Vanta meraba lehernya, mencari sesuatu yang sejak lama melingkar
di sana. Kosong. Ia baru ingat beberapa hari yang lalu melepas kalung itu. Vanta
lalu membuka laci meja dan mencarinya. Tidak ada. Dia beralih ke ransel yang
biasa digunakannya ke kampus. Membongkar dan menerbalikannya hingga
barang-barang dari dalam tas berserakan di lantai. Tidak ada juga.
Bukan karena rindu pada orang yang memberikannya. Sama sekali
bukan. Kebiasaan memakai kalung selama empat tahun terakhir membuat Vanta
merasa aneh tanpa keberadaan aksesori itu di lehernya. Vanta akhirnya menghela
napas pasrah. Mungkin ia lupa meletakannya di mana. Biasanya akan ketemu jika
tak dicari. Lagi pula, lambat laun Vanta harus melepaskan kalung itu.
Setibanya di kampus, Jessi sudah menunggu di dekat parkiran. Cewek
itu mengirim pesan sebelum Vanta berangkat. Pasti dia tidak sabar mendengar
cerita tentang Ferdi.
“Gimana, gimana kemarin?” serbu Jessi tak sabar. “Sukses?”
Tuh, kan.
“Sukses apanya?” Vanta berjalan mendahului Jessi, tapi gadis itu
buru-buru mengejar.
“Apalagi? Ya PDKT-nya lah ...” Gadis itu menyelipkan tangan di
lengan Vanta.
Diliriknya Jessi sekilas, Vanta mendesah dan berkata, “Siapa yang
PDKT sih? Kemarin cuma belajar kamera aja, kok.”
“Masa sih cuma itu? Nggak ngobrol lain-lain gitu?” tanya Jessi tak
percaya.
“Ngobrol dikit, sih. Tapi sebentaran, habis itu gue balik.”
“YAHH, KENAPA?”
Mereka memasuki lift menuju workshop.
Niatnya Vanta mau melanjutkan tugas di sana. “Ih! Si toa. Ya nggak kenapa-napa,
soalnya gue udah harus pulang.”
Jessi terbelalak mendengar
alasan Vanta. Bisa-bisanya cewek itu mikirin pulang saat di sebelahnya ada
cowok ganteng yang katanya tipe Vanta. “Padahal kemarin itu kesempatan tau!
Kapan lagi kalian bisa berduaan? Timing udah pas, suasana mendukung, aturan lo
ajak ngopi dulu kek, nonton, atau traktir di kantin minimal. Ini kenapa kabur
pulang, deh? Emangnya lo anak SD yang pulang sekolah harus langsung pulang ke
rumah? Yee ... si kampret, dia malah cengengesan.”
Benar, Vanta menyeringai mendengar komentar panjang lebar Jessi.
“Sorry kawan, usaha lo jadi sia-sia. Tapi kayaknya gue nggak bisa
sama dia. Baik sih, orangnya. Tapi justru karena itu. Gue jadi ngerasa dia—”
“Terlalu baik buat lo,” sergah Jessi langsung.
Pintu lift terbuka. Vanta
tertawa karena ucapan Jessi persis seperti yang akan dilontarkannya.
“Basi lo, Ta! Alasan klasik itu! Ngaku deh, pasti ada sebab
lainnya.”
Tawa Vanta terhenti. Gadis itu berpikir selama beberapa saat
sebelum menjawab, “Setelah ngobrol kemarin, gue cuma ngerasa kayaknya nggak
bisa secepat ini. Kenalnya juga baru, belum ada feeling yang gimana-gimana. Asik sih orangnya, tapi ... apa ya? Nggak
lebih dari itu pokoknya.”
Vanta mendorong pintu workshop
dan menahannya agar Jessi masuk lebih dulu. Tindakan manis yang membuat Jessi
betah berteman dengannya. Kalau kata Jessi, berasa punya pacar. Andaikan Vanta
itu cowok, Jessi pasti sudah naksir!
Jessi menganga mendengar penjelasan Vanta. Padahal dia amat yakin,
Ferdi itu tipe Vanta banget. Cowok baik-baik
berkharisma yang tampak bersahaja dan berwawasan luas. Akan cocok kalau
mereka jadian. “Lo nggak deg-degan deket dia? Nggak ada getar-getar gitu?”
Vanta mengetuk-ngetuk jari telunjuk di dagu, memasang raut
berpikir. “Ada. HP gue yang getar-getar.” Kemudian terbahak.
Baru memutar mata sebal, tiba-tiba wajah Jessi memucat. Mulutnya
terkunci rapat-rapat. Tidak mengeluarkan protes seperti yang dipikirkan Vanta.
“Ta,” bisik Jessi tersekat.
Vanta yang sedang sibuk mengeluarkan peralatan gambar hanya
menjawab dengan gumaman. Tak memerhatikan reaksi sahabatnya. Tapi kemudian
Jessi menyiku lengannya sampai ia mengangkat kepala dan mengikuti lirikan gadis
itu.
“Itu kan temennya Alvin,” ujar Jessi masih dengan suara super
pelan.
“Yang mana?”
“Yang baju biru.”
Jujur saja, Vanta kesulitan mengingat wajah-wajah itu. Hanya wajah
Alvin yang tersimpan di memorinya. Itu pun karena insiden lapangan basket.
Kalau cowok itu tidak “menyapa” lebih dulu, mungkin Vanta akan lupa bentukannya.
“Jangan-jangan nanti orangnya
...” Sebelum kalimat Jessi selesai, kedua cewek itu mendadak
bergandengan tangan. Terperanjat ketika seorang lagi memasuki workshop.
Vanta dan Jessi langsung buang muka. Mereka pura-pura sibuk menyusun
peralatan tugas Vanta di meja. Kerja tim yang sangat baik. Keduanya berharap
cowok itu tidak melihat mereka. Atau jadi transparan saja sekalian.
Saat itu, Alvin yang belum menyadari keberadaan Vanta dan Jessi
tampak serius mengobrol dengan temannya. Sampai suara benda jatuh membuat cowok
itu berpaling.
Vanta langsung meringis ketika Jessi tanpa sengaja menjatuhkan
gunting miliknya. Perlahan Vanta menunduk untuk mengambil gunting yang terjatuh.
Detik-detik yang mencekam itu terasa seperti bertahun-tahun lamanya. Untuk
sekadar bernapas saja Vanta tidak berani. Gerakannya bisa dibilang sangat
lambat, entah apa gunanya, toh dia sudah ketahuan. Tapi insting bertahan hidup
tetap diaktifkan.
Jantung Vanta berdegup kencang. Bicara soal getar-getar,
sekaranglah saatnya Vanta merasa tangannya yang memegang gunting bergetar. Alih-alih
karena Ferdi, Vanta justru berdebar karena Alvin dalam artian berbeda.
Sialan!
Vanta tidak takut pada Alvin, sungguh. Hanya saja, ulah cowok itu
yang bikin Vanta mendadak sesak napas dan menerka-nerka, kira-kira apalagi yang
akan dilakukan cowok itu padanya. Vanta memberanikan diri untuk melirik. Tepat
pada saat yang sama, Alvin sedang menatapnya dengan ekspresi datar. Cowok itu
lalu memalingkan muka dan kembali megobrol sambil tertawa dengan teman-temannya.
Mereka tak bertahan lama di dalam workshop.
Desahan keras lolos dari mulut Jessi setelah Alvin cs keluar. ”Haah!
Selamat, selamat ...! Untung, untung ...!”
Pandangan Vanta belum beralih. Masih di tempat Alvin berdiri tadi
meski cowok itu sudah pergi.
“Dia nggak ganggu lo, Ta. Malah ngelihatnya seolah kayak nggak
kenal gitu. Udah bosen kali, ya?” ujar Jessi lagi. “Bisa bernapas lega nih,
kayaknya.”
Entah bagaimana Vanta merasa sangsi. Anehnya, dia akan merasa
lebih lega kalau tadi Alvin menghampirinya dan cari ribut dengannya. Sinting, bukan?
Ketenangan cowok itu malah terasa janggal. Firasat Vanta berkata, Alvin
tak akan membiarkannya semudah itu. Ini terlalu ajaib. Tetapi, apa benar Alvin
sudah bosan mengganggunya?
***
Alvin mendengkus mengingat raut gadis itu di workshop tadi pagi. Vanta seperti tikus yang sedang tertangkap
basah mencuri makanan. Pasti cewek itu super bingung saat melihatnya mengabaikan
Vanta. Mungkin cewek itu sedang lega karena Alvin mengabaikannya. Namun sayang,
ia tidak akan membiarkan ketenangan Vanta berlangsung terlalu lama.
Belum saatnya menghentikan gencatan senjata. Alvin sendiri tidak
tahu, sampai kapan semuanya akan berakhir. Sampai kapan dia akan merasa puas
membalas Vanta. Pertanyaannya, apakah yang Alvin lakukan semata-mata demi memberi
pelajaran pada cewek itu? Rasanya dia sudah tidak terlalu memikirkan kejadian lemonade di kantin tempo hari.
“Vin, Pepsi lo lagi on the way kantin,” lapor Andre yang
sedang menempelkan ponsel di telinga. Cowok itu mendapat kabar dari Edo yang
telah diberi mandat oleh Alvin untuk mengawasi pergerakan Vanta.
”Oke. Pastiin jangan sampe ada yang dudukin bangku Sang Putri.”
Mata Alvin terarah pada salah satu tempat kosong di sebelah jendela, tempat
favorit cewek itu.
”Sip, man,” Andre
mengacungkan jempol kanannya, kemudian menuju meja yang dipersiapkan untuk
target mereka dan berdiri di sebelahnya.
Karena Andre tak kunjung duduk, beberapa mahasiswa bolak-balik
menanyakan apakah meja itu kosong. Tetapi Andre langsung mengusir mereka. Cowok
itu menjalankan tugasnya sama baik dengan Edo yang mengawasi Vanta sejak tadi
tanpa ketahuan.
Sambil mengunyah permen karet, Alvin berdiri di samping salah satu
food stall. Tempat terbaik untuk
menyaksikan pertunjukan. Panggilan tak terjawab dari Edo menandakan Vanta sudah
berada di kantin, artinya Andre harus menjauh dari meja itu agar tak dicurigai.
“Lo yakin dia bakal duduk di situ?” tanya Andre, menarik bangku
dekat Alvin.
“Dia selalu duduk di
sebelah situ.”
“Kalo salah sasaran, gue nggak tanggung, ya.” Andre mengangkat
kedua tangan di depan dada.
Alvin ikut duduk dan menyeringai. “Tenang aja. Kalo salah gue yang
tangung jawab. Tapi gue yakin.”
Mereka memasang mata baik-baik ketika melihat Vanta dan seorang
temannya memasuki kantin. Cewek itu mengatakan sesuatu pada temannya dan
menunjuk tempat kosong yang disediakan Alvin khusus untuknya. Tinggal melihat,
bangku sebelah mana yang diduduki cewek itu.
“Gila, gilaa!!” seru Andre takjub. “Persis kayak yang lo bilang,
Vin! Bangkunya juga yang hadap ke taman.” Sementara Alvin hanya tersenyum
bangga mengangkat sepasang alisnya tinggi-tinggi.
Tak lama, Edo dan Toto bergabung dengan mereka. Kebetulan Edo
berpapasan dengan Toto di depan kantin. Toto tidak tahu-menahu mengenai rencana
Alvin. Sebenarnya dia memang tidak pernah ikut terlibat dalam melaksanakan ’misi’. Toto tak suka iseng atau berulah
seperti Alvin. Tapi mereka sudah berteman sejak lama.
”Ngapain lagi kali ini?” tanya Toto mengendus rencana sobatnya.
Alvin tersenyum miring. “Lihat aja nanti.”
”Ck, tu cewek! Nggak
kena, Vin, kayaknya.” Andre berceletuk dengan gemas. Di sampingnya, Edo ikut
memantau.
”Sabar,” ucap Alvin santai.
Beberapa menit setelah mereka melihat Vanta menyantap habis
makanannya, cewek itu menyandarkan diri di bangku. Andre dan Edo dengan kompak
berdesis, “Nice!”
Reaksi Alvin tentu saja puas. Hanya Toto yang keheranan, menatap
mereka satu per satu mengisyaratkan pertanyaan. Tapi tidak ada satu pun yang
hendak buka suara. Sampai Toto beralih pada Vanta, barulah ia paham apa yang
terjadi.
Gadis itu menegakkan badan, namun sesuatu sesuatu seperti
menariknya. ”Apaan nih?” Bahkan Alvin dan kawan-kawan bisa mendengar keluhan Vanta.
Dari tempat duduknya, Alvin bisa melihat dua cewek itu kelabakan.
Dia mulai beranjak ketika Vanta meringis dan berusaha melepaskan sesuatu yang
menempel di kuncir kudanya. Cewek itu mengumpat kesal.
“Perlu bantuan?” tanya Alvin menghampiri meja Vanta.
Cewek itu sontak mendongak. Berdiri dari bangkunya dan menatap
Alvin murka. “Elo!” tujuk Vanta. “Pasti lo yang rencanain ini semua!”
Untuk kesekian kali, Alvin dan Vanta yang saling berhadapan
menjadi pusat perhatian di kantin. Suara keras Vanta saja sudah cukup
mengundang semua mata. Apalagi waktu mereka bersitegang. Penghuni kantin pasti sudah bisa menebak,
bencana akan menimpa Vanta yang diumumkan sebagai big enemy-nya Alvin.
“Main tuduh aja. Padahal barusan gue nawarin bantuan. Lagian
buktinya apa? Mana mungkin gue bisa tau lo bakal duduk di situ? Emang gue
cenayang?”
Andre yang menonton dari mejanya kehilangan kesabaran untuk
menahan tawa. Buat dia, Alvin memang seperti cenayang. Buktinya, bisa
memprediksi dengan tepat bangku pilihan Vanta. Rencana Alvin tidak meleset,
sehingga permen karet yang sudah dipersiapkan menempel di rambut Vanta dengan
sempurna.
“Gue nggak percaya!” Vanta mendelik pada Alvin.
“Nggak bagus tau, fitnah orang sembarangan. Beneran, mau gue
bantuin nggak? Dari pada tuh permen karet nempel terus di rambut lo.”
“Nggak usah pura-pura, deh! Gue tau ini ulah lo, kan?!” Vanta menunjukkan
rambutnya yang masih terkuncir rapi, namun benda lengket itu membuat rambutnya
berantakan. “Makanya tiba-tiba lo dateng sok-sokan nawarin bantuan kayak gini.
Udah bagus tadi lo bersikap kayak nggak kenal sama gue.”
”Oh, jadi lo tersinggung karena itu? Oke,” Alvin mengangkat kedua
tangannya ke atas. “karena gue perhatian, gue bakal bantu.” Dia menurunkan
tangannya. Dengan seringai licik, Alvin mengeluarkan sesuatu dari saku jinsnya.
Lalu menarik kuncir Vanta dan ....