Tak mengindahkan jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas—yang berarti telah memasuki tengah hari, Varen bangkit dari bangkunya. Menepuk paha Septhian untuk mengalihkan perhatian kawannya. “Yan, temenin gue."
Septhian menjeling sebentar, tetapi kembali memandang gawai. “Ke?”
“Biasaaa, loker persembahan.”
Pemuda itu mengendikan bahunya, sekadar membuntuti Varen ke Loker Persembahan dengan gawai yang telah dimatikan. Langkahnya lenggang.
Ya! Loker Persembahan namanya. Tempat yang sengaja diciptakan oleh ratusan penggemar Varen di Glare High School untuk menaruh segala benda yang dikhususkan untuknya—yang sekiranya tak sanggup untuk diberikan langsung. Loker itu tak akan tercipta begitu saja tanpa adanya unjuk rasa; salah satu upaya menghasut Bu Hani yang plintat-plantutnya tak terkira.
Varen memanfaatkan sarana itu dengan baik. Ia bahkan tak perlu membawa uang lebih untuk membeli santapan. Banyaknya cinta yang ia terima membuatnya selalu bahagia.
“Ren, kalau ada macaron ... buat gue, ya?”
Varen menjawab dengan gumaman, melebarkan seringai Septhian. Mempercepat egah, keduanya malah dikejutkan oleh kerumunan pada Loker Persembahan. Kumpulan siswi-siswi itu berseru, lebih lagi beberapa di antaranya membawa spanduk besar. Mereka terlihat gusar.
“DENGARLAH SUARA HATIKU—PARA BETINA GLARE HIGH SCHOOL! JIKA KALIAN MINUM YAKULT UNTUK MENCINTAI USUSMU, MAKA BANGUNLAH LOKER PERSEMBAHAN UNTUK MENGHARGAI SEORANG CANDRA ARKATAMA!” raung seorang gadis dengan megafon di tangan kanannya, mengacaubalaukan seruan demi seruan tadi.
Varen memalingkan muka, terkekeh; tingkah perkumpulan siswi itu sangat kekanak-kanakan. Memalukan, kadang.
“KALIAN YANG BERJANJI UNTUK MENGAGUMI CANDRA SEPENUH HATI, KENAPA SEKARANG JUSTRU PERGI? MENCALONKAN VAREN UNTUK JADI HUBBY?!”
Varen melanjutkan gelak tawa, terus menggeleng-gelengkan tendas akibat malu entah kenapa.
“TAHUKAH KALIAN; CANDRA KAMI HAMPIR TERTELAN WAKTU KARNA KEEGOISAN KAMU SEMUA!? DAN TENTU, KAMI ... MERASA TIDAK TERIMA DENGAN PERNYATAAN ITU!”
Gadis itu mengusap air mata dari netranya yang memerah.
“KAMI SEMUA—DARI KOMUNITAS CINTA CANDRA—AKAN MENYEBARKAN SELEBARAN! KALIAN BISA MENJAWAB SETUJU ATAU TIDAK DI KERTAS ITU, SEBELUM DIKUMPULKAN PADA AKHIR ISTIRAHAT KEDUA! KALIAN WAJIB UNTUK MEMBERI SUARA! TIDAK MENERIMA KERTAS HAMPA!”
Dua pemuda tadi hanya mengintip dari balik pilar bangunan—memandangi titik di mana Loker dan kerumunan tersebut berada. Mengamati suasana. Varen lah yang terlena untuk mengamati komunitas tidak resmi itu; satu-satunya hal yang membuatnya tertawa seminggu terakhir, selain Lana tentunya.
Turut terhibur, Septhian tersenyum tipis. Beralih mengerlingkan netra pada sahabatnya. “Kayaknya lo ditakdirkan jadi rival Candra,” kelakarnya.
“Perhaps,” sahut Varen. “Tapi nggak masalah. Bersaing itu biasa,” imbuhnya.
“SEBELUM SAYA MENYEBARKAN KERTAS INI, SAYA PUNYA SATU KATA TERAKHIR UNTUK PARA PENGGEMAR CANDRA ARKATAMA TERDAHULU ....” Siswi itu menarik napas panjang, membusungkan dadanya, dan, “PENGKHIANAT!”
Varen berbahak; kali ini lebih bebas dan lepas. Bukan untuk mengejek kumpulan wanita fanatik tadi, tetapi lantaran merasa geli.
“Siapa cewek yang pegang toa itu?” Varen menunjuk gadis yang tampak berapi-api, berjalan ke sana kemari guna menyebarkan selebaran yang dibuatnya semalaman.
“Kak Sabi—Sabina. XII IPA 01. Orang yang selalu buat dan bawa macaron buat lo. Ibunya punya mini dessert cafe, letaknya nggak jauh dari sini—yeah, barangkali lo mau traktir gue di sana.”
“HAH? Dia pengkhianat juga, dong? Dia ‘selingkuh’ ke gue!” tunjuk Varen pada diri sendiri; kentara polos dan menggemaskan, tak seperti biasa yang menyebalkan.
“Hahaha, iya. Wajarlah! Kalaupun gue ini cewek, gue juga bakal tergila-gila sama lo.”
Varen terkekeh samar. Sungguh tak menyangka selucu ini warga Glare High School, sekolahnya kini. Ia bahkan heran atas dasar apa pemerintah memberi akreditasi A untuk sekolah ini dengan cuma-cuma.
“Emang ... sebelum gue dateng mereka udah segila itu?”
Septhian menggeleng. “Mungkin mereka jadi gini gegara ‘panas’ waktu orang yang mereka puja-puja jadi flop—dan itu karna kedatangan lo.”
“Ooh ... so it's good to you?”
“Not exactly. Gue benci Candra, tapi cuma karna dia jadi prioritas sekolah. Gue kira sekarang adil, gue nggak perlu merasa cemburu lagi.”
Varen menaikkan satu alisnya. Menentang Septhian lurus-lurus. “Soo, did you have envy on me?”
“Nah, gue akui lo jauh lebih keren dari gue. So it's kinda fair.”
Varen tertawa samar. Menepuk-nepuk bahu Septhian berulang kali. “Baru kali ini gue nemu orang sekeren lo. Lo terbuka ... tapi itu nggak bikin diri lo terdengar lemah.” Merasa dapat teman sefrekuensi, Varen meremas kedua pundak Septhian penuh kehangatan. “I proud of your maturity.”
Septhian mendengkus bersama senyuman; mengangguk singkat.
Kalakian, karena tak ada lagi seruan yang terdengar; Varen melirik ke titik yang sama. Seringai tampan pun tercipta kala menemukan kerumunan tadi telah berpencar. Tak satu pun tertinggal. “Udah sepi, tuh! Lo bisa ambil macaron atau apa pun itu.”
Septhian kontan mengerutkan keningnya. Kebingungan. “Lo?”
“Denger pengakuan lo tadi, gue jadi kangen Candra ... sama Lana tentunya.”
Seraya terkekeh, Septhian hanya menggeleng—tak habis pikir akan tingkah kawan satu-satunya ini.
“Duluan, ya!” Varen buru-buru berlalu, menuju belokan koridor di sana.
“Gue boleh ambil macaron?!” seru Septhian—penggila makanan asal Paris itu—sebelum Varen kian menjauh.
“Terserah! Lo ambil apa aja! Lo udah dapet hak istimewa dari gue!” jerit Varen tanpa menjeda langkahnya.
🌻
“Ren, lo udah pilih jawaban kertas itu?”
Irena menolehkan hulu tanpa tenaga, menghadap Citra dan segera menggeleng enggan. Lekumnya terasa kering, tetapi ia terlalu malas untuk membeli air dan memberi cairan pada tubuhnya seorang diri.
“Lo sempet deket banget sama Candra, 'kan?”
Irena mengangguk.
“Iiiih, lo keren bangeeeet! Lo pernah deket sama Cogan?! Berapa lama?”
Irena hanya tersenyum kecut; memalingkan iras. Memutuskan tak menimpali apa-apa.
“Gue iri sama lo, tahu!”
Citra menggeser pantatnya, berupaya memeluk bahu Irena entah untuk apa. Namun hal itu tak akan terjadi, Irena lebih dulu mengelak dengan cekatan. Menjaga jarak. Bukannya malu-malu, berjalannya waktu Citra malah tak tahu malu. Tak pernah rikuh untuk selalu mengisi hari-hari Irena, tak pernah jenuh untuk bermuka dua di hadapannya.
Muak, Irena menggeram lirih. Wanodya borjuis itu meremas kertas selebaran yang memuat judul ‘Ayo Cintai Candra Arkatama’—kertas pengumpulan suara untuk Loker Persembahan lainnya.
“Lo iri sama gue? Lo iri sama orang yang ditolak tiga kali lebih dan dicampakkan sama sahabatnya sendiri?!” pekik Irena membabi buta.
“Maksud gue—“
“Udah, Cit! Berhenti usik gue lagi!”
Selepas beranjak dari kursi, Irena angkat kaki. Mencuri perhatian seisi kantin pada Citra yang berdiam diri.
🌻
Dugh
Mengalihkan atensi, Septhian menoleh dingin pada insan nan menghantam loker abu-abu di depannya. Padahal ia tengah terlena memilih berbagai jenis penganan manis. Namun, seolah tahu siapa insan itu—Septhian rela mengabaikan macaron tercinta.
“Mana janji lo? Gue udah bikin Lana ngomong sama Varen!” desis dara mencolok itu dengan gelagapan, pipinya merah merona. Meski telah mendapati roman dingin itu ratusan kali, iras tersebut nyalar membuatnya salah tingkah.
“Janji? Gue nggak pernah kasih lo janji.”
“E-ee ... ya, lo bales budi, dong!” seru Oyu, sedikit menaikkan nada bicaranya. “Kasih cokelat, kek. Ajak lunch, kek. Date—“
Impulsif, Septhian lekas menyambar lengan Oyu. Meninggalkan dua cokelat putih berukuran sedang—yang didapatkannya pada loker Varen—pada telempap Oyu.
“Cukup?”
Kontan kedua pipi Oyu memerah. Sangat merah. Ia sampai terbata-bata saat ingin menjawab Septhian yang masih bergeming di tempatnya. “Co-cokelat murahan, ya?” Memandang objek yang digenggamnya, Oyu menghela napas kecewa. “Paling juga harganya empat puluh ribuan. Gue bisa beli sepuluh lebih atau mu—“
“Ya udah, gue pikirin cara bales budi lain kali aja,” serobot Septhian bersamaan dengan lengannya yang mencoba merebut balik benda itu.
Namun, tak disangka-sangka, gadis itu menahan cokelatnya sekuat tenaga. “I-iya gue terima,” cicit Oyu lesu.
Septhian menaikkan kedua alisnya. Berlalu dengan tiga boks macaron dalam dekapannya.
🌻
Lana membenamkan hulu pada kedua lengan atas meja. Kelesah dan tak bisa membayangkan, bagaimana masa depannya kelak jika terus terusik oleh Varen yang makin lama makin memengkalkan.
“Laaan!” Berlagu polos, Varen mencolek lengan Lana. Mencuaikan Pak Kumis serta pembahasan materinya. “Laaaan ... bantuin gue. Gue nggak ngerti rumus ini!”
Varen terus merengek, memelas. Meski Varen baru mulai mengusiknya beberapa saat lalu, Lana sudah menjerit frustrasi. Pusing serta pening oleh semua celoteh Varen yang tercipta karena semata-mata ingin perhatian darinya.
“Nggak paham, Ren! Gue nggak paham! Gara-gara lo, nggak ada satu pun pelajaran yang masuk ke otak gue!” kesal Lana.
“Coba duluuu, lo kan pinter! Habis itu gue janji nggak berisik, deh.”
“Nggak mau! Lo tukang kibul!”
“Tiga menit doang, deh!”
“Nggak.”
“Dua? Satu, deh, satu!”
“Oke. Satu detik, ‘kan?”
Candra mendesah lelah. Konsentrasinya dibuyarkan oleh pertengkaran dua insan yang senantiasa bersilat lidah—tak kenal payah. Pemuda yang ekstra peka itu beringsut bangkit, arkian memandang Lana yang masih pada posisi semula—pada bangkunya.
“Lan, lo duduk di bangku gue aja.” Lana terlonjak, melirik Candra ketika sekedip mata pemuda itu telah berpijak di belakang tubuhnya. “Lo boleh duduk di bangku gue,” ulang Candra.
Gadis itu menyengguk secepat mungkin. Karena baginya, surga di dunia adalah tempat tanpa Varen di sisinya. Tanpa meminta persetujuan siapa pun—berhubung Candra pun mengajukan diri—Lana mengemasi barang-barangnya di atas meja. Menentengnya asal lalu lekas terduduk di bangku Candra.
Karena telah mengemasi barangnya, lelaki tampan itu lekas menghempaskan tubuhnya pada bangku Lana. Menyandingi Varen nan memperoleh gelar baru, ‘Good Boy Most Wanted on this Galaxy, Sexy, Rich, But Not Bitxh’
“Oh? Lucu, ya. Posesif, padahal pacar juga enggak,” sarkas Varen lalu tergelak.
Abai, Candra memilih memusatkan atensi pada papan tulis putih yang ditatapnya sejak awal. Mencacat materi yang Pak Kumis tinggalkan. Decak lirih tercipta, Varen juga merotasikan bola netra. Mencibiri Candra yang selalu saja sama—dingin dan kejam padanya yang berniat bermain-main saja.
“Laaan! Bantuin gu—“
Brakk
“Lo punya masalah apa, sih?! Sejak kapan Sejarah punya rumus?” gerutu Candra setelah Oyu menggebrak meja. Ikut merasa terganggu.
“Yang ngomong juga gue, kenapa lo yang ribet?”
“Karna lo ganggu!” sungut Candra dengan suara yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya.
“Gue gini gegara lo suruh Lana pindah! Gue jadi terpaksa teriak-teriak!”
“Lo nggak ngerasa dari awal suara lo udah kayak pake toa?” gerutu Candra, mulai masuk ke perdebatan yang kian runyam.
“Lo tinggal di mana emangnya, sampe nggak bisa bedain mana teriak mana ngomong?!”
Meski tersenyum miring, Varen jelas kesal sebab Candra sekala membalas ucapannya.
“Harusnya gue yang nanya! Gue curiga lo tarzan karna hobi banget bikin telinga orang pekak!”
“Semuanyaa? Cukuplah sekian, ini sekolah bukannya pasar! Jangan berisik dan saling berseru tanpa kepentingan khusus saat berada di kelas saya!" jerit Pak Kumis berang.
“Huuh, sumpah mereka nggak bosan-bosannya bikin kontroversi.”
“Kuping gue enek denger kabar mereka mulu!”
“Bisakah mereka bertiga berhenti berulah?”
“Pak, mereka suruh keluar aja! Mengganggu kelas!”
“EH?! Enak aja my Good Boy Most Wanted on this Galaxy, Sexy, Rich, But Not Bitxh di suruh keluar! Kalau kulit putih bin mulusnya terbakar sinar UV gimana?! Tanggung jawab lo?”
Melepas ponselnya, Oyu mendengkus panjang. Berusaha sabar menghadapi kelas mereka yang hampir tak pernah tenang tersebut. “Here we go againnn ....” gumamnya yang telah hafal betul, apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Eh?! Varen bebeb gue, ya!”
“Sapa bilang?! Dia punya gue!”
“Gantengan juga Candra!”
“Iya, Candra lebih cool and manly!”
“Candra saranghaeyohhh!”
“KALIAN BISA DIEM NGGAK, SIH?!” sentak Kaya. Namun tak satu pun tampak acuh.
“Kalau lo mau semuanya mingkem, lo juga diem! Introspeksi diri!”
“Lah? Lo malah ikut berisik, dong?!”
“Lo juga!”
Pak Kumis menepuk keningnya prihatin. Teramat merasa gagal menjadi guru. Semua baru saja berjalan normal saat rehabilitasi nama Lana. Kelas pun mulai riuh dan ricuh seperti sediakala.
“Semuanyaaa, Bapak pinta untuk diam! Sudah! Tenang!” jerit Pak Kumis setegas mungkin.
Berhubung semuanya telah kembali seperti sediakala, seruan apa pun dari Pak Kumis kembali tak di indahkan. Perdebatan masih berlangsung tanpa hambatan. Bahkan mulai saling melempar gumpalan kertas karena kian geregetan. Kedua kubu itu tak akan sependirian.
“SEPERTINYA ADA SESUATU YANG BISA SAYA SIKSA HARI INI, HM?”
Keheningan memaksa tiba kala sosok yang mereka takuti setengah mati berdiri dan terus mendelik dari balik jendela. Membawa rotan sepanjang dua meter yang konon bisa membawa siapapun ke Neraka. Ketegangan menyapa. Segenap murid gentar, meski sekadar guna membuang napas.
Sungguh, sejatinya Pak Burhan merupakan alarm hening terbaik di dunia.
🌻
“Terdapat 50.78%—dari keseluruhan siswi-siswi—yang setuju membangun Loker Persembahan untuk Candra Arkatama my hubby, Bu!”
“Ngarep terus!” desis Lupi. Menempeleng kepala Sabi dengan santainya.
Gadis dengan gigi gingsul itu terlihat santai saat menghadapi Hani—yang bernotabene sebagai Ibunya. Jelas kontras dengan Sabi yang terus menunduk takzim.
“Bener, Lup? Jangan-jangan kamu sama temen kamu pakai akal-akalan untuk ini? Mama capek, lho, mengatasi masalah seputar Lana-Varen-Candra, Lana-Varen-Candra terus!”
“Santaiii, Ma! Enggak, kok. Kalau Mama masih ragu, Lupi bakal bacain semua nama yang jawab ‘iya’ dari kelas X sampai—“
“I-iya, deh! Mama percaya.”
“Bener?”
Dengan sarat skeptis, Hani mengangguk lenggana. Sahabat Lupi—Sabi—memang selalu merepotkannya.
“Nanti Mama suruh Pak Mansyur buat pasang Loker di lorong yang sama, ya? Mungkin datengnya baru besok.”
Lupi mengangguk, sedang Sabi segera menangis terharu.
“Gimana? Puas lo?” seru Lupi, menoleh ke Sabi yang meneruskan tangisannya penuh emosi itu.
“Jelas! Tanks, Lup.” Sabi meraih dua lengan Lupi dan mengatupkannya di depan muka. Mengangguk berulang-ulang dengan mimik seolah siap berperang—saking tegangnya.
“Thanks!” ralat Lupi tajam.
“Emang beda?” cicit Sabi, menggaruk pantatnya sekilas.
Mengamati perilaku absurd anak kesayangan juga sohibnya, Hani kembali dibuat meringis. Akhir-akhir ini Tuhan mengirimnya ratusan ujian yang kadang amat menyebalkan. Lantas bukannya membantu, Lupi malah memberinya beban.
“Kalian semua tuh mau sekolah atau puja dua dewa, sih?!” sarkas Hani dari balik mejanya; yang segera Sabi respons dengan gelak tawa.
“Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, Bu,” ujarnya bangga.
🌻
Dienka menyengguk cepat, menyeruput squash stroberinya cepat-cepat bak kesetanan. Ia tak menyangka bila Sabi memang se’cinta’ itu pada Candra, sampai membuat pesta kecil untuk merayakannya—meramaikan disahkannya Loker Persembahan Candra.
“Entah apa yang menggerakkan Kak Sabi buat demo, tapi gue bersyukur banget!” desisnya penuh semangat.
Sesungguhnya, Lana maupun Candra tak pernah ingin ikut serta—ke pesta yang terlaksana pada Cafe Sabina. Hanya, melihat Dienka yang kentara antusias, mereka jadi memaksakan diri untuknya.
“Bersyukur?” tanya Candra sangsi.
“I-iya ... bersyukur. Semua kayak semula. Fans Varen yang masih labil jadi banyak yang beralih kepercayaan ke lo, ‘kan?”
“Emang mereka berdua apa, ‘kepercayaan, kepercayaan’?” sungut Lana dingin. Dienka hanya menjawab dengan ringisan.
“Euhm ... nanti boleh, ‘kan?”
Glabela Lana juga Candra mengerut bersamaan.
“Boleh apa?” Candra buka suara.
“Minta coklat, hehe.”
Lana tergelak kecil, ingin menimpali Dienka tetapi takut merusak suasana.
“Boleh.” Dienka jelas mengembangkan senyuman, tetapi, “Kalau ada. Kebetulan gue benci cokelat—Lana juga,” imbuh Candra. Sukses menciptakan pelototan dari Dienka nan kecewa.
“EH?! Iya juga, kalau semua anak tahu lo nggak suka coklat?” Candra hanya mengendikan bahu, kentara tak acuh. “Yaaah ....”
Dienka merebahkan hulu pada meja bulat di Cafe elegan itu. Gairahnya telah menguap dalam sekejap. Karena kalau ia ingat-ingat lagi, ternyata ia kerap mendapati tak seorang pun memberi Candra cokelat; melainkan kudapan dan penganan seperti kue-kue kering dan es krim. Lalu jadi sia lah harapannya.
Bukannya menguatkan, justru Lana terkekeh ringan. Menepuk pundak Dienka pelan-pelan.
“Semoga beruntung, ya?” bisiknya.
🌻
Lana bangkit berdiri, sama halnya dengan Candra yang menggaet tasnya atas pundak. Lelaki itu kentara tergesa, berbeda dengan Lana yang bahkan menyempatkan diri untuk menyelipkan poni depannya. Bagian surai yang satu itu terus diterbangkan oleh embusan angin dari kipas gantung tepat di atas meja mereka; sedikit mengusiknya.
“Gue duluan, ya? Dienka kelihatan capek banget.”
Lana mengiyakan dengan anggukan, membuat Candra melanjutkan aksinya untuk membangunkan Dienka. Menggoyang-goyangkan tubuh wanodya tersebut selembut mungkin, berharap dengan itu bisa membuatnya terjaga.
“Ka?”
“EH?! GUE DI MANA?”
“Cafe. Ayo pulang!”
Dienka mendelik, melangah lumayan lama untuk mencerna semuanya. “Hah? Sama siapaa?!”
“Gue.”
“Oh?”
Gadis itu membeku sesaat, berpikir keras. Keseluruhan nyawanya belum cukup terkumpul dan ia kalang kabut sekarang. Banyaknya jus dan makanan manis yang ia cerna melantarkannya terlelap dan menyelami alam mimpi cukup lama.
“Lo udah bangun, ‘kan?”
“Emang udah tengah malem?”
Lana menghela napas, memaksakan satu senyuman meski sesungguhnya segan. “Dienkooong! ini siang, oke?! Tengah harii! Bahkan belum ada jam enam sore!” pekiknya geregetan.
“Oh.”
“Lan, gue duluan, ya?”
Lana tersenyum tulus, hatinya merasa tenang dan ... sepertinya senang. “Hati-hati.”
“Lo juga! Bisa janji sama gue, ‘kan, buat pulang cepet?”
Lana menaikkan kedua alisnya, tersenyum simpul.
Paham kalau Lana sungguh baik-baik saja, Candra benar-benar berlalu bersama Dienka yang membuntutinya. Gadis itu telah sepenuhnya terjaga.
“Makasih, Kak Sabi! Aku duluan, ya?” pamit Lana sembari melambaikan tangan. Nan dibalas Sabi ‘etg dengan cara yang sama.
Lana menarik napas perlahan, berlalu melalui anak-anak yang masih sibuk dengan ponsel maupun kudapan yang mereka santap. Beberapa saat lalu Oyu meneleponnya, menanyakan bagaimana pesta murahan itu—seperti yang Oyu katakan—atau apa Septhian ikut serta. Mendapat telepon itu mendorongnya untuk lekas pulang. Toh, Dienka—alasan satu-satunya ada di sini—malah terlelap penat.
Kala Lana sukses melangkah keluar melalui pintu cafe, tahu-tahu saja—
“Lan!”
Varen berhamburan, membayangi Lana yang memutuskan menghentikan langkahnya. Pikiran gadis itu telah jauh terbuka—entah karena dorong kalbu atau ocehan berkala dari Oyu.
“Lo buntutin gue?!” tanya Lana sebagai sapaan. Varen ini terlampau mencurigakan.
“Iy—eh enggak!”
Sangsi, Lana mengembuskan napas perlahan. Memandang sang lelaki yang setia memandanginya. “Apalagi?” kesal Lana.
“Gue mau ngomong sama lo. Kali ini serius!”
Lana menyengap, menolehkan iras sekilas. Mendapati roman Varen nan teramat sungguh-sungguh membuatnya berpikir untuk mendengarkannya baik-baik. Lana akan membiarkannya punya peluang, mencoba memberi kesempatan.
“Ngomong apa? Bentar lagi ojek gue dateng, jadi lo mestinya tahu harus gimana.”
Varen berdeham lirih. Mengatur napas tak beraturannya. Menarik napas panjang, lelaki itu memandang Lana lurus-lurus.
“Gue harap lo nggak akan buang ini,” cicitnya. Bertepatan dengan jepit bunga matahari yang berpindah tempat pada lengan Lana. “Ya?”
Berdiam diri, Lana memandangi jepit itu lekat-lekat. Ia sudah amat merindukannya, aksesori cantik itu. Benda pertama yang ia terima dari seorang lelaki—terkecuali untuk Candra.
Ini janggal—tentunya.
Kendati ia menekankan tersirat agar Varen tak lama menahannya, tetapi hatinya sedikit kecewa saat pemuda abnormal di hadapannya hanya mengatakan itu. Tak menyampaikan wacana lain yang sempat ia asa-kan.
“Cuma itu?”
“Harapan gue yang lain jelas untuk lo yang berhenti menghindar ... dan lo yang akan coba untuk mencintai gue.”
Lana mengesah, mempertanyakan dalam hati, Kali ini Varen coba rayu gue dengan cara halus? Huh! Gue mana mungkin luluh secepet itu!?
“Kalau ada permintaan yang bersifat memaksa, mending lo nggak perlu balikin ini,” tegas Lana. Kembali menyodorkan benda mungil itu, tetapi Varen menggeleng semantap mungkin.
“Gue punya alasan, Lan.”
Lana menghela napas, lelah. “Gue capek, Ren! Gue capek hadepin lo tiap waktu! Kenapa lo kayak gini? Apa yang buat lo kayak gini?" Sungguh Lana frustasi dengan tingkah Varen selama ini. "Apa yang lo suka dari gue? Apa yang lo sebut-sebut menarik waktu itu? Gue maksa untuk tahu!”
Varen berdiam diri. Menarik dua lengannya yang terbenam dalam saku. Sorot matanya yang tegas dan penuh kesungguhan bersilih jadi sesuatu yang meneduhkan. Lana sampai terguncang samar akannya.
“Itu karna lo calon Ibu yang baik buat rumah tangga kita!”
Lana membelalakkan netra. Tubuhnya mematung sempurna. Satu milisenti lagi ia mencelang, mungkin ain bercorak hitam kecokelatan itu akan keluar dari tempatnya.
“APA?”