“Lana. Karena entah sengaja atau nggak, cewek itu bakal lukai lo suatu hari nanti.” Dienka menutup mulutnya perlahan. Ain-nya memaku ke asal arah. “Oh ... atau justru lo udah rasain itu?”
Perempuan tadi terkikik, meninggalkan Dienka yang masih mematung. Merenung.
“Dienka? Lo masih ada di sana?” lirih Lana, terdengar bergetar karena kedinginan.
Dienka gegas memalingkan wajah, berlari dan memeriksa keadaan sahabat barunya yang telah keluar dari bilik kamar mandi—apa sedang baik-baik saja atau sebaliknya.
“Gue gak di apa-apain. Tadi mereka cuma siram air waktu gue di dalem sana.”
“Ck, kok ‘cuma’, sih?!”
“Mereka beneran gak ngelakuin apa pun lagi!”
Dienka mendesah samar. Jelas tak suka saat Lana justru membela mereka, tanpa sadar membuatnya terlihat lemah. Ketika tangan Dienka tak sengaja menyentuh telempap Lana, Dienka kontan terperanjat.
“Tangan lo dingin banget, Lan!” Lana tersenyum. Bibirnya yang memutih itu masih bergetar, meski ia berupaya menyembunyikan. “Mereka siram lo pake air es?! Air dingin?”
Lana mengangguk. “Tapi bersih, kok—“
“Mau bersih ataupun kotor—mereka tetep kelewatan, Lan!”
Lana mengembuskan napasnya. Melangkah mendahului Dienka untuk keluar dari toilet yang telah sepenuhnya kosong. “Mereka belum lukain gue secara fisik maupun psikis, Ka. Gue beneran nggak apa-apa!” ujar Lana mantap.
Dienka hanya membisu, membuntuti Lana tanpa suara. Andai saja dia punya kemampuan untuk membaca pikiran dari seorang Lana, dia pasti tidak akan sebingung ini. Jalan pikir Lana terlampau rumit, penuh perhitungan tiap langkahnya—ia tak cukup cerdas untuk memahami itu.
'Semoga Lana baik-baik aja,' gumamnya.
🌻
“Lan.” Seorang gadis manis melekatinya, menggenggam lengannya dan memandang dua netra Lana dalam-dalam.
Gadis berkulit kuning langsat tersebut mulai berkaca-kaca. Mengeratkan genggamannya pada lengan Lana dan mulai terisak. Lana jelas terkejut mengingat perempuan ini kerap muncul dari kelompok-kelompok yang merundungnya dengan senang hati.
“G-gue minta maaf, ya, atas segala kesalahan gue. Atas segala rencana gue buat hancurin lo ... gue, gue gak mau lo—“
“Gue maafin, kok. Gue tahu lo orang baik; walau gue gak tahu kenapa lo minta maaf gitu aja—“
Perempuan tadi langsung mundur beberapa langkah, melepas genggamannya pada Lana. Lana menyela ucapan gadis itu dengan cepat, seakan memaafkan itu semudah menarik napas.
“Lo ... percaya gue minta maaf?”
Lana yang ucapannya dipotong hanya menautkan alis. Bingung akan maksud gadis yang ia ketahui bernama Areum, XI IPA 06.
Areum tertawa lepas. Jari-jarinya mengusap air mata dengan mudahnya.
“Selain cewek gampangan, lo cewek yang goblok juga, ya?” kekeh Areum, masih menangis lantaran terpingkal-pingkal. Menertawakan kenyataan Lana yang mudah dikelabuhi. Hal itu membuat lambungnya nyeri, muak dengan sikap Lana yang baginya sangat labil dan tidak punya pendirian.
“Kayaknya lo yang mulai 'perang' ini sama Irena. So, kenapa lo terima permintaan maaf gue semudah ini? Lo udah capek dirundung?" Areum kembali tergelak yang jelas untuk memojokkan Lana. Mempermalukan wanodya lugas itu di tengah lorong sekolah.
“Gue—“
“Lo pikir gue—Cewek Termanis Se-galaxy—bakal minta maaf sama lo?! Si Pencari Masalah? Eh salah, Si Penikung? Dukun abal-abal?”
Lana mengeraskan rahangnya. Menegapkan pungkurnya dan menatap nyalang pada Areum yang sibuk terkekeh. Humor yang aneh. “Gue nggak ngerti kenapa lo—yang bahkan gak kenal gue— berani mulai 'permainan' aneh yang memuakkan. Lo bahkan nggak tahu kisah gue sebenernya. Apa yang buat lo berani ganggu gue?!”
“Ya buat apalagi? Tentu buat bikin lo—cewek yang paliing dibenci banyak orang— rusak, ataupun musnah. Mereka—siswa-siswi— akan bikin nama gue melambung tinggi. Gue bakal muncul di update-an Breakbreak News and of course ... I'll get more famous.”
Lana tersenyum, senyuman miring yang mengintimidasi. “Ternyata lo cuma mau famous?” Lana berdecak beberapa kali seraya menggeleng. “Nggak sekalian jual diri aja? Gue yakin nama lo bakal tercantum di Breakbreak News dua minggu lebih. And congrats, you'll must be popular.”
“LO!?”
Lana menghempaskan lengan Areum yang bermaksud mencengkam lengannya.
“Hari ini gue lagi sensitif. Lo milih hari yang salah buat gangguin gue,” ujar Lana sebelum berlalu dengan ringannya.
🌻
“Bener! Gue tahu itu. Semua anak berlomba-lomba buat merundung Lana. Mereka pengen nama mereka tercantum di mading. Bagi mereka, itu hal yang cukup membanggakan.”
Varen mencebik. Muak. Ingin rasanya ia nyalar berada di sisi Lana, tetapi ia dibuat dilema lantaran takut memperburuk keadaan. “Apa yang harus dibanggakan dari merundung? Menurut gue, bully itu bumerang terberat yang bisa terlempar. Karma-nya gak main-main," ujar Varen. “Mereka udah merendahkan ciptaan Tuhan. Menghina orang yang bahkan setingkat sama mereka—karena bagi Tuhan, semua orang nggak ada yang lebih tinggi ataupun rendah.”
Septhian mengangguk cepat. Menyetujui ucapan Varen. “Gue gak tahu lo bisa ngomong kayak gitu.”
Varen terkekeh kecil, mendadak merasa angkuh. “Lo belum cukup kenal gue, Yan. Gue punya banyak pesona, bahkan dari harum kentut gue.”
“Najis.”
🌻
Seperti yang pernah disampaikan Septhian sebelumnya, hampir keseluruhan murid berlomba-lomba untuk mengusik Lana. Mulai dari hal yang ringan, sampai hal berat yang hampir menciptakan luka—jika saja tak ada Candra maupun Dienka di sisinya. Hari ini salah satunya, yang mungkin menjadi hari yang paling Lana tidak sangka-sangka.
“Lan, luka di kepala lo ini ....” Perempuan gila lainnya—Wanda XII IPA 08—meraba kepala Lana dengan kasar. “cuma palsu, ‘kan?” Wanda mendorong kasar tendas Lana, tepat pada bagian luka beberapa hari lalu yang masih basah dan kerap mengeluarkan darah.
Lana jelas meringis, memegang lukanya dengan ekstra hati-hati yang mungkin kembali meneteskan darah.
Wanda terkekeh bengis, mengerising, “Lo ngapain sih acting gitu? Lo pikir Varen liat? Oh atau Candra?” Wanda menggeleng tegas, “enggak untuk kali ini.”
“Kak, biarkan saya masuk ke kelas. Saya harus mengumpulkan—“
“Saya, saya! Huh, udaah. Nggak perlu berlagak sopan gitu. Semua orang tahu kali, kepicikan lo yang—“
“Lalu bagaimana? Apa saya harus mengata-katai kakak balik? Menjambak dan mengutuk kakak? Menampar atau mendorong kakak agar mendapat luka yang sama? Bagaimana, kak?” Lana mendengkus sejenak, “Saya tahu kakak tidak akan senang jika saya akan memanggil kakak dengan 'Lo' ataupun 'Jalang'—“
Plakkk
“Seru juga tampar cewek yang nggak tahu diri.” Wanda menyeringai, tetapi dalam sesaat matanya mendelik tajam. “Lo udah gue blacklist, Lan. Jangan berani bikin ulah! Jangan harap juga lo panggil gue dengan 'kakak'. Gue jijik! Gue nggak bakal ampunin lo lain kali.”
Wanda berlalu. Meninggalkan Lana seorang diri yang mulai meneteskan air mata. Ain-nya menjatuhkan titik demi titik air dengan mudahnya. Berusaha membuang luka yang telah menumpuk dalam kalbunya.
Tidak ada dirundung yang menyenangkan. Tidak ada.
🌻
“Tante!” Irena lekas berlari, memeluk tubuh Vena ketika perempuan berusia empat puluh tahun itu keluar dari kediamannya. Irena sungguh merindukan beliau setelah hampir menghilang beberapa pekan.
“Irena—astaga ... tante nyaris saja jantungan!” Irena terkekeh lirih, sedang Vena tersenyum santun. “Kenapa masih di luar?”
Irena mengurai pelukan keduanya. Iras cerahnya bersilih dengan cepat, kini ia tampak murung—meski itu samar.
“Kok malah diem, sayang?”
“Irena ... ehm, Irena mau ketemu Varen, Tante. Bisa?”
Vena menepuk pelan lengan Irena yang putih meta. “Kok tanya kayak gitu, toh? Memang kamu ini siapaa?” Vena beralih tergelak, sedang Irena—yang entah kenapa merasa kaku— tersenyum canggung.
“Irena lagi ada—“ Ucapan dara itu terpaksa berhenti tatkala satu motor mewah melaju dan berhenti di halaman rumah asri itu. Yang pada beberapa sisi tersinari lampu taman cantik dengan kilauan yang tidak terlalu menerangkan.
“Varen pulang!” seru Varen seraya melepas helm full face-nya.
Kontan Vena dan Irena sama-sama menoleh. Gadis remaja itu tampak tertegun menemui Varen di depan mata, sedangkan ia sendiri belum menyiapkan diri untuk bicara empat mata dengan pemuda itu.
Ketika Varen mendapati Irena berpijak pada teras rumahnya, ia mengesah dan cepat-cepat berlalu dari sana. Bisa jadi beranjak ke kamarnya megahnya.
“Varen! Astaga sayang, ini ada Irena!” seru Vena, berusaha menghentikan langkah Varen yang tampak terburu-buru tersebut.
“Sampein, Ma! Varen muak dan nggak mau ketemu dia lagi!” pekik Varen tanpa membalikkan arah.
Irena merunduk benguk, meremas kardigan hitamnya seerat mungkin. Benar, tidak semudah itu untuk berbicara dengan sisi Varen yang dingin. Lebih lagi setelah ia menghilang dengan tidak tanggung jawabnya.
Berbeda dengan Irena yang membisu, Vena terus mengemu—mengumpati sekaligus kagum dengan anak semata wayangnya yang bisa amat mirip dengan suami tercintanya.
“Irena duduk di sini dulu, ya? Tante bakal bujuk—“
“Nggak perlu, Tante. Sepertinya Varen benar-benar tidak mau menemui Irena. Irena pulang, ya, Tan?"
Vena dibuatnya melongo lebar, “Loh?”
“Salam sayang dari Irena buat Tante sekeluarga. Irena pergi!" Setelah memaksakan satu senyuman, Irena berbalik. Menghilang dari balik mobil putih mewahnya. Vena tak sampai hati untuk menahan Irena, pun akan percuma lantaran buah hatinya bukan tipe anak yang mudah dirayu.
Tok, tok, tok
“Kalau Mama—masuk aja. Kalau Irena—lo gak usah berharap buat denger suara gue set—“
“Hush udah, ini Mama!” sela Vena. Telempapnya mendorong lembut pintu kamar yang terbuka kecil. Ain-nya lekas mendapati Varen yang membelakanginya, menatap televisi. Jemari itu sibuk menggonta-ganti saluran. Suasana hati pemuda itu hancur berantakan, tetapi ia membiarkan Mama tercinta masuk dengan mudah.
“Ada masalah apa sama Irena?” Vena mendudukkan diri di sebelah Varen yang beralih mematikan televisi.
“Masalah besar. Rumit. Varen gak mau maafin Irena.”
“Kenapa? Sepanjang atau serumit apa pun—Mama akan denger.”
“Mama masih inget Lana, ‘kan? Varen beneran suka sama dia.” Varen menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke sofa abu-abu yang didudukinya, “intinya: Irena lukai Lana, karna Irena suka sama Varen.”
Vena mengerutkan keseluruhan bagian irasnya, berusaha menyimak.
“Besok kalau mood Varen udah membaik, Varen janji cerita dari awal sampai akhir kok, mah. Varen gak betah 'dingin' lama-lama.”
Vena tersenyum, membelai lembut poni depan anak kebanggaannya.
“Apa pun itu ... Irena pasti punya alasan, Ren. Atau mungkin ada satu, dua hal yang nggak kamu tahu dari dia. Satu yang Mama tahu, sakit hati itu menyiksa. Entah perlahan, atau terang-terangan.”