskan napas. Berlagu kecewa dan mencebikkan bibirnya. “Egois, ya? Gue salah mandang lo selama ini.”
Lana menautkan sepasang alisnya. Melantas menggeleng seraya terkekeh sarkas.
“Yeah, gue tetep bersyukur, sih,” desis Irena. “Gue udah bukan sahabat lo lagi.”
Telempap hangat itu melingkupi jemari-jemari Lana yang mendingin. Meremas dan membelainya lembut. Berupaya membuat Lana memalingkan muka dan sudi memandang irasnya. “Lan ... lo cerita aja sama kita!”
“Susah ceritanya, Ka. Gue takut gue salah dan ... lo nggak setuju sama pilihan gue,” lirihnya enggan.
“Kalaupun gue nggak setuju, gue nggak punya hak buat ikut campur. Gue cuma bisa kasih saran buat lo. Dan gue selalu siap di sini buat denger apa pun yang mengganggu pikiran lo. Kapan pun itu.”
Lana berdiam diri; bergeming. Lidahnya terasa kelu untuk sekedar menimpali Dienka. Lara—lara lah yang terasa kala hatinya bagai teriris perlahan. Mengingat kenangannya bersama Irena jelas menyiksanya.
Kenangan selagi mereka bertukar novel, selagi saling mengejek, selagi menikmati mie ayam bersama, selagi menghabiskan waktu bersama, selagi nyalar mendebatkan banyak hal ....
Lalu kini, siapa yang bisa ia salahkan? Siapa yang bertanggung jawab atas semuanya?
Iris? Varen? Dienka? Candra? Atau justru ia sendiri yang tak ingin terbuka dengan Irena?
Oh, atau malar-malar Irena? Tokoh yang memutuskan tak percaya dengan Lana—sahabatnya sendiri? Gadis itu percaya bahwa Lana penyebab utama perubahan Varen. Penyebab utama Varen berpaling. Penyebab utama Varen membencinya.
Lantas, sia-siakah persahabatan yang telah terjalin tiga warsa lebih?
“Nggak apa-apa kalau lo masih belum bisa. Gue bakal tunggu.”
Lana menggeleng. Gadis bersurai sebahu itu memandang Dienka lurus-lurus. Menghela napas sebelum berujar, “Gue bakal cerita, tapi mungkin nggak semuanya.”
“Iya gue tahu, kok ... gue tahu posisi lo.” Dienka menepuk-nepuk punggung tangan Lana. Menabahkan sahabatnya.
“Makasih, Ka.” Lagi-lagi ia menghela napas perlahan. Mulai membuka bibirnya yang tak secerah biasanya. “Intinya gue memutuskan untuk lakuin apa yang Irena mau, buat menjauh dari Varen.”
Dienka membelalang. Menentang gagasan Lana.
Namun bagaimana lagi? Dienka tak berhak untuk mengaturnya. Ia pun telah mengiyakan untuk setuju dengan apa pun pilihan Lana. Selain itu, Lana pasti telah memikirkannya sematang mungkin.
“Gue dukung apa pun yang lo pilih, Lan. Tapi gue punya pertanyaan ....” Dienka memberi jeda untuk ucapannya. “lo nggak apa-apa dengan itu?” sambungnya skeptis.
“Gue nggak apa-apa.”
Memutuskan percaya, Dienka manggut-manggut. Kembali meremas jemari Lana penuh kasih.
“Kalau butuh curhat atau apa pun itu, jangan ragu buat cari gue! Gue nggak suka lo simpen beban besar ini sendiri. Spit it out. Okey?”
Menyengguk, bibir Lana membentuk senyuman ringan. Membuat Dienka tak tahan diri untuk menariknya ke dalam dekapan. Saling menguatkan—seperti yang selalu ia dan Lana harapkan. Salah satu pedoman dalam persahabatan.
Lana itu gadis yang baik, gadis berhati lembut; ia tak akan lagi berpangku tangan bila ada yang berani melukainya. Sahabat tercintanya.
🌻
Lana menggiring bola bundar berwarna hitam itu, gerakannya cekatan. Sesekali dirinya berlari, melompat, dan mengarahkan bola itu tepat ke arah ring. Tampak memforsir untuk membiasakan diri.
Meski bola yang ada di genggamannya tak berhasil masuk ke ring, ia sudah terlampau bahagia. Karena akhirnya, setelah sekian lama, ia bisa menggiring bola seraya berlari ke sana kemari.
“Wow ... kamu banyak perkembangan, ya? Saya agak kaget,” ucap Coach Didit seraya tertawa riang. Ikut senang dengan perubahan drastis Lana dalam sehari pelatihan.
“Hehe, iya, Coach,” lirih Lana. Kedua netra miliknya melirik ke lengan, dada, dan tungkai yang basah akan peluh. Ia merasa sangat lengket pun gerah—risi, jelas saja.
Namun bagaimana lagi? Ia harus lekas menguasainya.
“Coba, Lan. Sekali aja shoot dari sini, nih!” tunjuk Coach Didit tepat pada three-point line.
Lana menyengguk. Ia tampak sangat berambisi.
Tekadnya baru-baru ini adalah untuk bisa berolahraga. Kausa—seperti apa yang dikatakan Varen—lelaki itu menyukai gadis yang payah dalam olahraga. Yang lemah dan bisa ia jaga. Maka, Lana akan berusaha untuk kawakan. Melatih fisiknya, dan menjadi kuat agar berbanding terbalik dengan keinginan Varen.
Persetan sebenci apa dia dengan olahraga. Dia hanya ingin semua kembali seperti semula. Dan semoga dengan cara ini, Varen akan menjauhinya perlahan.
“Eh, Coach pergi dulu, ya? Candra, jaga Lana untuk Coach!”
Candra mengangguk cepat dari bangku kayu di tepi lapangan. Lekas menenggak minumnya sampai habis.
“Can, gue mulai, ya?” seru Lana tanpa mengalihkan atensi. Mulai mencoba membidik bola dengan dua tangannya.
“Kalau lo mau bidik bola, lo harus pake cara yang bener!”
Lana menoleh heran, tak bisa berkata-kata untuk bertanya ‘bagaimana’. Candra yang tadi bersila mengamatinya, mulai berdiri. Melekati gadis itu yang menggaruk pipinya, kebingungan.
“Lo harus fokus,” tambah Candra nan berpindah di pungkur tubuh Lana. Lelaki itu menyentuh sepasang lengan Lana yang terangkat tinggi-tinggi.
Tahu-tahu saja Lana mendelik. Segera menghempaskan tangan Candra yang beralih menggenggamnya, malar-malar bersiah dari titik berdirinya. Bukan, bukan karena sedang menjaga perasaan Dienka kali ini. Namun, mengenai hal lainnya.
Mengapa ia merasa suatu sengatan menjalar dari kedua lengan Candra? Apa ini? Perasaan apa ini? Mengapa kedua pipinya bersemu merah?
“Gue udah cuci tangan. Lo nggak perlu khawatir.”
Lana menoleh ragu. Lekas mengangguk kaku.
Arkian, dengan langkah lembam Lana melangkah kembali ke lokasi sebelumnya—mendekati Candra. Dengan sigap lelaki itu pun menggenggam tangannya kedua kali. Mengarahkannya ke ring basket dengan jarak tiga meter dari titik Lana berdiri.
Dengan bibir yang bergerak acak berulang-ulang—hampir seperti gelagapan—Lana menelan ludahnya. Berupaya melaraskan detak jantungnya yang melenceng dari kelaziman—yang ia yakini jika penyebabnya merupakan Candra. Aneh!
“Coba lo shoot sekarang.” Lana masih bergeming, menengok ragu ke arah Candra.
“Kenapa?”
“G-gue takut gagal.”
Merasa gemas dengan tingkah Lana, Candra segera mengacak lembut surai dara itu. Membuat Lana semakin membeku.
“Pelan-pelan aja dulu. Coba dulu.”
Menaati titah Candra, Lana menghela napas panjang. Segera menghadap depan, di mana ring basket berada. Setelah sungguh-sungguh fokus dan berdoa lirih, ia mengarahkan kedua tangannya—persis dan serupa seperti yang Candra contohkan untuknya.
Berharap penuh, Lana mendorong bola itu dengan satu tangannya, dengan tangan lain yang memfokuskan arah bola. Dia membidik bola basket sebisanya. Dan—
Breghh
“Eh ... MASUK! GILA! MASUK CAN?” jerit Lana histeris sembari melompat-lompat heboh. Dua lengannya terancung tinggi, seolah telah memenangkan suatu lomba—atau mungkin kebahagiaannya lebih dari itu.
Kontan hal itu membuat Candra terkekeh. Manisnya tawa Lana membuatnya bahagia seketika.
Tak berhenti juga, Lana masih menjerit senang. Merasa bangga kausa seumur hidupnya bermain bola basket, baru kali ini ia berhasil meraih poin; pun dengan jarak yang tak main-main—untuk seukuran amatiran.
Akibat begitu bersukacita, ia sampai mengulurkan dua lengan dan menarik perut Candra ke dalam dekapan.
“Sumpah, gue seneng banget, Can!”
Candra membatu tersaku. Jauh lebih kaku dari Lana beberapa saat lalu. Sepertinya, Lana sendiri melupakan getaran aneh yang ia rasakan belum lama ini.
Tergelak renyah, Lana mengeratkan pelukan. Masih menjerit bahagia sesekali. Mungkin pelukan itu merupakan bentuk rasa terima kasihnya; karena bagi Lana, Candra lah yang melantarkannya mencetak poin.
Berbeda dengan Lana yang penuh ekspresi, iras Candra jauh dari kata berseri-seri—bahkan terlampau luti. Ia tak sanggup memahami maksud Lana kali ini; ia pun tak ingin cepat-cepat menanggapi. Ia takut terlalu percaya diri.
“Can ... kok diem?”
Lana melepas rangkulannya. Bersilih memandang ain Candra yang membuatnya terpaksa menengadahkan hulunya.
“Can?”
Candra meresponsnya dengan senyuman simpul—hal ganjil yang tak biasa Lana dapati. Namun sayangnya, gadis itu tak sanggup menerka isi pikiran Candra kali ini. “Ada yang mau lo tanyain?” tebaknya sangsi.
“Lan ... gue berharap banget bisa resmiin hubungan kita. Bukan sebagai sahabat, tapi sebagai—”
Tergemap, buru-buru gadis itu melangkah mundur. Menundukkan kepala; memastikan bila telah membuat jarak lumayan jauh. Entah sejak kapan tepatnya, tetapi jantungnya kembali berdetak tak menentu. Raganya berguncang bersama napas nan memburu.
Inikah rasanya ... menaruh hati?
“Mungkin jawaban lo masih sama.” Candra manggut-manggut lemas. “Gue ngerti, kok.”
Spontan saja Candra membalikkan badannya. Melangkah pergi dengan putus asa. Ia tak tahu harus berapa lama lagi untuk bersabar dan menungguinya. Atau mungkin Lana memang bukan untuknya.
“S-sebenernya gue suka, Can!”
Candra tertegun—menghentikan gerakan kedua kaki yang memaksa untuk pergi. Mengerutkan glabela nan kuyup akan cairan ekskresi dari pori-pori.
“Sama lo!” sambung Lana dengan suara bergetar.