Netra Lana berbinar samar tatkala bel pulang baru saja berkumandang. Karena baginya, surga keduanya saat ini—setelah mie ayam, tentunya— adalah bel pertanda berakhirnya pelajaran mereka. Tanpa berleha-leha, gadis itu mengemasi barangnya sepenuh hati; menyempatkan diri untuk berpaling ke bangku Irena yang lagi-lagi kosong—alpa.
Entahlah, meski tak lagi saling kontak mata atau pun menyapa, ia sungguh merindukannya.
“Sorry, Ka. Gue kelamaan, ya?” desisnya saat baru tiba di lapangan belakang sekolah—dataran yang telah terbengkalai.
Dienka yang tengah mengaduk mie instannya itu menoleh cepat, tersenyum manis. “Santaii ... kelas gue yang selesai lebih cepet, bukan lo yang kelamaan." Dienka menegapkan punggungnya. “Sini duduk! Udah gue sapu sama kasih handsanitizer!”
Lana turut tersenyum, mendekati Dienka dan bersila tepat di sebelah dara yang mendapat gelar 'Gadis Tertomboi Se-galaxy' itu. Dienka Anindita. Gadis berseri dengan surai super pendek yang sangat anti terhadap dunia perempuan; bertanya-tanyalah pada sang predestinasi yang membuatnya hidup dan dididik oleh ayah dan kakak lelakinya seumur hidup.
“Candra?”
Baru saja Lana membuka mulut untuk menjawab Dienka, pria dengan jersey hitam bertubuh atletik itu terlihat mendorong pagar lapangan menggunakan sikunya. Penyebab utamanya tentu akibat sepasang lengannya yang sibuk menatang beberapa makanan ringan juga minuman instan. Pria itu melangkah lambat mendatangi mereka dengan kerising nan terlampau tipis.
“Tuh,” tunjuk Lana.
“Waaah ... Mas Apatis peka banget!” ujar Dienka, berlagak terharu.
Candra, pria tadi meletakkan segala macam makanan ke lantai dan sedikit menatanya. Hingga setelahnya, laki-laki tampan itu mempersilahkan keduanya untuk menikmati penganan yang baru dibelinya. Mengacangi Dienka yang tersenyum kecut. Rupanya lelaki itu bisa jadi super menyebalkan!
“Kenapa lo gak pake keresek aja?” Dienka takjub lantaran hanya dengan kedua lengan kekarnya, Candra berhasil membawa puluhan objek dengan ukuran yang bisa dibilang besar.
“Dia anti banget sama namanya 'keresek'. Walau emang bisa mempermudah kita dan bisa di daur ulang, katanya sama aja merusak lingkungan. Karena plastik butuh puluhan atau ratusan tahun untuk bisa terurai,” terang Lana.
Dienka manggut-manggut, melirik Candra yang sibuk mengunyah keripik singkong. Hatinya menghangat kala tahu laki-laki dingin itu masih sempat memikirkan lingkungan sekitar. Ia lebih peduli dari kelihatannya. Sungguh sosok idaman.
Di tengah percakapan ringan mereka, tahu-tahu saja Lana berucap lirih, “Makasih, ya, guys. Kalian ... kalian bisa bertahan sama gue kayak gini. Gue tahu itu gak mudah, ‘kan bagi kalian? Maaf, ya ... udah bikin hidup kalian melenceng dari kata 'normal'.”
Dienka menaruh minuman botolnya ke permukaan tanah dengan kasar, “Kita berdua bertahan karena kemauan kita sendiri, bukan paksaan dari lo atau siapapun itu. Kalaupun nanti berdampak sama kita sendiri, kita gak punya hak buat salahin lo. Apa pun itu, gue gak peduli,” seru Dienka menggebu-gebu.
“Gue juga. Selama lo bolehin gue selalu ada di sisi lo, gue bakal selalu ada. Lo nggak perlu merasa bersalah karena belom bisa terima cinta gue. Gue yang salah karena biarin cinta ini tumbuh tanpa kepastian.”
Candra mengulurkan tangannya. Menggenggam erat telapak tangan Lana yang mendingin. Gadis itu menerimanya sepenuh hati, turut menentang netra itu lekat-lekat.
“Gue gak akan suruh lo pergi,” kisiknya selembut mungkin.
“Apa hobi kalian emang buat orang ketiga jadi nyamuk?” Wanodya dengan paras manis tersebut mengunyah marshmallow di mulutnya dengan tidak santai. Memecahkan tawa keduanya. Sukar, tetapi Candra akui tingkah Dienka memang menggemaskan.
Lega rasanya kala mereka bisa bertukar pikiran—meski dengan topik absurd— tanpa adanya cemooh, ocehan siapapun itu. Rasanya ketenangan ini tak akan mudah didapatkan lain waktu, jadi mereka memanfaatkan sebaik mungkin.
“Lo nggak perlu khawatir, Lan. Gue bakal selalu jadi sahabat lo. Ehm—itu sih kalau lo mau,” kata Dienka dengan ringisan yang menggemaskan. Lana lekas meresponsnya dengan kekehan spontan.
“Lo orang yang tulus, Ka. Mungkin orang lain gak tahu itu," sindir Lana. Menyebabkan Candra tersedak meski telah menyelesaikan acara makannya beberapa saat lalu. “Kalian jangan pergi dari sisi gue, ya? Karena kalaupun terpaksa, gue gak akan tinggalin kalian.”
🌻
‘BREAKBREAK NEWS:
Lana menolak ajakan Varen untuk berangkat sekolah bersama?!! Gila gak?
Aneh gak sih gaiz? Setelah Lana memelet Varen, dia malah menolak Varen mentah mentah!?!?! Trus apa gunanya dia melet melet, guna guna, Semar Mesem? Apa dia sok jual mahal? Atau sengaja bikin dia semakin viral?
Ini bukan hoakss belaka, gaiz! Saya melihat dan mendengar sendiri saat lewat didepan rumah Lana. Berikut bukti fotonya!
Apa pendapat kalian?
-Seksi Jurnalistik'
Segenap kelas kembali dibuat gempar di istirahat kedua itu. Bukti foto yang ada sungguh terbukti bukan hasil photoshop. Seluruh anak berbondong-bondong mengetes keaslian foto, dan hasilnya nyalar sama. Asli.
“Ups, sorry Lanaa!”
Lana mendongak kalang kabut; dan ketika tendas itu sepenuhnya menoleh ke atas, air mengguyur tubuh ringkihnya. Pemicu keseluruhan seragam sekolahnya yang basah kuyup. Setelah seluruh air menghujaninya, Lana hanya bisa menggigil dari dalam bilik. Bahana gelak tawa yang jelas mengejeknya memenuhi toilet itu, melengking puas. Padahal niatnya hanya ingin menyendiri; merenung; mengatur emosinya—tetapi yang ada dia kembali dibuat sakit hati.
Lana berdecak. Duduk memaku sebab tak membawa seragam pengganti—jelas saja. Berkali-kali ia mengembuskan napas berat melalui mulutnya. Melantas berangan bila Dienka atau mungkin Candra akan menemukannya dan kembali menyelamatkannya.
Bisakah?
“Permisi! Permisii, hish! Kalian semua wajib banget, ya, kumpul di depan pin ... tu!” Dienka mendelik, gegas berlari dan memeriksa ke lima bilik yang ia yakin setengah mati kalau-kalau salah satu biliknya memuat seorang Lana.
Pasti! Siapa lagi anak yang dirundung habis-habisan sesekolah?
Dienka menggeram ketika terlampau yakin kini. Namun anak-anak lain masih meneruskan tawa mereka yang sempat tertunda. Sungguh selera humor yang tidak berkelas!
“Lan!? Lo nggak apa-apa?”
Lana membelalang sempurna, terlampau sangat senang. Kalau saja bilik itu memungkinkannya untuk bersujud, mungkin ia akan melakukannya detik itu juga lantaran merasa sangat bersyukur.
“Dienka! Gue minta tolong, gu—“
“Gue ngerti, gue ngerti.”
Secepat kilat Dienka melepas jaket abu-abunya. Mengulurkannya masuk lewat celah di atas pintu bilik, titik yang sama di mana anak-anak tadi mengguyur tubuh Lana tanpa ampun.
“Lo ambil dan pake jaket ini—dan gak usah khawatir. Itu waterproof.”
Lana menyengguk. Buru-buru menyambar jaket berbahan kain taslan itu dan mengenakannya.
“Kalau udah lo cepet-cepet keluar, ya? Bentar lagi masuk.” Lana menganggut tanpa keraguan, masih berseru senang dalam hati. Kendati keduanya tersekat oleh pintu aluminium itu, Dienka tahu kalau Lana mengiyakannya.
“Oh, ya, KALIAN SEMUA LIATIN APA, HAH?! MAU GUE LAPORIN GURU BLEDEK?”
Anak-anak itu mencibiri perbuatan Dienka dengan gamblang. Bahkan ada satu anak dakar yang mendekatinya; tetapi gadis tomboi itu masih sibuk membelai lehernya yang terasa panas juga perih.
“Kenapa lo? Gue tomboi bukan asal tomboi! Gue bisa tendang kerongkongan lo sek—“
“Saran gue, lo jangan terlalu sayang sama dia.”
Dienka yang jelas buntu hanya mengerutkan keningnya dalam-dalam. “Dia siapa?”
“Lana. Karena entah sengaja atau nggak, cewek itu bakal lukai lo suatu hari nanti.” Dienka menutup mulutnya perlahan. Ain-nya memaku ke asal arah. “Oh ... atau justru lo udah rasain itu?”
Perempuan tadi terkikik, meninggalkan Dienka yang masih mematung. Merenung.