Lily memasang sepatu nya dan bersiap keluar dengan langkah mantap.
"Hari ini adalah harinya," gumamnya lalu berjalan keluar pintu rumahnya dengan wajah yang cemas sedetik kemudian berubah dengan wajah bertekad bulat melakukan sesuatu. Setibanya di sekolah, dia memandangi Rino agak lama. Rino yang merasa dilihat seseorang, instingnya langsung menoleh ke arah orang yang memandanginya. Lily tidak membuang mukanya, malah dia terus menatap intens kepada Rino. Ditatap seperti itu, membuat Rino salah tingkah dan memalingkan pandangannya dari Lily.
"Sepertinya benar, dia mengalami gejala aneh bila melihatku. Sampai dia tidak nyaman melihatku begitu," gumamnya sendiri. Setelah bel istirahat berbunyi,
"Ibu, boleh tidak aku pindah kelas?" ujar Lily pada wali kelasnya di kantor guru.
"Kenapa Ly? Ada yang menggangumu?" Tanya Ibu gurunya khawatir.
"Tidak. Justru sayalah yang membuat teman saya sakit,"
"Sakit kenapa?" tanya wali kelas penasaran.
"Katanya sakit jantung bila melihat saya," ujar Lily dengan nada meyakinkan.
Wali kelasnya pun hanya bisa tertawa kecil. Baru kali ini dia mendapatkan keluhan ingin pindah kelas seperti itu.
"Dia hanya bercanda," ujar Ibu itu.
"Tidak bu, katanya dia akan sakit bila melihat saya. Ini serius bu,"
"Siapa orang yang mengatakan itu?"
"Rino, bu," jawab Lily.
Setelah itu, Rino di panggil ke kantor guru melalui pengeras suara.
"Jadi benar, kamu ingin dia pindah kelas," kata Wali kelas kepada Rino.
"Tidak," Jawab Rino heran.
"Tapi kamu kan mengatakan kemarin tidak ingin melihatku. Itu artinya kan berarti aku harusnya tidak sekelas denganmu," kata Lily.
"Hei, siapa yang bilang begitu? Kamu ini benar-benar ya. Ibu, itu tidak benar, dia cuma salah menafsirkan, Bu. Saya minta maaf atas kelakuannya. Permisi, Bu," sambil berkata begitu, Rino menarik paksa Lily untuk keluar dari kantor guru. Setelah keluar dari kantor, Rino melepaskan Lily dan pergi dari sana lebih dahulu tanpa sepatah katapun dengan wajah kesal. Lily hanya bingung melihatnya.
"Kamu darimana lily, tidak keliatan dikantin?" Rengut Syifa.
"Aku ke kantor guru," jawab Lily dengan nada lelah lalu meletakkan pipinya kemeja.
"Kenapa kamu kesana?"
"Soalnya aku ingin pindah kelas,"
Kenapa kamu ingin pindah kelas? Tanya syifa mulai sedih.
"Engggg... karena Rino--" tak sempat lily melanjutkan kata-katanya, mulutnya langsung dibekap oleh Rino dari belakang. Dengan meronta-ronta, Lily mencoba melepaskan tangan Rino yang membekapnya. Dwngan bantuan Syifa, mereka berusaha dengan susah payah untuk melepas tangan Rino yang membekap mulut Lily. Setelah lepas,
"Rino, kamu itu keterlaluan banget yah. Kenapa kamu terus mengganggu Lily? Apa kamu masih dendam gara2 dia melemparmu waktu itu," bentak syifa.
Rino hanya diam.dia hanya menatap Lily dengan tajam.
" Mungkinkah karena kamu masih dendam padaku jadi jantungmu berdebar2 ingin membalas dendam??!"
Rino hanya menyunggingkan bibirnya.
"Tuh, benar kan??"
"Kenapa Ly?" Kata syifa penasaran.
"Kata Rino setiap kali melihatku dia ---" mulut Lily dibekap lagi oleh Rino. Kali ini Rino menyeret tubuh Dinda menjauh dari kelas.
"Kamu diam disini!" Perintahnya pada Syifa yang langkahnya terhenti pada saat ingin mengikuti mereka berdua. Syifa terdiam gugup saat melihat mata Rino yang tajam.
Di atas tangga lantai 3 yang sepi, Rino menyeret Lily.
"Kamu itu bodoh atau apa?" Tanya Rino kesal.
"Atau apa? Apanya itu apa? Apa itu maksudnya Pintar atau cerdas?" Tanya Lily balik.
"BO.DOH ATAU PIN.TAR," ujar Rino dengan suara meninggi. Lilypun berpikir sejenak dengan maksud pertanyaan Rino. Dia terlihat memikirkan antara dua pilihan itu yang masuk kategori dirinya sekarang.
"Mungkin aku bodoh," ujar Lily cengengesan. Rino menengadahkan kepalanya sambil menahan rasa kesalnya.
"Kamu sebodoh itu kah?"
"Maksud kamu bodoh dalam hal apa? Kalau pelajaran aku tidak bodoh-bodohamat tapi kalau menilai orang aku kadang tidak mengerti,"
"Ya itu dia! Kau ternyata paham juga ya kalau kamu tidak pandai menilai orang,"
"Jadi kenapa kamu menyeretku kesini?"
"Kamu juga tidak paham kenapa aku menyeretmu kesini?"
"Hmmm, sebentar aku berpikir dulu..."
"......."
"Ah, pasti kamu malu aku mengatakan tentang kita yang ada di ruang BP tadi kan," tebak Lily. Rino mengangguk pelan tapi masih dengan tatapan kesal.
"Lalu saat aku ingin memberitahu Syifa, kamu malu dan takut kalau syifa salah paham. Jadi kamu masih punya rasa dengan Syifa, ciyeee," Lily menyubit pinggang Rino. Rino sontak kaget dan ekspresi wajahnya berubah menjadi gugup.
"Wahhh, ternyata aku benar. Kamu masih ada rasa dengan Syifa. Jadi kamu --" mulut Lily kembali ditutup paksa dengan tangan Rino.
"Sudah hentikan. Semua yang kamu pikirkan tidak benar dan ngawur. Aku hanya tidak ingin dipermalukan dan disalahkan. Jadi anggap yang aku katakan dan aku lakukan itu hanya karena aku lagi ada masalah di rumah dan aku sedang membutuhkan seseorang. Jadi maaf telah berkata sesuatu yang membuatmu salah paham," jelas Rino tanpa menatap Lily. Dia menatap jendela dengan ekspresi kikuk. Lily meremas pergelangan tangannya.
"Oh begitu. Oke, aku akan melupakannya. Jadi aku akan ke kelas sekarang," ujar Lily berlari kecil menuju ruang kelas. Sementara itu Rino tetap berada ditempat.
"Apa dia benar-benar tidak paham apa yang aku lakukan padanya?" Gumam Rino sembari mengacak-acak rambutnya.
Setelah pulang dari sekolah, Lily masuk ke dalam rumah dan diruang tamu terlihat Ayahnya sedang menerima tamu. Berpakaian Rapi dan berkacamata terlihat dari penampilan orang itu. Dengan wajah datar, Lily membungkuk memberi hormat pada tamu itu lalu setelahnya berlalu menuju kamarnya.
"Anakmu sudah besar ternyata," ujar Tamu ayahnya itu.
"Ya, dia sudah SMA," jawab Ayah Lily.
"Kamu ingin daftarkan kuliah ke luar negeri. Apa dia setuju?"
"Dia anaknya penurut dengan Ibunya. Apapun yang Ibunya katakan dia akan menurut. Sudah, kamu bantu aku saja memilih jurusan mana yang tepat untuknya nanti agar bisa bermanfaat untuk bisnis kita juga," ujar Ayah Lily. Temannya itupun tidak melanjutkan percakapan tentang Lily. Mereka pun hanyut dalam perbincangan bisnis yang lumayan serius itu. Sementara Lily, menatap langit kamarnya memikirkan apa yang terjadi di sekolah tadi. Dia menyentuh dadanya.
"Aku juga berdegup, Rino. Karena itu aku ingin pindah kelas. Ini membuatku tidak nyaman," gumam lily. Dia mengingat saat Rino memeluknya dan itu membuat jantungnya juga berdetak cepat. Perasaan aneh itu membuatnya sedikit bahagia namun baginya itu adalah hal yang tidak boleh terjadi karena akan menganggunya.
Besoknya disekolah,
"Hei, bodoh. Apa kepalamu masih kosong hari ini?" Ejek Rino tiba-tiba saat Lily menempati kursinya pagi hari itu. Lily hanya menaikkan alisnya tanda bingung dengan ejekan Rino tersebut.
"Hei, Rino! Jangan keterlaluan sama Lily!," bentak syifa tiba-tiba dibelakang Rino. Dia terlihat kesal dengan ulah Rino tersebut.
"Dia sendiri yang menyebut dirinya BO-DOH," ujarnya sembari menyunggingkan bibir menatap Lily sinis. Najis banget, kenapa juga aku gugup dan berdebar pada saat itu? Untung saja aku tidak mengatakannya pada org gila itu, kalau tidak mungkin dia juga mengumumkan itu pada orang lain bahwa aku berdebar, batin Lily merasa sedikit lega. Rino dan Syifa pun adu mulut disebelah Lily, sementara Lily memandangi mereka berdua sesaat sebelum mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Daun kering berguguran dihalaman sekolah. Beberapa diantaranya tidak sampai ketanah karena naik membumbung tinggi ditiup angin kencang. Mungkin akan ada saat aku harus memghadapi angin kehidupan ini? Batinnya menerawang ditengah hiruk pikuk senda tawa, suara, jeritan orang didalam kelasnya.
Besoknya, Rino kembali mengejeknya. Tapi Lily hanya menatapnya kesal saat dia memanggilnya 'bodoh' lalu duduk agak kesal di bangkunya. Setelah jam istirahat, Rino kembali mengganggu Lily yang tengah tertidur ,"Hei, bodoh, kenapa kamu tidak makan?" Kata Rino dengan suara menjengkelkan. Lily tidak peduli, dia mengambil buku menutup wajahnya. Rino dengan jahil mengambil buku itu dari wajah Lily. Lily kemudian menutup wajahnya dengan rambutnya. Rino yang duduk didepannya diam mematung. Beberapa menit kemudian, dia menopangkan tangannya diatas meja Lily, memandang ke arah wajahnya yang sebagian terlihat dari balik rambutnya. Merasakan hawa keberadaan manusia didekatnya, Lily mengangkat kepalanya. Benar saja, hawa manusia yang dia rasakan itu berada dekat dengan wajahnya. Ketahuan sedang memperhatikannya yang sedang tidur, bukannya gelabakan atau pergi karena ketahuan, Rino justru tersenyum manis.
"Kenapa kamu?" Tanya Lily.
"Tidak apa-apa," jawab Rino tetap tersenyum.
"Mencurigakan. Pergi lah sebelum aku meneriakimu mesum, hussh hussh" pinta Lily sembari menyuruhnya pergi dengan gerakan tangannya.
"Baiklah," ujar Rino patuh. Seketika mata Lily terbelalak melihat apa yang terjadi. Rino langsung bangkit dari kursi didepan meja Lily dan beranjak kembali ke kursinya. Lily melongo ternganga melihat itu namun seketika dia mengatup kembali mulutnya saat Rino menatap sekilas kepadanya lalu menelungkupkan wajahnya ke atas meja.
Whatt the hell is that, batin Lily sambil bergidik.