Hari-hari yang Lana perkirakan akan jadi membaik rupanya melenceng. Murid-murid kembali diherankan dengan tingkah aneh keduanya—Lana dan Varen tiap harinya
‘Pengejaran Lana' di seminggu terakhir ini, mengundang rumor-rumor aneh yang kembali menyebar luas. Memang, fakta tadi bukan karena mading atau juga Breakbreak News—mengingat kini hanya ada Truly News yang bisa dipercaya; tetapi segenap kabar burung yang disebarkan sungguh gila. Jauh dari akal sehat!
Kabar sesat yang paling populer merupakan anggapan para murid bila Lana terjerat hutang pada keluarga besar Varen.
“Sumpah, yaa—gue emang nggak kaya; tapi sehina-hinanya gue, gue nggak akan ambil jalan pintas buat ngutang! Apalagi sama keluarga Varen yang ketemu aja baru sekali!
“Sumpah mereka tuh dapet konspirasi dari fakta yang mana, sih?”
Lana kembali menyesap es tehnya, minuman sempurna untuk menemani semangkuk mie ayam medium size di hadapannya. Walau rasanya terlampau manis, Lana terlihat tak menghiraukannya—pikirannya terlantas terpecah belah.
“Makanya, lo berhenti hindarin dia! Gue capek juga lihatnya! Lo mau sampe kapan kejar-kejaran gini, hm?” geram Dienka.
Setelah kelengangan cukup lama menyapa, akhirnya Lana bersuara. “Sampai dia capek buat perjuangin gue,” lirihnya ogah-ogahan.
“Kenapa?!”
“Gue ... nggak suka aja,” cicitnya seraya menggaruk hidung sekilas. Membuang muka dari Dienka.
“Oke, gue maksa untuk denger alasan lo ngehindar dari Varen!”
Dienka memicingkan kedua netranya, sedikit mencondongkan tubuh untuk memojokkan Lana. Wanodya itu gelagapan, netranya berputar kalang kabut.
“K-kok lo yang kesel?!” seru Lana terbata-bata. Mendorong Dienka untuk kembali ke tempatnya.
Gadis dengan surai sepanjang daun telinga itu mengendikan bahunya. “Kesel aja. Lo tuh kayak tikus, dan Varen kucingnya. Nggak heran, sih, kalau mereka beneran ngira lo punya utang.”
Lana mendengkus, kembali menggapai garpu dan sendok dari mangkok cap ayam jantan itu. “S-suka-suka gue, dong!?” Ia mengaduk-aduk mie yang telah mengembang tersebut. Memaksa untuk melahapnya sampai habis; karena sejatinya selera makannya menguap dari mula.
“Gue kan ... nggak bisa milih juga. Keadaan yang maksa,” sambung Lana dengan suara yang jauh lebih lirih.
“Tapi gara-gara itu, gue selalu sendiri kalau istirahat. Lagi,” desis Dienka, mulai memainkan gawai dengan bibir yang mengerucut imut.
Terdengar aneh; namun meski super tomboi, keimutan Dienka jauh lebih alami dari Lana atau gadis lainnya. Tak ada yang bisa menyangkalnya, kendati sifat introver membuatnya tak jarang di cap besar kepala.
Lana melepas cekalannya dari kedua alat makan itu, memandang Dienka yang terlena memilih lagu. Selanjutnya gadis itu pasti akan mengenakan headset-nya dan membisu sampai bel berbunyi. Badmood.
“Candra?” Lana menarik headset yang sedang Dienka genggam, mencegah dara itu tenggelam dalam lamunan dan mengabaikan eksistensinya.
Dienka mengembuskan napas. Meletakkan headset bercorak hitam dari tangannya tepat atas paha.
“Latihan basket. Nonstop.” Lana mengerutkan keningnya, semakin menatap Dienka dalam-dalam. “Gue yakin, dia nggak terima karna Pak Didit milih Varen jadi ketua tim perwakilan lomba. Dia bahkan nggak terpilih untuk ikut.”
Dienka mengendikan bahunya. Berusaha tebal telinga, meski belum bisa.
“Sesibuk itu?” tanya Lana setelah terdiam cukup lama.
“IYA! Lo saranin dia buat istirahat, ya? Dia sering lewatin makan siang,” pinta Dienka, meski suaranya terdengar netral.
“Kok gue? Lo aja! Candra tuh bukan alien, dia masih suka dapet perhatian dari siapapun itu!” seru Lana cepat. “Selama nggak berlebihan, sih,” sambungnya.
“Maunya, sih, gitu ... tapi—“ Dienka kembali merengut. Ia memainkan jemarinya yang sedikit bergetar. Menggantungkan wacananya seorang diri.
“Kalau lo suka, lo perjuangin. Just it.”
“Lo kira dapetin Candra semudah dapetin mangga tetangga?! Susah, Lan! Gue belom nemu batu yang cukup besar buat jatuhin dia,” sungut Dienka.
Lana tersenyum, mengulurkan lengan guna menggenggam tangan Dienka yang terus bergetar. Menyalurkan semangat, menyulut gelora dalam diri Dienka.
“Lo udah dapet batunya, Ka. Lo udah genggam batu itu. Batunya cukup besar.” Dienka menoleh, menelisik iras Lana yang masih memandanginya.
“Lo cuma masih ragu untuk lempar batu itu tepat ke arah Candra. Lo masih punya peluang, kok. Lo bisa lempar batunya berulang kali.”
Lana sedikit mencondongkan tubuhnya, berbisik lirih. “Tetangga lo nggak ada di rumahnya.”
Ain Dienka merelap, bahkan membentangkan senyuman. Ditatapnya Lana lurus-lurus yang terus manggut-manggut. Lana telah meyakinkannya.
🌻
“LANA!”
Lana mengangkat hulu yang ia baringkan, melirik Oyu yang berdiri di muka kelas dan menatapnya tajam. “Iyaa?”
“LO KOK NGGAK YAKININ GUE SEKALI LAGI?”
Lana mengejapkan dua mata dalam-dalam. Berupaya beradaptasi oleh suara lantang Oyu yang terlihat berapi-api. “Hmh ... maksudnya?”
“Tass! Tas yang kemarin gue suruh pilih!”
Lana menyengguk memahami, sedang Oyu berjalan mendatangi. Lekas diperlihatkan dua foto tas trendy dari ponsel penuh glitter yang mencolok tersebut. Lagi-lagi ia mengganti ponselnya.
“Iyaa, kenapa?”
“Lo pilih yang Gucchi, ‘kan? Yang ini!” tunjuk Oyu dengan napas tersengal-sengal.
Lana kembali menyengguk. Masih keheranan, tetapi terlalu malas untuk menanyakan. Berbeda dengan ekspresi awalnya, Oyu justru mencebikkan bibirnya. Netranya berkaca-kaca.
“TAPI GUE NGEYEL MILIH YANG CHANNEL!” rengek Oyu. Mengentakkan kedua kaki pada keramik—permukaan kelas. Menimbulkan suara yang cukup mengganggu. “PAS GUE BELI, MASA PROMONYA UDAH BERAKHIR! GUE HARUS BAYAR FULL. HABIS ITU PAKETNYA NGGAK ADA BONUS SAMA SEKALIII! BENER-BENER PURE TAS, DONG! GAK ADA AKSESORI ATAU GANCI! THE POOR OYUSANA!”
Lana menghela napas, bertenggang lapang dada. Rupanya tas yang Oyu pesan beberapa saat lalu nan dipermasalahkan.
“Terus hubungannya sama gue?”
“Lo nggak paksa gue beli yang Gucchi!”
“Ya kan gue—“
“Gue sedih bangett!” Oyu menghempaskan pantat di atas bangku, meneruskan tangisan. “Lo harus hibur gue, Lan! HARUS!”
“E-e-ee ... iya, deh. Maaf. Lo mau apa?” Oyu langsung menegakkan punggung, melirik Lana penuh makna. “Tapi gue nolak, ya, kalau itu perihal uang!”
“ISH, IYA!” pekik Oyu sewot. Lana jadi curiga bila tenggorokan gadis itu tercipta dari tembaga.
“Terus lo mau apa?”
“Varen—“
“Ya udah sana pacarin aja. Gue nggak masalah.” Lana memalingkan muka. Memasang durja datar yang dibuat-buat.
“BIARIN GUE SELESAIIN UCAPAN GUE!”
“Eh? Hehehe.”
🌻
“Lo harus mau ngomong sama Varen. Sekalii aja!”
“Nggak!”
“Kok gitu?! Lo kan bilang mau hibur guee!?”
“Bagian mana yang bisa buat lo terhibur, hah?”
“Itu permintaan gue. Simple, Lan! Gue nggak minta lo ganti tas gue ataupun pacaran sama dia!”
“L-lagian masalah tas itu juga bukan salah gue,” sungut Lana lirih.
“APA?!”
“Eh? Nggak apa-apa kok, hehe.”
“Ya udah pokoknya itu. Gue tunggu kabar terbarunya,” desis Oyu, menyipitkan kedua matanya tajam-tajam.
Lana membuang napas seperlahan mungkin. Mengingat permintaan Oyu yang aslinya sangat-sangat mencurigakan membuatnya pusing tujuh keliling.
Oyu itu selicik, semenyebalkan, semerepotkan, sekeras kepala Irena. Keduanya bagai pinang dibelah dua. Hanya mereka tak menyadari itu.
“Iya, hahaha. Gue udah lihat. Lo ternyata pro basket! Gue nggak nyangka, hahaha!”
Lana menoleh otomatis. Sifat alami manusia, penasaran.
Namun baru sedetik melirik ke arah suara, kedua netranya melotot tajam.Serta merta Lana berdiri dari duduknya dalam sekali sentakan. Memaksa bangkunya terdorong ke belakang. Menciptakan suara decitan panjang. Sinyal dari tubuhnya begitu hebat karena itu terjadi dalam setengah sekon.
Terdapat Varen di sana, dikerubungi oleh para pria yang tengah membicarakan perlombaan lainnya kemarin. Entah lah, Lana tak pernah mendengar akannya barang sekali.
Namun, bukan itu yang harus ia pikirkan! Bukan itu yang jadi prioritasnya! Ia harus segera beranjak pergi. Menghindar ke sekian kali.
Lagi dan lagi, dan mungkin akan selalu terjadi—Lana mengacuhkan permintaan Oyu kala itu.
'PERSETAN VAREN!,' batin Lana seraya membalikkan badannya. Keluar dari kantin yang mulai sepi tersebut.
Wanodya itu meneruskan langkah sembari menoleh ke belakang. Memastikan keadaan aman jika barangkali Varen membuntutinya, atau mungkin justru tak melihat kehadirannya.
Napas gadis dengan fisik yang tak pernah terlatih dengan baik itu mulai tersengal-sengal. Lelah.
Kausa mengadakan acara menghindari Varen, bisa-bisa ia menjadi atlet lari nantinya. Ia jadi ahli melarikan diri. Oh, atau sesungguhnya itu bakat terpendamnya?!
Saking terbirit-birit, Lana yang tergesa-gesa tersebut menabrak seseorang. Hampir menghempaskan keduanya; tetapi untungnya orang itu bisa menyeimbangkan diri, sekaligus menahan Lana yang menghantam dadanya lumayan keras. Tesmak Lana sampai menekan glabela—melantarkannya gayang.
“Kamu kenapa?”
Lana mendongak, memandang durja manusia yang telah ditabraknya tanpa sengaja.
“Astaga, Kak Fiat! Maaf!”
Lana membungkukkan badan berulang-ulang. Benar-benar merasa bersalah.
“Kamu kenapa lari-lari? Ada yang kejar kamu? Ada yang bully kamu lagi?”
Lana tergelak canggung mendengarnya. Menggaruk tengkuknya sekilas. Gadis itu mengulum bibir, membisu sesaat.
“Gue dikejar sama—“
Wait! Lana menghentikan ucapannya. Mendelik samar. Sedikit tergemap.
Kalau Lana menyatakan tengah dikejar oleh Varen, bisa-bisa nanti rumor utama yang menyebar, dibenarkan. Di cap berita yang murni fakta. Iya, bukan?
Itu tidak boleh terjadi! Tidak dan jangan boleh sampai terjadi! Bukan hanya namanya yang tercemar, tetapi keluarganya juga! Apa kata Olena nantinya?!
“Lan?”
Fiat menautkan sepasang alisnya. Terus menanti sahutan Lana yang malah membisu. Entah memikirkan apa.
“Kak ... Kakak bisa bantu gue, 'kan?”