‘BREAKBREAK NEWS:
Tragedi di Koridor Tangga
Kasus Lana-Irena-Varen-Candra rupanya terus berlanjut, gaiz! Hari itu, tepatnya kemarin, Irena melabrak Lana waktu kelas mereka sepi. Irena menyuruh Lana untuk meminta maaf, tapi yang terjadi Lana justru mengolok-olok Irena yang sedang patah hati!?!?! SKSK GAK WARAS. Lebih lagi Lana menolak untuk minta maaf!! GILA GAK, TUH?! Karena Irena terlanjur emosi, ia lepas kendali dan mendorong Lana sampai Lana terkapar di UKS.
Eitss!! Bukan berarti Irena baik, ya, gaiz! Dia justru sengaja mendorong Lana! Lana emang harus dapet ganjarannya, tapi cara itu gak berkemanusiaan, kan?!
Lalu, bagaimana pendapat kalian?
-Seksi Jurnalistik'
“Orang gila!” desis Dienka berapi-api.
“Udaah,” ujar Candra berusaha menenangkan gadis itu.
“Udah gimana?! Iris makin ngelunjak, Can! Gara-gara dia makin hari Lana makin dibenci! Kasihan Lana!”
“Kita bisa apa?” lirih Candra pasrah. Tak ingin Lana yang sedang menatap kosong atas jalan raya itu tersadar akan apa yang mereka bicarakan. Lana memilih tak memakan apa pun kali ini.
“Gue mungkin gak bisa apa-apa ... tapi lo bisa, Can!”
“Kalau Iris bikin kabar aneh-aneh lagi? Kalau Lana gak 'tertolong' dan dia makin ... tertekan?”
Dienka berseru kuat-kuat. Percakapan ini sukses membuat kepalanya pening. Ketika menimbang-nimbang banyak hal, rupanya berdiam diri memang cara yang terbaik.
“Guys.” Lana berujar, “kalian gak perlu pusing-pusing mikirin jalan keluarnya. Kalian cukup ada di sisi gue. Dan dengan hal itu, gue bakal dan akan terus bertahan,” decit Lana. “Ya?”
Candra dan Dienka saling tatap sejenak, sedikit terbata-bata. Lantas lantaran sama-sama tertegun, keduanya beralih menyeruput mie ayam yang belum tersentuh sedikit pun dengan enggan. Hal itu semata-mata mereka lakukan sebab tak ingin berjanji dan mengingkarinya suatu hari.
🌻
“HAHAHAHAHAHAH!”
Gelak tawa memenuhi ruang loker tatkala Lana mendapati banyak sampah basah dalam lokernya. Membasahi serta mengotori baju olahraganya. Gadis itu memaku sejemang, tetapi lekas membanting pintu loker dan berlalu seakan hal itu normal-normal saja. Menyisakan desahan kesal dari para biang kerok yang mengamatinya.
Raga Lana langsung melemas di balik pilar bangunan, sesak akibat mendapati banyaknya kotoran yang membuatnya sengsara. Misofobia, tentu saja. Tubuhnya kuyup akan keringat dingin, ditemani detak jantungnya yang amat lajak—sedikit gelisah. Kemudian sebab tak tahan lagi, ia buru-buru melesat menuju toilet untuk memuntahkan isi perutnya pagi tadi di sana.
“Lo gak olahraga?” Lana mengiyakan pertanyaan Candra dengan anggukan. “Lagi?”
“Gimana lagi? Gue cuma punya satu setelan seragam olahraga.”
“Sana pinjem di ruang OSIS! Gue temenin.”
“Nggak, ah. Nggak apa-apa. Lagian aku lebih suka di kelas.”
Candra mengangguk, memahami gadis itu. Lana pasti jauh lebih nyaman menyendiri dengan angan-angannya banding melakukan kegiatan yang sangat dibencinya itu. Terlebih semua orang tak lagi 'ramah' padanya.
“Gue bakal sampein Pak Mat kalau lo nggak bisa ikut.” Lana mengangguk, memaksakan satu senyuman di bibirnya.
“Makasih ya, Can.”
Candra kembali menyengguk, sebentar kemudian segera berlalu dengan senyum manis yang terlampau tulus. Kadang jika begini, Lana jadi merenungkan ucapan Irena saat itu—mengenai Candra.
Apa lebih baik dia mencoba menerimanya?
“CK! Lo terlalu baik, Lan! Harusnya lo lawan mereka balik! Prinsip hidup lo apa, sih?!” Dienka merasa gemas. Kadang melawan balik sampai mereka terbungkam itu perlu!—prinsipnya.
“Prinsip gue—“
“Tenang dan selalu sabar,” potong Candra. Melebarkan senyuman di iras milik Lana yang baru akan menyatakannya.
Geram tetapi tak bisa melakukan apa pun, Dienka berakhir berdecak samar. Menenggak es jeruknya tidak santai.
“Eh, Can? Lo nggak ikut rapat ketua kelas lagi?” tanya Lana. Pertanyaan itu sedikit mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.
“Buat apa?” tanya Candra balik dengan cuek. Atensinya masih pada es campurnya yang terus ia aduk acak.
“Ya buat bahas sekolah, lah!”
Candra mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Gue udah nggak.”
Lana dan Dienka sama-sama menautkan kedua alis mereka, saling tatap penuh tanda tanya. “Nggak rapat lagi?” terka Lana ayal.
“Ketua kelas.”
“HAH?!” pekik Dienka penuh ekspresi, meski seharusnya Lana yang jauh lebih tergemap. “Kenapa? Jadi ketua kelas itu poin plus banget! Apalagi Glare High School kan SMA yang bergengsi!” imbuh Dienka masih sama terkejutnya.
“Ada seseorang yang harus gue jaga. Dan gue gak mungkin buang-buang waktu buat jadi Ketua Kelas.”
“Orang yang lo—“ Kedua netra Dienka membulat sececah. Tahu persis akan siapa yang Candra maksud. “oh,” lirihnya. Dienka lalu tertawa hambar.
Lana menentang Dienka beberapa saat; sedang Dienka masih membisu, memandangi gelasnya yang hanya menyisakan ampas gula. “Berarti Kaya yang sekarang jadi ketua kelas?” Lana bertanya.
Candra menganggut. “Siapa lagi yang bisa gue percaya? Lo gak bakal mau, 'kan?”
Lana tersenyum getir, memainkan kacamata yang ditanggalkannya. “Mereka juga gak akan sudi.”
“Udah ... kok malah jadi bahas ini?” desah Candra penat. Beralih menatap Lana sepenuhnya. “Lan, gue pastiin lo nggak akan berlama-lama di posisi ini. Gue bakal cari cara biar mereka tahu yang sesungguhn—“
“Jangan, Can. Gue udah banyak repotin lo!” sela Lana tegas.
“Nggak! Gue bakal tetep cari cara. Karna kalau hari itu gue gak bawa lo ke rooftop, mungkin semua ini nggak akan terjadi.”
Masih bersikeras, Lana menggelengkan kepalanya, “Nggak ada yang salah di sini, Can. Mungkin Tuhan lagi mau menunjukkan atau menyadarkan aku akan sesuatu, lewat peristiwa ini. Tuhan nggak mungkin buat umat-Nya menderita.”
Dienka masih terbungkam. Sepasang netra miliknya memandangi Lana yang masih sempat-sempatnya menyunggingkan senyuman. Boleh jadi jauh dalam hati gadis itu telah lelah mendapati banyak cobaan dari Sang Maha Kuasa; namun, Lana kentara sangat tabah. Hal itu sungguh melantarkannya iri.
“Semoga,” timpal Dienka dengan mata yang masih menerawang.
“Balik kelas, yuk? Semenit lagi bel,” ajak Candra.
Lana yang sesungguhnya tak memesan apapun itu lekas beranjak dari kursi. Ia hanya bisa melongo kala sekonyong-konyong Candra melemparkan hoodie hitam ke arahnya tanpa instruksi.
“Lebih baik mencegah daripada menghadapi."
Lana mengedikkan bahunya, bergegas mengenakan hoodie itu. Harum setiap jengkal kainnya khas, khas Candra yang maskulin sekaligus sweet.
“Tudungnya jangan lupa!” Penuh perhatian, Candra menaikkan tudung hoodie itu sampai menutupi keseluruhan iras Lana. Menciptakan seringai manis yang tersembunyi di balik tudung hitam itu.
“Lo gak balik, Ka?” Pemuda itu bersilih melirik Dienka yang lekas memecah lamunannya. Gadis itu sempat kehilangan fokus.
“Oh? Gue harus ke UKS. Hari ini gue tugas. PMR.”
“Nggak apa-apa kita duluan?” tanya Lana dengan suara lembutnya.
“Iyaaa, gue juga harus ke ruang OSIS dulu. Lagian gue juga biasanya sendiri.”
“Kita duluan, ya.” Candra menarik lengan Lana dengan lembut. Membawa gadis itu untuk berlari kecil, melesat ke koridor kelas mereka tanpa membiarkan Lana mengucapkan sepatah kata lagi pada Dienka. Jelas hal itu menimbulkan pertanyaan yang cukup mengusik Lana.
“Kenapa?" bisik Lana di sela langkah mereka menuju kelas.
“Apanya?”
“Lo kayak ... kurang suka sama Dienka,” cicitnya.
Candra bergeming cukup lama hingga akhirnya buka suara saat membelokkan tubuh ke koridor kelas X, “Bukannya kurang suka, tapi waspada.”
“Alasannya?”
“Nggak mustahil aja kalau Dienka utusannya Iris. Atau mungkin Irena. Atau Tania.”
Lana mangut-mangut, sedikit menyetujui ucapan Candra. Hanya sedikit. “Kalau lo terbukti salah?”
“Gue bakal terima dia,” ujar Candra mantap.
🌻
“Heh!”
Lana tersentak. Seseorang telah mendepak bangkunya dan membangunkannya secara tidak langsung dengan cara menyebalkan. Masih tergemap, dara itu mengedipkan dua ain-nya secepat kilat. Mengerutkan glabela ketika mendapati sesosok laki-laki—yang entah siapa— berdiri di hadapannya; memasang mimik garang.
“Siapa—“
“Gue minta lo beliin rokok lima kotak. Terserah merek apa, terserah juga di mana. Sekarang!” Sosok yang sama melempar beberapa lembar uang berwarna biru ke irasnya. Melantarkannya spontan memejamkan kedua netra dalam-dalam—menahan amarah.
“Maaf, gue bahkan gak kenal lo siapa.”
“Buruan! Lo goblok atau gimana, sih? Lo nunggu apa?!” sentaknya kasar, abai akan ucapan Lana beberapa detik sebelumnya.
Tersulut emosi, Lana mengeraskan rahangnya kuat-kuat, “Sekalipun lo kakak kelas gue, preman, orang kaya, atau apalah itu; gue tetep gak sudi! Kelas ini juga bukan kelas lo. Lo harus cari orang lain karena gue menolak.”
“LO BILANG APA?” Elard—laki-laki itu tertawa sarkasme. “Ternyata bener kata Iris; lo tuh kebanyakan gaya dan harus dikasih ganjaran yang berat.” Elard menyambar kerah Lana sekasar mungkin, hampir mencekiknya karena kuatnya tarikan itu.
Namun, belum ada dua detik lengannya mencengkeram kerah Lana, tahu-tahu saja pemuda lain berhamburan ke arah keduanya. Menghadiahkan satu bogem mentah tepat ke rahang Elard. Penyebab dari raga Elard nan terhuyung ke belakang.
“L—“
“Sekali lagi gue lihat lo deketin Lana, gue bakal bikin salah satu rusuk lo patah!”
Elard mengusap darah di sudut bibirnya. Menatap nyalang pada Candra yang naik pitam. “Lo pikir gue takut?” Elard menyeringai, membuat Candra maju beberapa langkah untuk melayangkan tinju lainnya—kalau saja tubuhnya tidak di tahan paksa oleh Lana.
“Gue bahkan nggak keberatan kita adu jotos sampai salah satu di antara kita gugur!”
Candra yang jauh lebih tenang itu tak mengindahkan ocehan Elard. Lebih tertarik untuk menentang iras Lana yang teramat khawatir tersebut. Merasa direndahkan Elard meninggalkan kelas mereka dengan umpatan yang terus ia ucapkan.
“Lo gak kena tonjok, ‘kan?”
Lana mengesah, menatap manik mata Candra dengan tajam. “Harusnya itu yang gue tanyain!”
“Nggak perlu khawatir. Kalaupun wajah gue babak belur, gue tetep ganteng.”
Lana menghantam dada bidang itu lantaran sebal, sedang Candra hanya menarik wanodya itu ke pelukannya. “Gue sayang lo, Lan.”
“Gue tahu," desis Lana membalas pelukannya.