—2019
Kilauan bias mentari memenuhi kamar sederhana milik gadis dengan netra hitam pekat itu. Ia menggeliat kecil di atas ranjangnya. Suara para ayam jantan memenuhi paginya. Semalam datang hujan serta badai, yang hanya menyisakan angin nan berembus lembut di sekitarnya.
Tatkala sadar apa yang tengah terjadi, gadis itu berdecak kesal. Dengan cepat lengan kanannya terulur guna menyibak gorden jendela yang dapat dijangkau dengan mudah melalui tangannya. Gorden itu terbuka lebar, dan tampaklah halaman rumahnya yang terlihat sangat kumuh akan jatuhnya potongan ranting-ranting kayu dan daun-daun kering dari pohon mangga besarnya.
Dia meringis ngeri, mendadak merasa harus dan wajib membersihkan halaman rumahnya secepat mungkin. Salah satu penyakit psikologinya kambuh.
Ia gegas cuci muka, mencepol rambutnya asal, lalu beranjak keluar—masih dengan baju tidur. Lantas dengan secepat kilat, tangannya menyambar sapu lidi beserta pengki usang berwarna biru. Bersiap untuk melakukan tugas yang mulia.
Gadis pengidap misofobia itu bernama Callia Lana Galatea—biasa dipanggil Lana. Umurnya baru enam belas tahun. Anaknya cantik serta manis, khas Indonesia. Terlebih badannya yang berwarna kuning langsat. Lana termasuk golongan tinggi meski badannya tak begitu berisi.
Orang-orang sebatas tahu kalau ia amat rajin, peka ketika lingkungan sekitarnya kotor. Padahal jauh dari apa yang mereka kira, gadis itu hanya takut kalau-kalau kuman atau virus di luar sana akan melukainya atau bahkan keluarga tersayangnya.
Sepagi itu dia keluar, kala jam masih menunjukkan pukul 05.23 waktu setempat. Ayam jantan masih asyik bersahutan, berkokok. Udara pun masih dingin, tetapi baginya itu sudah biasa. Sebenarnya Lana selalu tersenyum di pagi hari, tetapi berbeda dengan pagi ini. Wanodya itu menggerutu akibat kotornya halaman.
Kediaman Lana sedikit tinggi dari rumah lain—maksudnya, di depan rumahnya terdapat jalan tanjakan khusus yang terhubung langsung ke rumahnya. Yang membuat seakan rumahnya lebih tinggi dari yang lain, dan tentu terlihat paling mencolok. Taman di rumah Lana terpagar oleh pagar besi berwarna perak, mempercantik taman sederhananya. Memang sengaja keluarga mereka tak memasang gerbang untuk rumah, entah alasannya. Tidak ada saja. Keluarganya juga bukan keluarga berada, hidup mereka biasa-biasa saja. Meski begitu, mereka tetap bahagia lantaran selalu bersyukur.
“Sumpah, padahal semalem gue mimpi indah banget! Coba kalau gue punya uang. Gue minta orang tebang nih pohon,” sungutnya.
Dari atas, Lana dapat melihat mobil berukuran sedang melaju pelan. Kendaraan itu berhenti tak jauh dari depan rumahnya. Mobil Range Rover Sport 3.0 HSE berwarna putih. Masih terlihat berkilau dan mengkilap.
Pasti baru, pikirnya.
Sejenak Lana kembali berpikir, Siapa orang itu?
Ah ... kini Lana baru mengingatnya, kalau tak jauh dari rumahnya terdapat restoran baru. Ia dengar juga ada keluarga borjuis yang pindah dari Jakarta ke kotanya itu, Bogor. Dan mungkin, mobil itu membawa keluarga yang akan meninjau restoran mereka—terbukti dari mewahnya mobil itu. Tak ada orang sekaya itu yang pernah ia lihat sebelumnya—terkecuali sahabatnya. Lebih lagi di daerah rumahnya yang bermayoritas proletar.
Berusaha tak peduli, Lana melanjutkan kegiatan menyapunya. Sibuk akannya.
Hari ini hari Minggu—hari favoritnya. Di mana dia bisa membersihkan rumahnya dengan senang hati; karena seiring berjalannya waktu, penyakitnya tersebut berubah menjadi kegemarannya.
Lana berhenti bergerak sejenak, melonggok diam-diam ke mobil tadi. Rupanya masih di situ. Tak bergerak walau sejengkal. Gadis itu menghela napas. Berusaha fokus ke sekian kali, menyapu halamannya sekaligus membuyarkan lamunan sekilatnya.
Tahu-tahu, dia dikagetkan oleh suara jendela mobil yang turun dengan cepat. Secara otomatis, ia tentu menoleh. Didapatinya dari jauh seorang laki-laki yang tengah menggunakan kacamata hitam menatapnya lurus dengan senyuman samar. Sosok itu mulai menaikkan kedua alisnya dengan genit.
Tenang, laki-laki itu bukan om-om pengidap pedofilia. Manusia tadi hanya seorang siswa yang seumuran dengannya. Sepertinya.
“Sudah tiga menit?!” Lana menghentikan gerakannya. Menentang laki-laki itu keheranan. Karena setelah Lana berusaha tak peduli dan melanjutkan aktivitasnya seraya menghitung, lelaki itu masih setia menatapnya. Bahkan saat mobil itu berlalu, manusia misterius tadi tetap memandanginya. Sampai akhirnya jendela tertutup, sosoknya menghilang dari pandangan Lana.
Wajahnya tak dapat dilihatnya dengan jelas akibat langit yang belum begitu cerah. Lebih-lebih karena Lana adalah wanodya yang mengidap miopia atau rabun jauh. Sosoknya samar-samar terlihat.
Namun sebab tak peduli, ia melanjutkan kembali aktivitasnya sampai terpaksa terhenti sebagai reaksi dari suara yang mengejutkannya setengah mati, "Lanaaa! Kamu tuh pagi-pagi hilang, Mama kira ke mana, eh ... malah nyapu di depan. Dasar!" seru perempuan berkepala empat tersebut.
Lana meringis melirik Mamanya tanpa menyahut.
“Buruan masuk!” titahnya tegas.
“Nggak, Mah. Belum selesai!” tolak Lana yang justru mempercepat aktivitasnya, menghantar dedaunan kering yang basah masuk ke atas pengki yang dicekalnya erat-erat.
Inilah sukarnya kala memiliki penyakit fobia kuman seperti ini—Lana sungguh enggan meninggalkan kegiatan bersih-bersihnya sebelum sepenuhnya selesai. Karena pikirnya, akan terdapat patogen yang melompat keluar dari salah satu helai daun yang ada, lantas merambat masuk ke kamarnya.
“Ma-suk!!” hardik Mamanya penuh penekanan. Menyebabkan Lana menghela napas pasrah. Menyerah dan berjalan masuk ke rumahnya dengan langkah gontai.
Perempuan berprofesi Ibu Rumah Tangga itu sedari dulu ingin anak bungsunya sembuh dari misofobia. Hanya saja, tampaknya Lana menyukai penyakit anehnya itu. Sangat menyukai malahan.
Berusaha sekeras apa pun ia menahan, Lana tetap saja kerasan.
Yaah, begitulah Lana. Gadis unik yang isi kepalanya selalu sukar ditebak. Gadis pencinta kedamaian itu hidup dikelilingi semua orang yang menyayanginya. Terutama di SMA-nya, Glare High School.
Namun, itu sebelum semuanya berubah dalam sekedip mata.