“Masih sama?”
Varen mengangguk lesu. Menekuk punggungnya tanpa gairah seperti biasa.
“Bener kata dia, Ren. Lo ganti sasaran aja. Banyak yang nungguin cinta lo—terutama di SMA ini,” ungkap Septhian bersamaan dengan tangan kanannya yang menepuk-nepuk punggung Varen.
Bukan respons positif yang Septhian dapat, lengannya malah terhempas rampus.
“Gue datengin lo bukan buat minta gagasan itu! Apalagi lo suruh gue buat menyerah! Semangatin gue, dong!” sentak Varen gusar.
“Semangatin gimana lagi? Lo aja ditolak terus, nggak ada kemajuan.”
“Never give up moto gue.”
“Ngomong doang lo,” desis Septhian.
Varen merotasikan kedua bola matanya. Naik pitam meski tahu itu sia-sia. Lama-lama, Septhian justru menjatuhkan ambisinya alih-alih membakar semangat yang ia damba.
“Gue nggak peduli apa kata lo, Lana, ataupun orang lain. Gue bakal dapetin dia apa pun caranya. Gue nggak bakal menyerah sampai gue berhasil kelak. Gue yakin semesta kirim dia buat gue!"
“Lama-lama lo kayak tong kosong berbunyi nyaring,” kekeh Septhian.
“Lo remehin gue?!” sungut Varen. Jelas tak terima.
“Enggak. Gue cuma ... meragu.”
“Ini bukan suatu bualan!” Varen memukul mejanya sekilas. “Harapan gue kini harus terpenuhi. Gue harus dan akan dapetin Lana. Gue bakal buktiin sama dunia, juga semesta yang atur semuanya!”