“Jadi kamu mau aku sebar rumor ... kalau kamu punya pacar, sekaligus membenarkan rumor tentang utang kamu kalau itu berita abal-abal?” ulang Fiat.
Lana buru-buru menyengguk.
“Oke. Aku bakal sebarin rumornya.”
“Makasih ya, Kak. Kakak bantu gue banget.” Lana tersenyum manis, melirik Fiat sekilas yang ikut mengembangkan senyumnya.
“Bukan masalah besar, kok.”
Lana mengembuskan napasnya lega. Menaruh asa bila semoga saja semua masalah ini selesai secepat mungkin. Dia tidak betah jika harus hidup di bawah 'teror' Varen terus-menerus.
“Aku kira, kalian beneran pacaran. Kalian cocok. Sama-sama sempurna, sama-sama anak baik-baik.”
Ain Lana jelas melotot. Gila saja dia dibilang cocok dengan orang yang dia benci setengah mati!
“Nggak—” Ingin rasanya Lana berseru, menyuruh Fiat untuk berhenti mencomblanginya. Namun, tentu saja ia urung; itu bukan gagasan yang baik. “Gue nggak sempurna, kak. Gue nggak secantik itu. Gue nggak kaya.”
“Kekayaan bukan segalanya, Lan. Bagi kakak, kaya itu nggak termasuk poin di kategori ‘sempurna’. Kekayaan bisa diraih, bisa dicari, bisa dimiliki siapa pun.”
Lana manggut-manggut lemas. Menyetujui gagasan itu.
“Iya, sih, Kak. Bagi gue juga ‘iya’ ... tapi bagi mereka?” Gadis berambut coklat kehitaman itu mengesah panjang, “Lagi pula, nggak ada manusia yang sempurna. Pasti semua ada kelemahannya, sekecil apa pun itu. Dan di kasus gue ... enochlophobia sama misofobia adalah kelemahan terbesar. Tapi bagi gue, gue unik dengan cara gue sendiri, gue menerima semuanya.”
Fiat tersenyum manis, tertegun karena Lana bisa mengucapkan kalimat semenyentuh itu.
“Kakak selalu suka pola pikir kamu. Selalu bisa bikin kakak ... semacam terinspirasi.”
Lana tertawa kecil, ia menggaruk punggungnya sekilas.
“Oh ya, Lan. Kakak boleh nanya sesuatu?”
“Boleh, apa?”
🌻
“Ya Tuhan, LANAAA! Gue harus cari lo ke mana lagi?” jerit Varen. Kedua tangannya mengacak-acak surai frustrasi.
Ini kali ketiganya mengelilingi sekolah; sampai nekat mengintip per kelas, ruang guru, ruang BK—tetapi naas, hasilnya tetap sama. Ia tak kunjung menemukan Lana.
“Gue panggil lewat radio sekolah apa, ya?”
Varen meneruskan gerakan tungkainya dengan bibir yang mengembang lebar. Hendak melaksanakan gagasan yang barusan terpikirkan olehnya. Cara gila itu sepertinya cukup ampuh.
Tungkainya terus menarik langkah, menghantarnya keluar dari taman. Namun, ketika terdapat suara lain yang ditangkap daun telinganya—suara rontokkan daun kering yang terinjak—ia bangat membalikkan badan dalam sekali gerakan.
Sadar siapa sosok yang berdiri di sana, mimik Varen berseri semi.
“Gue udah berkelana dari Sabang sampai Merauke, tapi ternyata lo ada di sini,” sahut Varen bersamaan dengan senyum yang lagi-lagi merekah pada bibirnya.
Lana mendengkus jenuh. Merutuki diri sendiri akibat memutuskan untuk berjalan pergi, tetapi malah tertangkap basah selepas menginjak daun kering sialan. Terbersit olehnya untuk melesat pergi, tetapi—
“Lo harus mau ngomong sama Varen. Sekalii aja!”
“Itu permintaan gue. Simple, Lan!”
“Gue tunggu kabar terbarunya.”
Lana berdehem sesaat, melirik Varen yang masih tersenyum manis. “Ngapain juga, sih, cariin gue?” ketusnya setengah memekik.
Berhubung taman sepi, ia bebas membentak-bentak Varen tanpa mendapat tatapan sinis dari siapapun itu. Ini saat yang ia tunggu-tunggu.
“Karna gue mau lo berhenti menghindar,” aku Varen sungguh-sungguh.
“Selamanya gue bakal menghindar!”
“Kenapa? Gue ada salah?”
Lana tertawa hambar. Berpikir keras, tetapi tak menemukan alasan jelas dan masuk akal di mana Varen salah terhadapnya.
“B-banyak!” pekik Lana mendadak, sedikit mengejutkan Varen yang bersilih berpikir keras.
'Kapan?!' batin Varen.
“Udah! Gue harus pergi.” Ketika Lana memutar arah, Varen buru-buru mengikuti langkahnya.
“Tanpa lo sadar, lo udah gagal.”
“Gagal?” tanya Lana, masih melangkah menjauh.
“Dalam misi menghindari gue.”
Lana mendengkus, mempercepat langkahnya yang menjelma jadi lari mungil.
“Lo kenapa menghindar?”
Gadis itu menghembuskan napasnya perlahan. Kini berusaha lebar bersabar.
“Biar lo lelah. Biar lo capek. Biar lo nyerah untuk dapetin gue! Pada akhirnya lo akan terpaksa cari orang baru, dan pergi dari gue yang sama sekali gak menarik ini,” urai Lana dingin.
“Lo pikir gimana gue bisa suka sama lo, kalau lo nggak menarik?”
Lana melentingkan bahunya, sok cuek.
“Udah, ih! Di sini aja dulu!” Varen menahan lengan Lana, menghentikan langkahnya yang tergesa dengan paksa. Kontan saja gadis itu mendengkus. Tenaga Varen terlalu besar untuk dilawannya—itu jelas.
Jika saja Varen merupakan orang luar, Lana pasti telah menepisnya kasar-kasar. Ia tak pernah tahu ada berapa bakteri dalam telapak tangan manusia, tetapi ia tahu Varen gemar mencuci tangannya. Untuk dirinya.
“Bentaaar aja, ya?” cicit Varen sembari meringis. Melepas cekalannya pada Lana dengan amat perlahan.
Dengan mimik merah padam yang sarat akan kegusaran, Lana memalingkan iras pada Varen. Ingin menegaskan.
“Paham arti kata ‘menghindar’, ‘kan? Apa perlu gue baca di KBBI?”
Varen mengangguk samar, lalu menggeleng akan pertanyaan ke dua.
“Ya udah! Gue harus—“
“Lo gini karna lo gengsi, ‘kan?” Celetukan konyol itu amat menyedihkan, mengandung banyak harapan. Lana sampai terheran-heran atas kepercayaan diri Varen yang tidak bisa ditandingi.
“GENGSI?!”
Lana tertawa hambar, gelak yang amat tawar. Dan kala tersadar, ia benar-benar merasa murni gila sebab selalu menghadapi Varen yang jauhh lebih gila lagi.
“Walau nggak bisa olahraga, gue bisa tampol orang, kok. Gue nggak pernah segan-segan apalagi orang itu lo!”
Lana akui, mendadak ia kerap kali kasar dan gusar jika berhadapan dengan Varen. Kadang fakta itu membuatnya sedih—ini di luar kendalinya, sungguh.
“Ratusan tampolan pun gue nggak masalah; selama lo tetep di sini.”
“Gue maunya jutaan.”
“Ya sinii, sokk!”
Lana menggeram samar tatkala Varen membentangkan kedua lengan, seakan pasrah pada gadis di hadapannya tersebut. Bahkan pemuda itu menyodorkan pipinya dengan senang hati. Padahal tadi hanya bualan belaka.
Terlanjur kesal, gadis itu memukul pundak Varen sekuat tenaga. Namun tak sampai puluhan, hanya sekali ayunan.
“Ck, udah! Gue harus balik. Bentar lagi bel.”
Lana berbalik, tetapi lagi-lagi Varen menghentikan dengan ucapan—membuatnya merasa tertantang.
“Nggak ada gunanya lo menghindar, Lan. Gue nggak bakal nyerah.”
Masih di tempatnya, Lana berujar santai, “Nanti lo bakal nyerah, kok. Lihat aja!”
“Gue nggak kenal apa itu menyerah!” sombong Varen, sedikit menaikkan tendas—tanda besar kepalanya yang nyata.
"Nanti gue kenalin ke lo. Gue janji nggak akan lama.”
“Gue nggak akan mau kenal dia.”
Lana menggeram. Varen selalu sukses membuatnya berang bukan main.
“Ada satu dari puluhan alasan gue nggak menyerah. Mau tahu?”
Lana menoleh malas, sorotan matanya tajam dan menyatakan ‘apaa?!’ tanpa kata.
Dengan angkuh Varen tersenyum lebar. Menggerakkan lengan dan menunjuk sesuatu dengan jari telunjuknya.
Jelas Lana membelalang, kebingungan. Sedang, tangan kanannya mulai meraba surainya di atas telinga—di mana tepat jari Varen terarah.
Gelagapan lah ia saat menemukan satu benda yang menahan rambut serta poninya ke belakang telinga. Jepit rambut dengan hiasan berbentuk bunga matahari nan menghiasi rambutnya.
“I-ini, kan ... ini karna gue ....”
Gelak Varen pecah—terlampau pecah saat menemukan gadisnya sukses terbata-bata. Semburat merah muncul di pipi Lana, kendati hanya seperempat sekon saja.
“Oke!” Lana menarik benda bersinar itu dengan kasar. Menaruhnya di atas telempap Varen yang terpaksa di sentuhnya kali kedua. “Nggak perlu kasih ke gue lagi. Nggak minat,” tekan Lana.
Padahal sungguh berat rasanya untuk mengembalikan benda yang telah menjadi benda terfavoritnya pada lelaki licik itu. “Pokoknya ... gue bakal kenalin ‘Nyerah’ ke lo. Bagaimanapun caranya!” seru Lana seyakin-yakinnya.
Varen mengangguk-angguk dengan sisa senyuman yang ada. Kentara angkuh. “Nanti ‘Nyerah’ bakal pergi sendiri, kok. Dia tahu gue nggak suka sama dia. Gue kenalnya sama ‘Berjuang’ soalnya.” Lana melotot kala Varen mencondongkan tubuhnya ke hadapannya dengan lancang. “dia terus yakinin gue kalau gue harus perjuangin lo—si ‘Berjuang’,” sambung Varen sembari tersenyum miring.
“Ng-nggak jelas,” maki Lana. “Mending juga lo pacarin Irena yang cantik, kaya, seksi, dan punya pendirian!”
“Cantikan juga lo,” sahut Varen dengan suara netral, membuat Lana kurang yakin dengan yang laki-laki tersebut lontarkan.
“Hahaha, nggak lucu!” ketus Lana. Hendak berlalu ke sekian kalinya.
Janggal, Lana merasa janggal ketika gusar dan antipati yang ada entah mengapa malah mengirap—seolah Lana memaafkan lelaki itu begitu saja. Sebenarnya ada apa dengan hatinya—Lana? Benarkah luluh dengan berbagai wacana darinya—Varen?
“Siapa juga yang bercanda?”
Lana menyengap, sedikit terkesiap oleh sahutan Varen. Lelaki itu tak tersenyum ataupun terkekeh seperti biasanya, atau juga memasang wajah konyolnya. Ini memperkuat bukti ujarannya. Ini serius barusan Varen memujinya?!
“Ciee yang kebaperan!” goda Varen seraya tertawa. Puas menggodainya.
Setelah mendengkus, Lana buru-buru membalikkan tubuh; bermaksud berlalu.
“E-eh, iya gue minta maaf. Gue tapi seriu—“
“Ren, udah! Berhenti usik gue! Gue punya pacar dan gue harus hargai kehadiran dia. Gue harus hargai status dia! " sentak Lana. "Jadi jangan sekali-kali ganggu gue ... atau pacar gue yang akan turun tangan!” ancam Lana, menghentikan langkah Varen yang hendak menyusulnya.
“Kalau lo tetep keras kepala dan ikutin gue, gue beneran bakal telepon dia!”
Kali ini dengan pasti, Lana melangkah pergi; meninggalkan Varen yang menautkan sepasang alis tebal tampannya.
“Pacar?” Glabela Varen berkerut tidak terima. “Candra?”
🌻
“Gue denger ... lo punya pacar.”
Lana terperanjat. Telempap yang masih menggenggam keran pun memutarnya sampai benda tersebut memancarkan air dalam jumlah besar. Membasahi tubuh bagian depannya dalam sekejap mata.
“Ck, Ris, gue lagi nggak mood buat berantem!” kesal Lana.
Menutup keran tersebut dan mengeringkan lengannya dengan tisu yang ia bawa. Ia bahkan turut mengelap jejak air pada kemeja juga jas hitamnya, memastikannya kering seperti semula.
“Gimana, ya ... komentar mereka semua kalau tahu lo nikung kak Tania?”
Iris mengangkat dan memperlihatkan satu foto polaroid. Mencuri perhatian Lana sampai gadis tersebut menoleh penuh tanda tanya. Netranya langsung melotot tidak terima kala tahu Iris memotretnya saat bersama Fiat beberapa hari lalu.
“Kali ini gue bawa kebenaran! Mereka pasti bakal maafin gue dan mengembalikan pangkat gue,” imbuh Iris seraya terkekeh. Membuat telempap Lana gatal untuk menampar dara satu ini, tetapi—
PLAKKK!
“Lo bener-bener anjing, ya?! Lo hancurin semua rencana gue! Lo kenapa, sih, Lan?! Gue berbuat apa sampai lo selalu menghambat mimpi gue?! GUE SALAH APA?!”
Lana masih mematung di tempat. Merasakan panas yang menjalar pada pipinya setelah Iris menamparnya tanpa perasaan. Kepala gadis itu sampai meneleng ke kanan lantaran saking kuatnya tenaga yang tak terduga.
“Gue nggak pernah ngelakuin apa pun yang—“
“Awalnya gue kagum sama lo ... TAPI AKHIRNYA GUE JIJIK. JIJIK SETENGAH MATI.”
Lana melangah sempurna, sedikit meringis. Iris berhasil mendorongnya sekuat tenaga sampai terjerembap menghadap keramik. Sampai kepalanya terhantam—meski syukurlah tak meninggalkan luka.
Namun, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, entah kenapa Lana tak bangkit dan menyerang Iris seperti seharusnya. Kali ini tak sama! Iris memperlihatkan kelemahannya. Iris menunjukkan sisi lainnya. Iris tampak berbeda!
“Gue pengen bunuh lo Lana ... gue benci lo yang nggak pernah ....” Iris menunduk, air matanya menetes perlahan; meleleh dalam sekejap. “serang gue balik,” cicitnya.
“Gue nggak pernah diem kalau—“
“Iya gue tahu! Tapi lo selalu maafin gue! Kenapa?! Kenapa, Lan?!”
“Sekarang lo ... maafin gue?” lirih Lana.
Ia tak bisa membaca suasana kali ini, mimik Iris berubah-ubah dengan kilat. Membuatnya terlihat seperti pengidap bipolar akut. Meskipun begitu, Lana menguatkan diri bangkit dari posisi. Menjaga jarak dari gadis jelita yang kini tergelak terbahak-bahak.
“Maafin lo?! NGGAK!”
“Terus?”
“Gue hancurin muka lo, Lan.”
“Maksud lo?”
Iris melangkah mendekat, mendorong dan memojokkan Lana dengan cutter yang entah kapan ada di cekalannya. Digerakkan tangan kanannya guna mengacungkan ujung benda tajam itu—tepat pada pipi Lana yang tirus. Tak ada keraguan dalam gerakannya, hanya tetesan air mata lah yang membuat Lana iba.
“Nggak boleh ada manusia yang sempurna di dunia ini, Lan. Tapi lo terlalu sempurna.”
Lana mendelik panik, menjeling pada benda yang mulai mendekati kulit irasnya. Gila saja, Iris sungguh-sungguh menyilet pipinya.
Gadis yang panik setengah mati itu memberontak, mendorong Iris menjauh. Namun, entah dapat kekuatan dari mana, Iris masih di titik yang sama—tak beranjak. Malahan terkekeh dan memaksa Lana membeku di tempatnya.
Kala cutter itu menyentuh dan sedikit menusuk pipi Lana, menggoresnya sepanjang dua senti; tahu-tahu saja satu tangan menampar wajah Iris sekuat tenaga. 'Melempar' Iris menjauh di saat yang sama.
“Kalau lo masih sakitin Lana, jangan berharap lo bisa sekolah di sini.”
Iris membelalang, menoleh dan menatap lurus-lurus sosok yang menghalangi niatnya yang akan jadi sempurna. Namun, ia segera tergemap saat sadar siapa pelaku penghentian aksinya. Sosok yang disegani itu.
“K-kak—“
“Lo kelewat batas! Sebenci apa pun lo sama Lana, lo nggak bisa sakitin dia! Itu nggak ubah apa pun. Justru lo jadi seorang kriminal!” sela Tania tajam. Mencekik lengan Iris yang masih terguncang.
“Tapi dia nikung lo, Kak! Dia pacaran sama kak Fiat!”
“Lo bener-bener buta, ya, sampai nggak bisa baca situasi?!" Tania terkekeh sebentar. "Gue tahu apa hubungan dia sama Fiat; gue juga tahu sebesar apa cinta Fiat ke gue. Lo cuma orang luar.” Tani semakin mencengkeram lengan Iris yang meringis kesakitan. “jadi jangan sok tahu," desisnya kemudian, tepat pada telinga Iris yang mematung kaku.
Lana tak berkutik, memandangi Tania yang tersenyum tipis—menatap Iris yang tak bergerak barang sedikit. “Selanjutnya, gue bakal cekik leher lo kalau gue lihat aksi lo kedua kalinya. Gue akan buat lo menderita.”
Tania melepas cekalannya. Berlalu dan menyenggol bahu Iris sekasar mungkin, sampai Iris terhuyung ke samping. Kalakian perempuan cantik itu meninggalkan toilet. Menyisakan Lana yang terpesona, juga Iris yang meratapi perbuatannya.