Monik buru-buru menutup pakaian Rina. Dia merasa hampir mati sekarang. Rasa sesak di dalam dadanya kini benar-benar sempurna. Jika saja saat ini dirinya sedang berada di pantai, dia pasti sudah akan berteriak-teriak dengan lantang. Monik melihat sekitar, dia tidak mau gegabah. Berulangkali dia menarik napas, lalu mengembuskan napasnya. Dia tidak peduli meski panas menjalar di sekujur tubuhnya.
Setelah agak tenang, Monik menekan bel untuk memanggil dokter dan perawat. Lagi-lagi dia meremas-remas tangannya karena merasa cemas. Terlebih ketika dokter dan perawat datang. Di satu sisi, dia ingin ibunya diautopsi. Akan tetapi, di sisi yang lain, dia masih tidak rela jika tubuh sang ibu dibelah, lalu diambil organ-organ tubuh bagian dalamnya.
Monik memejam. Dia menguatkan hati untuk mendapatkan kebenaran.
“Maaf, Nona Monik, mengapa Anda memanggil kami?” tanya dokter berusia pertengahan empat puluhan yang sejak tadi mengurus sang ibu.
“D-dokter, bolehkah saya meminta permohonan untuk melakukan autopsi pada mayat ibu saya?”
Dokter berperawakan tinggi besar itu terdiam. “Sebelumnya, tidak ada yang pernah meminta hal seperti ini sama saya. Apa alasan Anda meminta saya untuk mengautopsi Ibu Anda?”
“Dokter, bisakah Anda melihat luka-luka di tubuh Ibu saya?”
“Luka?”
“Ya.”
Dokter bernama Adrian itu segera memeriksa keseluruhan tubuh Rina. Pria itu memakai sarung tangan, lalu segera meraba bagian kepala. Secara tidak sengaja, dirinya menyentuh luka yang ada di bagian kepala bagian kanan. Darah Adrian tersirap ketika mendapati beberapa bagian rambut yang menggumpal akibat darah yang mulai mengering.
“Nona, apakah Anda telah melihat semua luka yang ada di dalam tubuh Ibu Anda?”
“Tidak semuanya. Hanya saja, saya ingin mendapatkan kebenaran.”
“Apa Anda yakin? Tubuh Ibu Anda nanti akan diiris-iris, dipotong, dan diambil organ-organ bagian dalamnya. Apakah Anda siap dengan semuanya itu?”
Monik emosional. Dia menangis tersedu-sedu, tangannya gemetar, seolah-olah tidak siap dengan kenyataan yang harus diterimanya. Dia terduduk lemas, tetapi masih berusaha untuk menguasai diri meski dokter memberi saran bahwa dirinya tidak perlu malakukan itu jika memang tidak ingin.
“Tidak, Dok. Saya ingin Ibu saya diautopsi.”
“Baiklah. Saya akan mengirimkan surat permohonan kepada pihak forensik untuk memeriksa Ibu Anda. Anda berdoa saja supaya semuanya dapat berjalan dengan lancar, Nona.”
“Ya, Dok. Terima kasih. Lalu, sekarang saya harus bagaimana?”
“Anda harus menandatangani surat persetujuan untuk autopsi. Selanjutnya, Anda bisa menunggu.”
“B-baik. Akan saya laksanakan.”
Monik kini merasa sendiri. Dia ingin memberitahukan tentang kematian sang ibu kepada beberapa saudara. Akan tetapi, dia ragu sekaligus takut. Jika biasanya dia meminta pertimbangan dalam segala hal kepada ibunya, kali ini tidak lagi. Tak seorang pun yang akan dimintainya pertimbangan.
Gadis itu mengambil ponsel yang disimpannya di dalam tas. Dia bermaksud menghubungi salah satu saudara ibunya yang berada tak jauh dari rumahnya untuk meminta bantuan. Namun, sejak tadi dia hanya memutar-mutar ponselnya. Sesekali matanya terpejam, mencoba memikirkan apa pun yang sekiranya mungkin dilakukan. Tubuhnya lelah, hati dan otaknya lebih lelah. Sesungguhnya dia sudah tidak dapat berpikir apa-apa lagi sekarang.
Malam itu waktu telah menunjukkan pukul 22.00. Sudah hampir larut. Perut Monik mulai terasa lapar. Dia ingin sedikit saja mengecap makanan, tetapi kegalauan yang dirasakannya membuatnya malas bergerak sehingga dia lebih memilih diam di depan mayat sang ibu. Sampai lamunannya berakhir tatkala seseorang menyapanya.
“Hei, kamu … Nona Monik, kan?” tanya seorang lelaki berwajah tampan dengan cambang yang membuat wajah itu makin terlihat tampan.
“I-iya. Anda ….”
“Saya Danish. Klien Anda setahun yang lalu. Lebih tepatnya, klien pertama Anda.”
“Ah, ya, Danish, saya ingat.”
“Kenapa di IGD sendiri?”
Monik gugup. Dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan Danish dengan baik karena masih sangat sakit menyebut tentang kematian.
“Itu ibumu?”
Monik mengangguk.
“Apa ibumu ….”
Monik kembali mengangguk. Seakan-akan tahu tentang kesusahan yang tengah dialami oleh perempuan yang pernah menjadi konsultannya itu, Danish tersenyum, lalu memegang bahu Monik.
“Kamu sendirian aja?”
“I-iya.”
“Belum menghubungi saudara?”
“Aku … bingung.”
“Apa boleh aku bantu?”
Monik mengangguk.
“Boleh pinjam hapemu? Siapa yang pertama kali harus aku hubungi?”
“Tante.”
“Tantemu? Oke. Ini, kamu cari nama Tante kamu, nanti biar aku yang kabarin.”
Monik ragu-ragu. Sejak tadi dia ingin menghubungi siapa pun yang ingin dihubunginya. Nyatanya, itu tak semudah membalikkan telapak tangan karena selama ini dia dan ibunya selalu tertutup dalam hal apa pun. Satu-satunya orang yang cukup dekat dengan mereka adalah Rusiti, tante Monik sekaligus adik dari ibu Monik.
“Emm … Danish, sebenarnya … ada yang bikin aku ragu.”
“Apa itu?”
“Tadi aku lihat ada yang nggak beres sama mayat Ibu.”
“Lalu?”
“Aku minta Ibu diautopsi.”
“Boleh aku lihat?”
“Silakan.”
Monik dan Danish berjalan ke arah Rina. Danish segera memakai sarung tangan, lalu memeriksa bagian-bagian tubuh ibu Monik. Dia menemukan ada darah yang menggumpal di rambut. Darah itu sudah kering. Kemudian, dia menemukan luka-luka lain seperti luka bekas cakaran, serta luka bekas perlawanan di telapak tangan sebelah kiri.
“Tadi dokter bilang apa tentang kematian ibumu?”
“Gagal jantung.”
“Ini bukan gagal jantung. Ini kematian yang disengaja alias pembunuhan. Penyebab kematian akan diperoleh ketika kamu melakukan autopsi. Kamu sudah benar, Monik. Emm … apa kamu sekarang baik-baik saja?”
“Tidak. Tidak begitu baik.”
“Ya … ya … aku paham. Sudah makan?”
“Belum.”
“Akan kupesankan makanan. Makanlah dahulu, akan aku urus jenazah ibumu. Jangan memikirkan apa pun. Oke?”
“B-baiklah, Danish. Terima kasih.”
Danish segera mengambil ponselnya. Dia menggulir ponselnya. Sejurus kemudian, dia menelapon seseorang, lalu berjalan cepat meninggalkan Monik seorang diri. Dalam kesendiriannya, Monik kembali menatap wajah sang ibu. Tanpa ragu, dia mengelus wajah sang ibu, lalu mencium dahi wanita berusia setengah abad itu.
“Ibu, siapa yang melakukan ini pada Ibu? Apakah Ramon keparat itu ataukah orang lain? Ibu, tolong aku. Aku ingin menemukan orang itu.”
Monik kembali menangis. Kali ini tangisnya tumpah. Dia tidak peduli meski di sekitarnya ada beberapa perawat dan pasien yang masih diperiksa. Bagaimanapun, dia berjanji akan menemukan keadilan dan kebenaran untuk mengungkap semuanya.
“Ibu … bantu Monik menemukan orang itu. Bantu Monik, ya, Bu. Monik tahu Ibu tidak akan selamanya meninggalkan Monik.”
Monik kembali menangis. Dia berusaha untuk tetap tegar, tetapi tidak bisa. Dia terus menerus menangis sambil memegang tangan Rina, seakan-akan tidak mau berpisah. Monik baru mengusap air matanya ketika Danish kembali datang.
“Monik, sudah aku urus semuanya, juga untuk proses autopsi ibumu. Jika boleh, aku ingin memeriksa rumahmu. Boleh minta alamatnya?”
***
Pembukaan yang menarik, semangat Bundo 😍
Comment on chapter KAFE