“Dari tadi Bapak nggak salahin Lana? Aneh banget!”
“Memang kamu sepenuhnya benar? Sepenuhnya suci, gitu?!”
“Tapi Bapak nggak adil!” sentak Tania, berpretensi meneruskan tangisannya. Ia juga memaksa pacarnya untuk terus menemani sampai keduanya tiba di ruang yang dikenal 'tabu' bagi seluruh anak di sana. BK.
“Lana juga akan Bapak hukum karena sudah merusak rambut kamu dan menyebabkan kericuhan! Terus kamu pikir Bapak hanya asal ngomong? Asal amuk, asal mengBledek?!”
Tania mencebikkan bibirnya, minta belas kasihan.
“Sudah! Bapak nggak mau tahu lagi. Di jam pelajaran kalian yang selanjutnya sampai bel pulang ... kalian harus membersihkan SEMUA piala penghargaan dan menyikat toilet lantai dua!” Lana dan Tania memekik cepat. “Iya! Toilet lantai dua yang ada sepuluh bilik!”
Tania merengek, berhamburan ke pelukan laki-laki bersurai gondrong yang kembali mengesah. Lama-lama, sekolah mungkin jadi panggung teater baginya—Tania.
“Bagaimana? Ada protes?”
Tania lekas melepas rangkulannya, mengacungkan tangan tinggi-tinggi. “A—“
“Tapi satu kata pemberontakan, satu mapel dinyatakan remedi. Bagaimana?”
Tania mempoutkan bibirnya. Kembali menangis terisak dengan lirih.
“Guru sialan!” rutuknya dalam hati.
🌻
Lana bergeming, berpangku tangan di atas wastafel kamar mandi dengan keramik putih itu. Membiarkan Tania menggosok toilet dari bilik ke bilik seorang diri.
“Lan! Lo juga ikut ngosek, dong!” keluh Tania.
Tangannya serius dalam menggosok permukaan lantai meski dengan keterpaksaan penuh. Ia merasa harga dirinya turun drastis akibat mendapatkan hukuman murahan seperti saat ini—terlebih di depan Lana yang dibencinya. Seorang model sepertinya menyikat WC?! Yang benar saja!
“Lan!”
Pandangan Lana terlampau kosong dan hampa. Ia menahan hasratnya untuk turut menyikat kamar mandi yang sesungguhnya tak sekumuh itu—atau justru boleh dibilang bersih dari toilet pada umumnya.
“Lan, lo budeg?!”
“Gue nggak pernah mau ada di tempat ini.”
“Maksud lo?”
“Lo yang mulai, jadi lo harus tanggung jawab,” balas Lana cuek.
Gadis penggila mie ayam itu mulai membuka ponsel, benar-benar mengabaikan Tania juga ocehannya.
“Lo apaan banget, sih? Gue nggak bakal jambak rambut lo kalau lo gak ngatain gue cabe-cabean!”
“Gue nggak pernah nyatain itu,” sahut Lana. Memainkan ponsel murah di hadapan irasnya.
“Mau lo apa, sih? Gue ENEK banget punya dekkel kayak lo yang ... iuh. Gue nggak tau harus deskripiin lo kayak gimana lagi karna lo emang semenjijikkan itu. Lo bahkan berani buat deketin Varen—Good Boy Most Wanted on this Galaxy! Sadar posisi, kek—lo tuh SAMPAH!” tekan Tania dengan suara lirih. Menghindari siapapun mendengar ucapannya. Sebab apa yang diketahui para guru mengenai dirinya sekadar hal positif saja; jika ia merupakan anak baik yang berprestasi, meski non akademis.
“Satu kata lagi lo lontarin, gue yakin lo bakal pulang dengan keadaan hairless.”
Tania melempar sikat toilet dari tangannya, lekas berbalik. Menentang Lana teramat nyalang. Meski memang keduanya resmi dalam masa hukuman, Lana menolak untuk membantu Tania di hukuman terakhir mereka. Sebenarnya ia cukup lelah selepas mengelap seluruh piala dan piagam penghargaan. Terlebih, sejak tadi Tania hanya memainkan rambutnya; sibuk membuat story Instagram kalau-kalau ia dipaksa membersihkan antero kamar mandi. Memang gila tingkah penuh dramanya.
“Bangsat. Lo nggak sadar apa kasta lo?! Lo adek kelas gue, tolol!” jerit Tania tak terima. Sedikit melupakan bahwa suara melengkingnya bisa terdengar oleh Bu Hani—atau mungkin siapapun itu—yang kelak akan memengaruhi citranya.
Bukannya membisu, Lana justru mengangkat wajahnya tinggi-tinggi.
“Kalau gue jadi lo ... gue bakal malu seumur hidup karena udah claiming diri sendiri sebagai kakak kelas, yang bahkan nggak pernah jadi teladan buat adik-adiknya,” sarkasnya.
“Emang lo teladan buat adik-adik kelas lo? Mirror dikit, Dukun!” murka Tania.
Lana mengembangkan senyuman tipis, “Gue emang miskin—tapi gue punya uang, kok, buat beli cermin. Gue bakal beliin buat lo, biar lo tuh tahu apa arti mirror sebenarnya.”
Berangsang, Tania berlari menuju wastafel tempat Lana berada. Hendak menampar juniornya sekuat tenaga. Namun akibat kebodohannya, gadis munafik itu melupakan fakta licinnya lantai yang ia tapaki. Alhasil, tanpa bisa mengelak, tubuhnya terhuyung dan jatuh di atas keramik yang basah dan kotor dalam sekejap mata.
Tania tetap membuka lebar kedua matanya. Masih meresapi apa yang baru saja menimpanya dengan mulut melangah. Kemudian, setelah beberapa detik dan ia tersadar, perempuan itu menjerit sekuat-kuatnya. Membuat cermin di belakang tubuh Lana bergetar akibat besarnya amplitudo yang dihasilkannya.
Segera, segenap anak di dalam kelas jadi kalang kabut. Mayoritasnya mengabaikan pelajaran dan memilih berhambur keluar, berdesakan masuk ke dalam kamar mandi terbesar di SMA tersebut tanpa berbasa-basi.
“Astagaaa, Tania!” pekik Hani terperanjat.
Menyadari nama temannya diserukan kuat-kuat, beberapa siswa datang mendekati Tania. Membopong perempuan yang masih syok itu dengan sekali sentakan.
“Ada apa Tania? Kenapa kamu jadi seperti ini?” ujar Hani, memasang tampang keterkejutannya. 'Pasti ramai ini,' pikir wanita tersebut dengan ceria.
Tania yang masih tertegun tetap menyelesaikan acara menangisnya. Memeluk salah seorang di sampingnya. Sekujur tubuh bagian belakangnya benar-benar basah kuyup, tak terkecuali pada rambut-rambut kusutnya.
Hani melayangkan pandangan, mencari satu sosok. Serta merta beliau memekik saat memandangi Lana yang terduduk pada wastafel. Wanodya yang telah sepenuhnya berubah itu laksana tak peduli dengan kedatangan mereka semua yang masih bertanya-tanya, masalah apa pulak ini?!
“Lana! Kamu perempuan, jadi jangan duduk di sana!” sentak guru berkundai itu. Membelalang pada Lana yang masih berdiam diri. Tatkala Hani akan memperingati siswinya untuk kedua kali, Tania buru-buru menyelanya.
“Bu ... Lana sudah dorong saya sampai jatuh! Kepala saya sepertinya pecah. Gagar otak!” ringis Tania dengan tangan yang terus memegangi tendas bagian belakang. Padahal meneteskan setitik darah pun tidak.
“APA?! Bener itu?!” jerit Bu Hani.
“Ck, parah lo Lan!”
“Kurang apa sih kita? Kok lo semakin nggak terkendali?!”
“Tania didorong?! Gila, sih, berani banget,” hasut yang lain.
“Keluarin aja, Bu, dari sekolah! Bosen banget masak dua bulan terakhir nama diaa terus yang jadi topik hangat!” kompor yang lain.
Mendengar tuduhan Tania dan segala ocehan anak-anak buahnya, gelak tawa Lana pecah seketika. Membungkam keseluruhannya yang kontan melirik Lana penuh tanda tanya.
“Keluar! Keluar kalian semua—termasuk Lana! Kita harus sidang di ruang BK, SEGERA!” titah Bu Hani sebelum perdebatan kian merawak rambang.
“Jangan, Bu! Di tengah lapangan aja! Biar semuanya tahu sejahat apa si Lana!” usul salah seorang siswa.
“Iya, Bu! Bener!”
“SETUJU!” pekik sebagian dari mereka serentak.
Lana membentangkan senyuman. Gadis itu menyengguk lantas melengos pergi, menganjuri semuanya untuk bertolak ke lapangan utama Glare High School yang super besar itu. Semuanya jelas bertanya-tanya, rencana apa yang ingin Lana perbuat setelahnya?
🌻
Tanpa menyiapkan apa pun sebab didesak sedari tadi, sidang dimulai. Dengan cekatan juga, Dienka maupun Candra berdesakan serentak ke barisan terdepan. Keduanya ingin memastikan keadaan Lana yang mereka pertanyakan kabarnya. Saat keduanya berhasil menemukan Lana yang terlihat baik-baik saja, mereka bernapas selega mungkin. Mengucap syukur meski masih risau akan yang terjadi selanjutnya.
“Lana nggak apa-apa?” bisik Dienka samar.
“Kelihatannya,” balas Candra dengan cara yang sama.
“Apa benar saudari Lana mendorong saudari Tania sampai jatuh?” ujar Hani sebagai kalimat pembukaan sesi interogasi.
Lana tersenyum miring. Bukannya lekas menjawab, dia malah menjatuhkan atensi pada ponselnya. Mencekal gawatnya erat-erat.
“Saudari Lana?! Saya sedang bicara den—“
“Periksa sendiri, Bu. Ini ngebuktiin kalau selama ini aku nggak pernah jahatin siapapun. Atau mungkin ... bisa dibilang aku korban di sini.”
Hani mengernyitkan dahinya dalam-dalam—sangsi. Dengan mimik hilang akal, beliau menerima ponsel yang Lana sodorkan. Mayoritas murid buru-buru bergerak maju. Mengerumuni Hani yang mulai terimpit akibat saking ramainya.
“Eh, Eh?! Kepo kalian pada!” gerutunya heboh.
“Dipasang di layar, Bu! Biar jelas! Biar semuanya lihat!” saran salah seorang siswa.
“SETUJU!”
Hani merotasikan dua bola ainnya. Kelabakan akan sifat anak-anak nan menjadi amat sangat ricuh saat itu juga. Gelagatnya, mereka kurang peduli terhadap Ulangan Tengah Semester yang akan terlaksana sebulan mendatang.
Pasrah, Bu Hani memerintah Pak Mansyur untuk memutar video dari ponsel Lana ke dalam layar besar alias proyektor yang memungkinkan keseluruhan siswa menyaksikannya.
Dahi segenap insan di sana lekas bergelombang. Beberapa di antaranya segera berseru kala menyadari di mana video tersebut direkam. Toilet. Lana sengaja merekamnya untuk membuktikan siapa yang antagonis selama ini.
“Lo apaan banget, sih? Gue nggak bakal jambak rambut lo kalau lo nggak ngatain gue cabe-cabean!”
“Gue nggak pernah nyatain itu.”
“Mau lo apa, sih? Gue ENEK banget punya dekkel kayak lo yang ... iuh. Gue nggak tau harus deskripiin lo kayak gimana lagi karna lo emang semenjijikkan itu. Lo bahkan berani buat deketin Varen—Good Boy Most Wanted on this Galaxy! Sadar posisi, kek—lo tuh SAMPAH!”
“Satu kata lagi lo lontarin, gue yakin lo bakal pulang dengan keadaan hairless.”
Tania terlihat melontar sikat toilet dari tangannya lalu berbalik. Menentang Lana teramat nyalang dengan dada yang naik-turun tak karuan.
"Bangsat. Lo sadar gak sih kasta lo?! Lo adek kelas gue, tolol!"
"Kalau gue jadi lo, gue bakal malu seumur hidup karena udah claiming diri sendiri sebagai kakak kelas, yang bahkan gak pernah jadi teladan buat adik-adiknya."
"Emangnya lo teladan buat adik-adik kelas lo? Mirror dikit, Dukun!"
"Gue emang miskin, tapi masih punya duit kok buat beli kaca. Gue bakal beliin buat lo, biar lo tuh tahu apa arti mirror sebenarnya."
Terlihat di video itu, Tania membalikkan badannya arkian berlari mendapati Lana yang tengah merekam kejadian itu diam-diam. Karna kecerobohan Tania sendiri, ia tergelincir.
“AKHHHHHHHHHHHHHHH!”
Video berakhir.
Jelas sebagian besar dari mereka sengap—kehabisan kata. Namun hanya dalam dua detik suara bising kembali menguap, menjelma jadi seruan-seruan yang tak terdengar cukup jelas.
“Ah, Bu! Cuma ini yang membuktikan Lana benar. Lah yang lain?!” Seruan dari Iris menyulut emosi dari para siswi. Mereka kentara berapi-api.
Pening, Hani hanya memijat pelipis ketika kembali menghadapi sifat keras kepala siswa-siswi. Mereka terus menyuarakan unek-unek tanpa jeda, seolah Hani bisa mendengar seantero tanpa eksepsi.
“Saya punya bukti lain, kok, Bu!”
Laki-laki bergaya rambut comma hair tersebut berhamburan ke depan. Menyeringai dan mengulurkan gawai pada Kepala Sekolah yang hanya menganga; merasakan ajaibnya seruan Varen yang seolah mengendalikan seluruh bahana. Kericuhan dari para murid berhenti seketika hanya karena Varen berdiri di sanding Hani.
“Bisa disetel rekamannya, Bu,” imbuh Varen dengan senyuman miring.
“Bangke gue dilaporin!” sungut Iris. Dara pencari masalah itu lekas menutupi durja mencoloknya. Melangkah mundur perlahan, berusaha menjauh. Namun naas, tahu-tahu Oyu muncul dan merangkul bahu Iris seerat mungkin. Berhasil membuat Iris terbata-bata.
“Kenapa? Gue selalu diem bukan berarti gue dukung lo gangguin Lana!” desis Oyu.
Gadis cantik itu menurunkan kacamata gaya bercorak birunya, tersenyum penuh kemenangan. Dua lengannya memaksa tubuh pendek Iris untuk terdiam di titik yang sama. Oyu tak akan membiarkan Iris beranjak ke mana-mana. Meski sejengkal saja.
Seluruh insan tergemap. Sengap. Rekaman pengakuan Iris sudah membuktikan semuanya. Semua tanpa terkecuali.
“Kalau nggak cukup buktinya, aku saksi waktu di rooftop, Bu!” timpal Dienka cepat.
“Gue juga! Gue tahu siapa aja yang tindas Lana, Ibu Hanirama! Gue udah catet namanya di End Note!” kekeh Oyu, melirik Iris sekilas.
“Bu, saya juga punya bukti seragam Lana di siram air setiap harinya!” sahut Candra, mengacungkan jarinya setinggi mungkin.
“Saya juga punya bukti mereka menyelundupkan sampah di laci Lana, Bu!” Septhian tak mau kalah.
“Bener, Bu! Lana nggak mungkin sejahat itu!” pekik seorang introver garis keras yang kini mendongak, tak gentar menatap langsung ke mata Hani yang semakin terkinjat.
Kasak-kusuk terdengar ke sekian kalinya. Bahkan penuh keegoisan, mereka mempertahankan suaranya sendiri tanpa ingin peduli. Kalakian di sela banyaknya seruan, Iris masih sibuk dengan pikirannya—terlampau kehilangan akal. Ia bermaksud untuk kabur, tetapi takut mengambil risiko. Oyu masih memiting hulunya rapat-rapat.
Irena? Ia tergemap. Menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
Bunyi berdenging dari bibir-bibir para insan kian nyaring. Lebih-lebih kebanyakan guru ikut gegap gempita; memprotes aksi murid yang semangat empat lima untuk masalah huru-hara, tetapi kala diberi PR barang sepuluh soal langsung lemas tak berdaya.
Sebelum suasana kian mencengangkan, Pak Bledek gegas memasuki lapangan. Memutuskan untuk turun tangan.
“Jadi ... selama ini benar kalian menjahili Lana?!” lirih Pak Bledek, terlihat tak terima.
“I-i-i-iya, Pak,” balas salah satu siswa.
“Semua berita di mading ... hoax?” tanyanya lagi.
“I-iya,” kata siswi yang lain—mewakili Seksi Jurnalistik.
“Ckckckck?!” Pak Bledek menggeleng prihatin. Merasa ditipu oleh Breakbreak News yang disebut-sebut bisa dipercaya dengan baik itu. “Hukum saja, Bu! Lari mengitari lapangan tiga ratus kali!” usul Pak Bledek langsung pada Bu Hani.
“Jangan, Pak! Gak adil!” protes salah satunya.
“Jongan, jangan, jongan, jangan! Enak, kah, dilempar telur busuk dan menerima sumpah serapah? Disiram sampai basah? Ditindas padahal tidak bersalah? Lokernya dijadikan tempat sampah?”
Para murid menunduk, tak berani menyanggah.
“Semua yang terlibat penindasan, atau juga tak berkutik waktu lihat Lana dirundung, sekarang lari! Sebanyak 150 kali!”
“YAAAH, KOK GITU, PAK?!” desah keseluruhannya serempak.